Selasa, 18 Agustus 2015

Warna Kebenaran Orang Lain ..

pensil warna

ADA dua orang anak selalu berkelahi. Mereka selalu berselisih paham. Dalam banyak hal, mereka tak pernah akur. Saat yang satu berpendapat A, maka yang lainnya pasti punya pendapat yang berbeda. Mereka lakukan hal ini dimana saja. Di sekolah, di rumah, ataupun di tempat bermain. Tentu saja, hal itu sangat merepotkan guru mereka. Karena, mengganggu orang lain.

Suatu pagi ibu guru memanggil kedua anak itu. Ia meminta mereka masuk ke dua ruangan berbeda. Ruangan itu hanya dipisahkan sebuah tembok, namun ibu guru masih dapat melihat apa yang dilakukan mereka berdua dari kejauhan.

Di ruangan itu terdapat meja dengan selembar kertas yang terhampar di atasnya. Ibu guru meminta mereka menyebutkan apa warna kertas itu. Ah, lagi-lagi mereka berselisih paham. Anak yang pertama bilang, “Kertas itu putih!” Dari ruangan sebelahnya terdengar teriakan, “Bukan, bukan putih, kertas itu berwarna hitam.” Putih! Hitam! Putih!!! Hitam!!! Terdengar suara saling bersahutan.

Suara itu semakin riuh. Kedua anak itu makin sengit. “Hei, dasar buta warna, apa kamu tidak bisa melihat? Kertas itu putih, tau!” Anak kedua tak mau kalah. “Buta warna? Hei, apa kamu tidak bisa membedakan antara hitam dan putih? Jelas-jelas itu kertas hitam.”

Mendengar itu semua, ibu guru berkata, “Tenang, tenang, anak-anak.
 Sekarang, coba, kalian kemari.”
Ia mengajak kedua anak itu menghampirinya. “Nah, sekarang, coba kalian berpindah tempat dan katakan apa warna kertas yang ada di atas meja itu.”

Kedua anak itu menurut. Mereka berpindah ruangan. Anak yang pertama berkata.”hmm.hii.hii..hitam, Bu.” Di ruangan lain terdengar suara yang serupa. Anak yang kedua berkata, “Putih, Bu.”

Keduanya benar. Ternyata, ibu guru menyiapkan dua kertas yang berbeda buat mereka. Ia agaknya ingin memberikan hikmah bahwa saat mereka  berselisih paham bisa jadi sesungguhnya kedua anak itu benar. Tak ada yang salah dengan pendapat mereka, hanya mereka mungkin melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda saja.
Teman, begitulah kita. Kita seringkali seperti dua anak kecil yang sering berselisih paham. Kita kerap berseteru, bermusuhan, dan tak pernah akur dalam banyak hal, dalam banyak situasi. Sayangnya, kita kerap pula tak mau mengalah, tak mau memahami, tak mau mengerti, dan tak mau mendengarkan “suara” orang lain. Kita sering berpatokan pada diri sendiri dan menganggap semua pendapat kita adalah benar adanya.
Memang, ya, memang, tak pernah ada kata keliru untuk berbeda pendapat. Tak ada yang salah dengan keragaman. Namun, agaknya kita harus lebih sering untuk bersatu dalam beberapa saat. Kita harus lebih sering untuk mau mengerti, mau memahami, dan mau mendengarkan orang lain. Kita harus lebih sering untuk mau “mengintip” ruangan lain, sebelum kita mulai “menyebutkan warna”.

Kadang, kita terlalu tinggi hati untuk mengakui kebenaran orang lain. Kita enggan untuk menyetujui pendapat mereka. Bukan karena pendapat mereka salah, tetapi karena kita tak mau merasa dikalahkan. Kita sering terpesona dengan rasa picik dan tak suka jika ada orang yang lebih baik. Kita memilih untuk tetap berpatokan pada diri sendiri dan membenarkan semua langkah yang kita perbuat.

Saya yakin akan selalu ada kebenaran jika kita memandang dengan cara yang berbeda, persepsi yang berbeda, dan sudut pandang yang berbeda. Sebab, tak ada kebenaran yang hakiki, kecuali milik Ilahi Rabbi.

Teman, cobalah untuk memahami persepsi orang lain sebelum kita berselisiih paham.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

The World Its Mine