Oleh: Edi Nursalam, Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) tahun 2014/2015, Wakil DTKJ tahun 2015/2016, Anggota Komisi Litbang DTKJ.
PENGHADANGAN yang dilakukan oleh beberapa orang masyarakat terhadap konvoi Motor Gede (Moge) di Yogyakarta pada tanggal 15 Agustus yang lalu cukup mengagetkan dan menghebohkan para nitizen didunia maya. Namun bisa jadi, tindakan berani dan membahayakan ini adalah ungkapan kekesalan dan rasa tertekan masyarakat kita yang selama ini terusik oleh tindakan pengawalan yang cenderung memberikan perlakuan istimewa kepada suatu kelompok masyarakat tertentu.
Dapat dikatakan bahwa hal ini adalah puncak kecil gunung es yang muncul dipermukaan sebagai indikator bahwa ada sesuatu masalah besar yang selama ini tersembunyi yang berkaitan dengan aturan perundang-undangan kita khususnya tentang pengawalan lalu lintas (voorrijder) yang dilaksanakan oleh pihak kepolisian.
Kita sering menyaksikan bahwa kegiatan pengawalan lalu lintas telah mengusik kepentingan umum dan hak pribadi masyarakat pengguna jalan. Dikawasan puncak tidak jarang kita saksikan bagaimana petugas pengawalan mengawal sebuah mobil mewah menerobos lalu lintas yang melawan arah, padahal saat itu sedang diterapkan sistem satu arah yang diberlakukan sendiri oleh pihak kepolisian.
Ditengah kemacetan Jakarta, juga sering kita saksikan bagaimana seorang petugas kepolisian berjuang menembus kemacetan dan berusaha menghentikan dan menyingkirkan pengendara lain demi satu mobil yang dikawalnya. Begitu juga yang terjadi didaerah, Kepala daerah (Gubernur dan Bupati) beserta wakilnya seolah mendapatkan keistimewaan untuk menyingkirkan pengendara lain pada saat mereka melewati suatu ruas jalan, seolah mereka itu raja yang berkuasa mutlak, padahal mereka itu hanyalah wakit rakyat yang dipilih oleh rakyat.
Mengacu pada penjelasan Humas Polri maupun Humas Polda Daerah Istimewa Yogyakarta, bahwa kegiatan pengawalan yang dilakukan oleh petugas kepolisian terhadap konvoi Moge HDCI (Harley Davidson Club Indonesia) telah sesuai dengan prosedur, dan apa yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang dimotori oleh Elanto Wijoyono dan Andika adalah suatu tindakan yang keliru.
Karena secara yuridis formal, kegiatan pengawalan yang dilakukan petugas Polri sudah sesuai dengan aturan pasal 134 Undang-undang nomor 22 tahun 2009, walaupun dalam penjelasan pasal ini tidak disebutkan bahwa konvoi Moge HDCI tidak termasuk kedalam kategori konvoi dan/atau kendaraan yang digunakan untuk kepentingan tertentu. Namun petugas Polri konon memiliki kewenangan “diskresi” sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Tapi yang menjadi pertanyaan penulis adalah kenapa masyarakat kita mulai terusik ? apakah ada yang salah dari peraturan perundang-undangan kita tentang pengawalan lalu lintas ? atau apakah terjadi kekeliruan dalam penerapannya ?
Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus melihat sedikit kebelakang, yaitu pada ketentuan pasal 65 Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 1993 tentang prasarana lalu lintas jalan yang menjadi cikal bakal atau sumber dari ketentuan Pasal 134 UU No. 22 tahun 2009. Bila kita bandingkan kedua aturan ini, ada beberapa hal yang dirubah secara mendasar oleh penyusun UU.No 22 tahun 2009, sehingga berpeluang untuk mengusik dan merugikan hak azazi pengguna jalan lain yang tidak mendapatkan prioritas atau hak utama penggunaan jalan untuk kelancaran lalu lintas. Hal yang mendasar tersebut adalah :
1. Dirubahnya istilah “Kepala Negara” menjadi “Pimpinan Lembaga Negara republik Indonesia”.
2. Dirubahnya aturan tentang hak untuk melanggar atau mengabaikan perintah atau larangan yang dinyatakan dengan alat pemberi isyarat lalu lintas (traffic light/lampu pengatur lalu lintas), yang semula “hanya” diberikan kepada pengguna jalan “tertentu” yang mendapat hak utama. Ketentuan ini kemudian dirubah menjadi “semua” pengguna jalan yang mendapat hak utama berhak untuk melanggar atau mengabaikan perintah atau larangan lampu lalu lintas dan rambu, dibawah pengawalan petugas Polri.
3. Dirubahnya ketentuan kewajiban pengawalan terhadap pengguna jalan yang mendapat hak utama/prioritas, yang semula tidak mewajibkan pengawalan, dan cukup dilengkapi dengan isyarat atau tanda-tanda lain. Kemudian dirubah menjadi semua pengguna jalan yang mendapat hak utama wajib/harus dikawal oleh petugas kepolisian.
Perubahan hal-hal yang mendasar inilah yang sering berimplikasi terhadap terusiknya kepentingan masyarakat, dimana ada sekolompok masyarakat yang merasa terganggu dan terampas hak azazinya dalam menggunakan jalan. Implikasinya antara lain adalah
Pertama perubahan ketentuan dari istilah “kepala Negara” menjadi Pimpinan Lembaga Negara, telah menyebabkan kegiatan pengawalan lalu lintas makin marak di negeri ini. Sebagai contoh Polda Metrojaya harus menyiapkan ratusan motor besar untuk pengawalan dan ratusan petugas yang harus standby untuk beberapa shift, hanya untuk melayani Pimpinan Lembaga Negara yang pada umumnya berdomisili di Jakarta. Begitu juga didaerah, Polri menyediakan pengawalan khusus untuk Kepala Daerah dan wakilnya (bahkan ketua DPRD) yang notabene tidak termasuk kedalam kategori/pengertian Pimpinan Lembaga Negara. Karena batasan atau defenisi dari istilah Pimpinan Lembaga Negara Republik Indonesia kurang dijelaskan secara tegas dalam UU. No 22 tahun 2009. Perubahan ketentuan ini juga berdampak secara tidak langsung terhadap mental pejabat kita, mereka seperti mati rasa dan kurang berempati terhadap penderitaan masyarakat yang berjuang melawan kemacetan ditengah panas terik dan hujan deras, sementara para pejabat kita tiba-tiba saja datang menyerobot dengan mobil mewah, dibawah kawalan petugas.
Kedua; Perubahan aturan tentang hak untuk melanggar atau mengabaikan/mengalahkan aturan perintah atau larangan lalu lintas, telah berimplikasi terhadap terusiknya sebagian kelompok masyarakat yang merasa haknya dirampas oleh sekelompok masyarakat tertentu, sebagaimana yang terjadi di Yogyakarta beberapa hari yang lalu. Pada awalnya hak untuk melanggar atau mengalahkan aturan perintah dan larangan lampu lalu lintas ini hanya diberikan untuk pengguna jalan tertentu saja; seperti kendaraan pemadam kebakaran, ambulan, kendaraan yang memberi pertolongan kecelakaan, kendaraan kepala Negara atau pemerintah asing yang menjadi tamu Negara dan iring-iringan pengantar jenazah. Artinya konvoi Moge HDCI pada ketentuan yang lama tidak memiliki hak untuk mengabaikan lampu merah, dan mereka harus tetap berhenti dipersimpangan pada saat lampu lalu lintas berwarna merah.
Ketiga; perubahan ketentuan kewajiban pengawalan untuk semua pengguna jalan yang mendapatkan hak utama, bisa jadi telah menyebabkan Polri kerepotan dan sibuk menyediakan kendaraan dan petugas pengawalan. Padahal untuk pengguna jalan seperti; kendaraan pemadam kebakaran, ambulan, mobil jenazah, kendaraan berat, kendaraan untuk penanganan ancaman bom, kendaraan pengangkut pasukan, kendaraan untuk penanganan huru hara dan kendaraan untuk penanganan bencana alam; sudah memilki tanda tanda tertentu yang cukup terlihat oleh masyarakat.
Namun apabila ketentuan pasal 134 ini diberlakukan secara konsisten, maka Polri juga harus menyediakan ratusan kendaraan dan petugas pengawalan yang harus standby di setiap kantor pemadam kebakaran, di setiap rumah sakit, klinik, puskesmas yang memiliki mobil ambulans, di setiap rumah duka yang memiliki mobil jenazah, di setiap satuan TNI Angkatan darat, laut dan udara yang sering memobilisasi pasukannya. Pertanyaannya apakan pelaksanaan tugas ini tidak terlalu sia-sia bagi Polri ? padahal Polri kita masih memiliki segudang tugas yang sampai saat ini belum tertangani secara sempurna.
Apa yang disampaikan oleh Humas Polri dan Humas Polda DIY bahwa pengawalan yang dilakukan petugas Polri kepada konvoi HDCI adalah sesuai dengan prosedur peraturan perundang-undangan yang berlaku, mungkin benar adanya. Namun bila kita simak ulasan diatas, ketentuan pengawalan terhadap pengguna jalan yang mendapatkan hak utama ternyata telah berpeluang terhadap timbulnya permasalahan antara lain terampasnya hak azazi masyarakat pengguna jalan lain, dan apabila ketentuan pasal 134 UU. No. 22 tahun 2009 ini dilaksanakan secara konsisten maka akan sangat memberatkan pihak Polri dalam melayani masyarakat.
Ketentuan UU No, 22 tahun 2009 sudah menjadi dasar hukum formal, karena telah dibahas dan disyahkan olah wakil kita di DPR, namun tidak tertutup kemungkinan bagi masyarakat untuk mengusulkan kepada pemerintah untuk merevisi aturan ini atau melakukan upaya hukum dengan menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi. Polri, sebagai pihak yang terbebani oleh ketentuan pasal 134 ini mestinya juga harus menyampaikan keberatan atau protes, karena apabila semua ketentuan pada pasal 134 ini diterapkan secara konsisten maka akan menyita waktu, SDM dan sarana yang dimiliki Polri.
Sebagaimana diketahui sampai saat ini kita belum pernah menyaksikan adanya pengawalan petugas polri terhadap kendaraan pemadam kebakaran, mobil ambulan dan kendaraan pengangkut pasukan TNI. Hal ini bisa dianggap masyarakat sebagai pembiaran terhadap pelanggaran aturan. Begitu juga halnya para pejabat kita, yang merasa berhak untuk dikawal dan diprioritaskan dalam berlalu lintas, agar mulai menyadari bahwa hak tersebut tidak semestinya dimanfaatkan secara terus menerus, karena dapat melukai hati nurani rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar