Oleh: Zahir Nawwab
Sekitar pertengahan tahun 2006 saya ‘bertaqiyyah’ sebagai
pemuda Syi’i. Tujuan saya, melakukan penelitian lapangan. Kawan-kawan
dan Ibu saya sempat protes, kenapa harus pura-pura jadi Syiah untuk
investigasi di lembaga Syiah?
“Memaksa Syiah untuk membuka diri itu tidak mudah, biasanya sesama
orang syiahnya mereka bisa terbuka”, jawab saya pada mereka. “Sudahlah
jangan khawatir, di belakang saya ada yang membimbing,” jelas saya pada
Ibu yang sempat melarang saya untuk melakukan kegiatan ini.
Saya pun bergerak ke sebuah Yayasan “Y” milik Syiah yang terkenal
kota B di Jawa Timur. Untuk jaga-jaga, saya tidak membawa KTP, tapi KTM
(kartu tanda mahasiswa). Sebab jika menunjukkan KTP, khawatir
‘intel-intel’ Syiah mengecek ke rumah. Saya memperkenalkan diri sebagai
mahasiswa yang ingin belajar Syiah.
Tidak perlu banyak ‘ngoceh’ ternyata untuk meyakinkan satpam dan
beberapa santri senior di yayasan tersebut bahwa saya mahasiswa yang
sedang belajar jadi Syiah. Saya tidak berani menyebutkan tentang
kitab al-Kafi, sebab kitab ini pada waktu itu konon tidak umum di
kalangan Syiah awam, alias Syiah ikut-ikutan.
Bisa curiga mereka bila saya bercerita bahwa saya punya kitab
tersebut. Namun sekarang kitab itu bukan menjadi rahasia lagi, kalangan
Sunni (baca: muslim) sudah banyak yang mengoleksi.
Setelah mengutarakan niat, saya dibawa oleh petugas keturunan Arab ke
perpustakaan yang terletak di lantai dua masjid tersebut. Ratusan
buku-buku Syiah berderet di rak. Saya amati kebanyakan diterbitkan di
Iran. Kitab-kitab Ahlus sunnah juga menghiasi rak-rak buku perpustakaan
tersebut.
Ketika saya menyatakan ingin meminjam atau mengkopi beberapa kitab,
si petugas yang berwajah arab itu melarangnya. Ia pun menghadiahi
beberapa buku propaganda berbahasa Indonesia. Saya terima saja, meski
beberapa di antaranya saya sudah memilikinya.
Di perpustakaan itu saya dibawa ke sebuah ruangan kecil berukuran
sekitar 3×4 meter. Di situ sudah menunggu pemuda-pemuda Syiah berwajah
Arab. Saya diperkenalkan, dirangkul disambut dengan hangat. Beberapa
kali saya meresponnya dengan berbahasa Arab, sekedar untuk mengakrabkan
diri.
Dari perkenalan itu, saya mengetahui bahwa mereka adalah mahasiswa
sebuah perguruan tinggi milik Syiah di Depok. Setelah tukar no HP, kami
berdiskusi tentang ahlul bayt, imam Ali dan sebagainya.
Ternyata mereka tidak curiga, saya direkomendasikan untuk mengikuti
kelompok diskusi mahasiswa Syiah di kota M. Setelah tiga puluh menit,
saya diantar menemui ketua yayasan di kantornya.
Berwajah Arab, memakai gamis putih, berjenggot tipis, perawakan tidak
terlalu tinggi, pelit tertawa atau tersenyum dan sorot mata tajam.
Itulah kesan pertama bertemu AU, si pemimpin yayasan. Orang ini terkenal di kalangan Syiah, bahkan disegani pengikut Syiah di Inonesia.
Saya sempat khawatir kehadiran saya dicurigai oleh AU. Ternyata
kekhawatiran saya buyar, ketika dia tiba-tiba to the point bicara syiah
di Indonesia. Saya sempat terkejut. Sebab, tidak mudah si AU ini
blak-blakan pada orang lain yang baru dikenal.
Secara diam-diam, saya mulai menyalakan perekam yang saya letakkan di
dalam tas ransel. Ini kesempatan bagus! Pikirku saat itu. Pertama-tama
saya bertanya buku-buku apa saja yang sudah ia tulis. Ia menyebutkan
beberapa. Yang paling saya tunggu-tunggu telah tiba. “Saya telah menulis
naskah buku tentang kepalsuan al-Qur’an yang ada di tangan kaum
muslimin, hanya belum diterbitkan bahkan beberapa kawan melarang saya
untuk menerbitkan,” bebernya secara jujur.
Betapa gembiranya saya jika mendapatkan naskah itu. Namun sayang,
saya gagal merayunya untuk mengkopi naskah sesat itu. Oke, tidak
apa-apa, yang penting saya dapat informasi dia menulis buku kepalsuan
al-Qur’an.
“Kenapa kawan-kawan ustadz melarang buku itu diterbitkan,” selidik
saya. Ia menjawab, ”Akan memicu pertikaian di kota ini, jika saya
menerbitkannya dan diketahui oleh Sunni”.
Informasi berharga lainnya adalah dia membeberkan tentang rencana
merusak ormas NU dan Muhammadiyah. “Tunggu saja, saya sudah memiliki
orang-orang di NU dan Muhammadiyah yang mengobrak-abrik ormas itu secara
diam-diam.”
Ketika saya tanya siapa orang-orang Syiah yang ada di ormas tersebut.
Dia menolak menyebutkan nama. Yang jelas, orang-orang ini adalah orang
penting di organisasi. Kata dia, kyai-kyai Sunni itu bodoh. Sebab, tidak tahu orang Syiah yang ia tanam di ormas justru jadi kepercayaannya.
Cara merusaknya dengan membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan
Syiah. Mengadakan kerjasama dengan pemerintah Iran. Dan menciptakan
konfilk di tubuh ormas itu. Konon pemerintah Iran menggelontorkan 1/5
penghasilan pajak untuk ‘dakwah’ di Indonesia.
Selama satu jam lebih saya di ruangan kantornya. Saya cukup
beruntung, waktu itu hanya ada saya dan dia di kantor tersebut. Saya
memang tidak berhasil membawa beberapa buku di yayasan Y.
Tapi informasi yang terakhir ini sudah cukup bagi saya. Sempat
terbesit niat untuk ‘mencuri’ sebuah buku dan kaset di kantor, ketika si
AU ke kamar mandi sebentar. Akan tetapi saya bingung bagaimana caranya.
Karena baru pertama di situ, saya simpan niat ‘mencuri’ itu, khawatir
kedatangan berikutnya saya dicurigai.
Setahun setelah saya penelitian, terjadi demo besar-besaran di kota B
menentang Syiah. Saya tidak tahu apa yayasan Y mengetahui identitas
saya apa tidak. Yang jelas beberapa bulan pasca demo, saya datang lagi.
Dan saya tidak ditemui siapa-siapa.
Saya dibiarkan menunggu di ruang satpam tanpa ditemui, dan diajak
ngobrol orang-orang di situ. Satpam pun memasang sikap berdiam diri.
Saya utarakan untuk bertemu ustadz AU, tapi semua orang tidak menjawab.
Tanpa berpikir panjang, saya pun lari dari situ naik angkot menuju
rumah. Alhamdulillah selamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar