Air merupakan barang kebutuhan yang bersifat ultraesensial bagi kelangsungan hidup makhluk di bumi. Air tidak tergantikan oleh barang lain (nonsubstitution good). Celakanya, saat ini secara kuantitas maupun kualitas, air di bumi sangat mencemaskan. Situs Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mengingatkan, pada 2025 terdapat 1,8 miliar penduduk di kota-kota atau daerah-daerah yang mengalami kelangkaan air secara absolut. Kondisi dua pertiga penduduk dunia akan stres karena menghadapi persoalan air.
Air telah menjadi sumber konflik paling potensial pada abad ini. Kalimat-kalimat peringatan yang pernah disampaikan beberapa tahun lalu oleh mantan Wakil Presiden Bank Dunia Ismail Serageldin hingga kini seolah menjadi kalimat bersayap. “Perang pada masa depan tidak lagi dipicu oleh perebutan emas hitam (minyak), tapi emas biru (air)”.
Tesis itu dibenarkan oleh Pentagon dalam sebuah laporan yang dikutip The Observer. Yakn, suatu saat nanti, terjadi situasi kekurangan air yang sangat dahsyat (catastropic shortage). Situasi tersebut akan menyulut berbagai konflik, bahkan dalam kondisi ekstrem akan menyebarkan benih-benih peperangan pada sekitar 2020. Demikian laporan The Observer.
Pada pertengahan Juli 2005, Reuter dan BBC pernah memberitakan terjadinya konflik air yang memicu pembantaian masal. Ratusan Suku Borana, Ethiopia, mengepung sebuah sekolah dasar dan perkampungan di Desa Dida Galgadu yang didominasi warga klan Gabra dari Kenya. Insiden yang dipicu oleh perebutan sumber air dan wilayah padang rumput penggembalaan itu menewaskan 72 orang, 22 di antaranya anak-anak.
Kelangkaan air menjadi isu besar dunia. Berbagai masalah mengemuka. Misalnya, pembagian yang tidak merata, peningkatan kebutuhan air yang luar biasa (dua kali lipat setiap 20 tahun), serta pencemaran air karena ulah manusia (proyek PLTA, industri, penggundulan hutan, pestisida, pembuangan limbah dan pertambangan). Selain itu, sumber air makin terkuras.
Selama ini sektor pertanian merupakan pengguna terbesar air di bumi (66 persen). Menurut World Water Council, jika tidak ada inovasi teknologi produksi yang signifikan dalam meningkatkan produksi, pada 2020 sistem produksi pertanian akan membutuhkan 17 persen air lebih banyak daripada yang sekarang.
Sebuah literatur menyebutkan, potensi air Pulau Jawa besarnya hanya 4,5 persen di antara total potensi air Indonesia. Jika tingkat degradasi hutan terus berlanjut, diperkirakan pada 2015 Pulau Jawa mengalami defisit air 134,1 miliar m3/tahun.
Paradok Air-Mutiara
Saat ini masih banyak warga yang berpandangan bahwa air bersifat given dari alam dan jumlahnya tak terbatas. Cara pandang seperti ini membuat pola hidup masyarakat sangat tidak harmonis dengan alam. Dari sudut pandang ekonomi, kita mengenal istilah paradoks air-mutiara (water-diamond paradox). Air yang begitu esensial bagi kehidupan manusia dinilai sangat murah. Sedangkan mutiara yang hanya sebatas perhiasan dinilai sangat mahal.
Semua pemangku kepentingan harus mengambil langkah antisipasi agar krisis air tidak terjadi dan memicu tragedi kemanusiaan. Beberapa langkah dapat ditempuh. Pertama, gerakan hemat air secara nasional yang berkelanjutan. Pola hidup hemat air diharapkan menjadi budaya di masyarakat kita, mulai hal terkecil sekalipun. Misalnya, pemanfaatan ulang (reuse) air buangan untuk menyiram tanaman (gardening) atau mengguyur toilet (flushing).
Sebagai pengguna air terbesar, sektor pertanian perlu menggalakkan kampanye more crop per drop yang diinovasikan oleh FAO agar penggunaan air lebih efisien. Teknologi budidaya padi hemat air yang direkomendasikan oleh FAO adalah sistem of rice intensification (SRI). Sistem budidaya padi yang telah terbukti punya berbagai keunggulan tersebut harus segera dimasyarakatkan kepada petani.
Kedua, upaya memanen hujan (rain harvest). Prinsipnya, mencegah seminimal-minimalnya air hujan terbuang ke laut untuk dimanfaatkan pada musim kemarau. Upaya tersebut ditempuh lewat pembangunan sarana infrastruktur penampung air. Misalnya, waduk, embung, situ, sumur-sumur resapan, lubang resapan biopori, dan tandon air. Selain menyimpan air hujan, upaya itu bertujuan mencegah bencana banjir yang kerap datang pada musim hujan.
Ketiga, melakukan gerakan penghijauan lahan secara komprehensif dan berkelanjutan (sustainable). Budaya “muda menanam tua memanen” mesti ditanamkan kepada anak sejak usia dini. Penetapan Desember sebagai bulan menanam perlu dijadikan sebagai gerakan nasional yang berkelanjutan, tak sekadar kegiatan seremonial.
Keempat, upaya penegakan hukum bagi para perusak lingkungan. Selama ini masyarakat dan penegak hukum cenderung permisif terhadap tindak perusakan lingkungan. Sanksi hukuman yang berat dan tegas diharapkan dapat menimbulkan efek jera bagi para perusak lingkungan.
Hari Air Sedunia, yang selalu diperingati setiap 22 Maret, menjadikan momentum penyadaran bahwa kita tinggal di planet yang sama. Bumi ibarat sebuah perahu, di bagian hulu atau hilir kita tinggal, kita tetap berada di perahu yang sama. Karena itu, kita dituntut arif dalam menggunakan air dan menjaga kelestarian sumber air untuk kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar