Sekitar 25 persen lelaki di Indonesia memiliki kekerasan ereksi tidak
optimal. Fakta ini tak berbeda jauh dengan tingkat Asia Pasifik, di mana satu
dari empat lelaki mengalami hal serupa. Padahal kepuasan pasangan terhadap
kekerasan ereksi terkait erat dengan kepuasan seksual pasutri, yang kelak dapat
mempengaruhi kualitas hidup berpasangan maupun individual.
Hasil survei Asia Pacific Sexual Health and Overall Wellness (APSHOW) di 13 negara (termasuk Indonesia) 2008 lalu menemukan, terdapat korelasi antara kepuasan seksual pasutri dengan kepuasan hidup secara umum. Termasuk kebahagiaan dalam hidup berkeluarga serta peran individu sebagai suami atau istri.
Ketua Asosiasi Seksologi Indonesia Prof Dr dr Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS, mengatakan bahwa pasutri bisa meraih keharmonisan dan kebahagiaan lebih optimal, dengan pemahaman seksual yang tepat.
Menurut Prof Wimpie, angka perceraian di Jakarta cukup tinggi, karena masalah seksual yang tidak terungkap. Termasuk di antaranya masalah disfungsi ereksi.
Disfungsi ereksi (DE) adalah kondisi saat pria tidak dapat mencapai atau mempertahankan ereksi penis yang optimal untuk mencapai kepuasan seksual.
Untuk mengukur DE, bisa dengan mengikuti tes Erection Hardness Score (EHS). Dalam presentasinya mengenai masalah seksual beberapa waktu lalu, Prof Wimpie menyebutkan empat skala ereksi.
Skala 1 (Severe Erectile Dysfunction)
Penis membesar namun tidak mengeras, seperti tapai. Menurut Prof Wimpie, DE skala ini termasuk derajat berat.
Skala 2 (Moderate Erectile Dysfunction)
Penis keras namun tidak cukup keras untuk penetrasi, seperti pisang. DE skala ini terbilang moderat, penis membesar namun tidak cukup keras.
Skala 3 (Suboptimal Erection)
Penis cukup keras untuk penetrasi namun tidak sepenuhnya keras, seperti sosis. Ereksi seperti ini tidak optimal walaupun masih bisa melakukan hubungan seks. DE skala ringan ini cenderung tidak disadari oleh lelaki. Kebanyakan lelaki di Indonesia berada pada skala ini, kata Prof Wimpie.
Skala 4 (Optimal Erection)
Penis keras seluruhnya dan tegang sepenuhnya, seperti timun. Dari penelitian APSHOW, lelaki dengan EHS skala 4 lebih sering melakukan hubungan seksual dan lebih merasa puas. Dampaknya lebih memiliki pola pikir positif dalam hidupnya.
Prof Wimpie juga menjelaskan perbandingannya. Pria dengan EHS 4 lebih optimis dengan hidupnya secara umum (38 persen) dibandingkan pria dengan EHS 3 (28 persen). Optimis dengan hubungannya (45 persen : 34 persen), memiliki keseimbangan hidup (38 persen : 29 persen), dan memiliki kesempatan untuk maju dalam hidup (33 persen : 23 persen).
Faktanya, tak hanya lelaki yang menginginkan skala ereksi lebih optimal. Perempuan pasangannya tentu juga ingin meningkatkan kepuasan seksual, dengan ereksi suami yang lebih optimal. Bahkan 88 persen perempuan mengaku kurang puas dengan kekerasan ereksi pasangannya (data APSHOW 2008).
Hasil survei Asia Pacific Sexual Health and Overall Wellness (APSHOW) di 13 negara (termasuk Indonesia) 2008 lalu menemukan, terdapat korelasi antara kepuasan seksual pasutri dengan kepuasan hidup secara umum. Termasuk kebahagiaan dalam hidup berkeluarga serta peran individu sebagai suami atau istri.
Ketua Asosiasi Seksologi Indonesia Prof Dr dr Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS, mengatakan bahwa pasutri bisa meraih keharmonisan dan kebahagiaan lebih optimal, dengan pemahaman seksual yang tepat.
Menurut Prof Wimpie, angka perceraian di Jakarta cukup tinggi, karena masalah seksual yang tidak terungkap. Termasuk di antaranya masalah disfungsi ereksi.
Disfungsi ereksi (DE) adalah kondisi saat pria tidak dapat mencapai atau mempertahankan ereksi penis yang optimal untuk mencapai kepuasan seksual.
Untuk mengukur DE, bisa dengan mengikuti tes Erection Hardness Score (EHS). Dalam presentasinya mengenai masalah seksual beberapa waktu lalu, Prof Wimpie menyebutkan empat skala ereksi.
Skala 1 (Severe Erectile Dysfunction)
Penis membesar namun tidak mengeras, seperti tapai. Menurut Prof Wimpie, DE skala ini termasuk derajat berat.
Skala 2 (Moderate Erectile Dysfunction)
Penis keras namun tidak cukup keras untuk penetrasi, seperti pisang. DE skala ini terbilang moderat, penis membesar namun tidak cukup keras.
Skala 3 (Suboptimal Erection)
Penis cukup keras untuk penetrasi namun tidak sepenuhnya keras, seperti sosis. Ereksi seperti ini tidak optimal walaupun masih bisa melakukan hubungan seks. DE skala ringan ini cenderung tidak disadari oleh lelaki. Kebanyakan lelaki di Indonesia berada pada skala ini, kata Prof Wimpie.
Skala 4 (Optimal Erection)
Penis keras seluruhnya dan tegang sepenuhnya, seperti timun. Dari penelitian APSHOW, lelaki dengan EHS skala 4 lebih sering melakukan hubungan seksual dan lebih merasa puas. Dampaknya lebih memiliki pola pikir positif dalam hidupnya.
Prof Wimpie juga menjelaskan perbandingannya. Pria dengan EHS 4 lebih optimis dengan hidupnya secara umum (38 persen) dibandingkan pria dengan EHS 3 (28 persen). Optimis dengan hubungannya (45 persen : 34 persen), memiliki keseimbangan hidup (38 persen : 29 persen), dan memiliki kesempatan untuk maju dalam hidup (33 persen : 23 persen).
Faktanya, tak hanya lelaki yang menginginkan skala ereksi lebih optimal. Perempuan pasangannya tentu juga ingin meningkatkan kepuasan seksual, dengan ereksi suami yang lebih optimal. Bahkan 88 persen perempuan mengaku kurang puas dengan kekerasan ereksi pasangannya (data APSHOW 2008).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar