Raja itu mempunyai seekor gajah perkasa, yang digunakannya untuk berperang dan membuat rakyat kagum.
Penduduk kota itu sangat antusias ingin melihat gajah tersebut, dan beberapa dari mereka yang buta pun berlari untuk mendekatinya.
Karena sama sekali tak tahu rupa atau bentuk gajah, mereka hanya bisa meraba-raba, mencari kejelasan dengan menyentuh bagian tubuhnya. Masing-masing hanya menyentuh satu bagian, tetapi berpikir telah mengetahui sesuatu.
Orang buta pertama mendekati gajah. Ia tersandung dan ketika terjatuh, ia menabrak sisi tubuh gajah yang kokoh. “Oh, sekarang aku tahu!” katanya, “Gajah itu seperti tembok.”
Orang buta kedua meraba gading gajah. “Mari kita lihat…,” katanya, “Gajah ini bulat, licin dan tajam. Jelaslah gajah lebih mirip sebuah tombak.”
Yang ketiga kebetulan memegang belalai gajah yang bergerak menggeliat-geliat. “Kalian salah!” jeritnya, “Gajah ini seperti ular!”
Berikutnya, orang buta keempat melompat penuh semangat dan jatuh menimpa lutut gajah. “Ah!” katanya, “Bagaimana kalian ini, sudah jelas binatang ini mirip sebatang pohon.”
Yang kelima memegang telinga gajah. “Kipas!” teriaknya, “Bahkan orang yang paling buta pun tahu, gajah itu mirip kipas.”
Orang buta keenam, segera mendekati sang gajah, ia menggapai dan memegang ekor gajah yang berayun-ayun. “Aku tahu, kalian semua salah.” Katanya, “Gajah mirip dengan tali.”
Sekembalinya ke kota, orang-orang yang hendak tahu segera mengerubungi mereka. Orang-orang itu tidak sadar bahwa mereka mencari tahu tentang kebenaran kepada sumber yang sebenamya telah tersesat.
Mereka bertanya tentang bentuk dan wujud gajah, dan menyimak semua yang disampaikan.
Orang yang menubruk bagian tubuh gajah yang kokoh ditanya tentang bentuk gajah. Ia menjawab, “Gajah itu besar, terasa kasar, luas, dan kokoh seperti tembok.”
Orang yang tangannya meraba gading gajah berkata, “Engkau keliru, aku tahu yang lebih benar tentang bentuk gajah. Gajah itu mirip tombak bulat, licin dan tajam.”
Orang yang meraba belalai gajah berkata, “Kalian berdua keliru, aku tahu yang lebih benar tentang bentuk gajah.Gajah itu mirip ular menggeliat, mengerikan dan suka merusak.”
Selanjutnya, orang yang memegang kaki gajah berkata, “Gajah itu kuat dan tegak, seperti batang.”
Orang yang memegang telinga gajah berkata, “Gajah seperti kipas, lebar dan kasar.”
Terakhir, orang yang memegang ekor gajah berkata, “Sudah kukatakan, kalian semua salah! Gajah itu berayun-ayun seperti tali!”
Demikianlah keenam orang buta itu bertengkar. Masing-masing tidak mau mengalah. Semua teguh dengan pendapatnya sendiri, yang sebagian benar, namun semuanya salah.
Mereka semua hanya meraba bagian tubuh gajah yang berlainan, mereka tidak melihat keseluruhan hewan gajah itu sendiri.
Masyarakat pun ada yang percaya kepada yang satu dan tidak percaya kepada yang lain, ada juga yang tidak mempercayai kesemuanya dan ada sedikit yang bisa menyimpulkan keseluruhan pendapat para orang buta.
Cerita ini mengantarkan saya kembali ke masa lalu, saat saya duduk di bangku dua SMA. Cerita ini berulang kali digulirkan guru psikologi-yang juga guru pendidikan keguruan.
Saya heran, bertemu dengan beliau sepekan dua kali rasanya tak pernah luput beliau mendongengi kami cerita gajah dan orang buta. Beliau tak pernah menyebutkan atau menjelaskan hikmah tentang cerita itu.
Dan saya baru bisa memahami betul hari ini, di tengah kegentingan jiwa.
Terkadang saya merasa memahami banyak hal, padahal ilmu yang saya miliki hanya seujung kuku pun sepertinya tidak. Karena ilmu di bumi Allah ini sangat luas.
Saat saya memahami sesuatu atau ilmu, terkadang hanya separuh-separuh tanpa menggenapi dan menyempurnakan yang kurang. Pada akhirnya, terjadilah salah kaprah dalam menyikapi permasalahan.
Begitu juga dengan dunia saat ini, mudah tersulut dengan isu separuh yang belum jelas kebenarannya. Dan tidak ada inisiatif untuk mencari tahu lagi supaya informasi yang diterima itu memang benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar