Oleh : Nasihin Masha
Contohnya adalah yang menimpa Fiera Lovita. Awalnya ia membuat status di facebook yang berbunyi “masi ada yg berkoar2 klo ulama mesumnya kena fitnah, loh ... dianya kaburr, mo ditabayyun polisi beserta barbuk ajah ga berani”. Dari status ini arahnya adalah ke Habib Rizieq Syihab. Lovita adalah seorang dokter yang tinggal di Solok, Sumatera Barat. Akunnya sempat terkena suspend sehingga tak bisa diakses. Kini sudah bisa dibuka lagi. Status-statusnya yang terkait dengan itu sudah tidak ada lagi. Namun pernyataan permohonan maafnya masih bertengger. Dari postingannya, juga terlihat ia memberikan nada positif pada Ahok. Akibat kasus ini, Kapolres Solok dicopot.
Lovita bukan satu-satunya, karena masih ada yang mengalami nasib serupa. Ada yang menyebutkan bahwa jumlahnya sekitar 52 orang. Lokasinya konon di seluruh Indonesia. Lalu hebohlah publik Indonesia dengan kosa kata persekusi. Tak hanya dari kalangan awam tapi juga dari aparat dan pejabat. Betulkah tindakan orang-orang itu adalah persekusi?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), persekusi diartikan sebagai “pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga yang kemudian disakiti, dipersusah, atau ditumpas”. Dari makna leksikal ini apa yang menimpa Lovita seolah memenuhi unsur untuk disebut persekusi. Walaupun masih harus ditelisik apakah betul sewenang-wenang? Apakah disakiti? Apakah dipersusah? Apakah ditumpas? Karena itu sebaiknya hati-hati. Apalagi kejadian ini juga berdimensi hukum maka rujukannya tak boleh hanya bersandar pada kamus. Tapi juga harus menimbang pengertian lain, misalnya dari sisi hukum. Apalagi sebagian pihak yang diduga melakukan tindakan terhadap pihak seperti Lovita ada yang sempat digelandang polisi. Dalam sistem hukum Indonesia, kita tak mengenal tindak pidana persekusi.
Kata persekusi ada dalam Statuta Roma. Statuta ini merupakan bagian dari produk Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Statuta lahir di Roma pada 1998. Sedangkan ICC berkedudukan di Den Haag, Belanda. Pada Pasal 1 disebutkan bahwa pembentukan ICC ini untuk menangani “kejahatan paling serius” (the most serious crimes of international concern). Ada empat jenis kejahatan yang masuk dalam kategori tersebut (Pasal 5), yaitu, kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Adapun ihwal persekusi masuk ke dalam Pasal 7, yang membahas tentang kejahatan terhadap kemanusiaan.
Pasal 7 (1) mengulas tentang apa itu kejahatan terhadap kemanusiaan; “Untuk keperluan Statuta ini, ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’ berarti salah satu dari perbuatan berikut ini apabila dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil, dengan mengetahui adanya serangan itu”. Ada 11 jenis kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk di dalamnya adalah persekusi, yang masuk pada poin h. Bunyinya adalah: “Persekusi terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender sebagai didefinisikan dalam ayat 3, atau atas dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diizinkan berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dengan setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada dalam jurisdiksi Mahkamah”.
Adapun pengertian persekusi itu sendiri ada di dalam Pasal 7 (2) pada poin g. Di situ disebutkan bahwa “Persekusi berarti perampasan secara sengaja dan kejam terhadap hak-hak dasar yang bertentangan dengan hukum internasional dengan alasan identitas kelompok atau kolektivitas tersebut”. Dari pengertian ini jelas sekali bahwa unsur penting dalam persekusi adalah perampasan, sengaja, kejam, hak dasar, identitas.
Sekarang pertanyaannya adalah, apakah hak dasar itu? Banyak sekali varian pendapat tentang hal ini. Namun merujuk pada kovenan internasional tentang hak sipil dan politik (ICCPR), di antara hak dasar itu adalah hak hidup; hak menentukan nasib sendiri; kebebasan dan keamanan pribadi dari penangkapan dan penahanan sewenang-wenang; perlakuan yang manusiawi dan menghormati martabat yang melekat jika terjadi perampasan kebebasannya; kebebasan bergerak dan memilih tempat tinggal; persamaan di muka hukum; kebebasan menetap di suatu wilayah negara; hak praduga tak bersalah; perlindungan wilayah privat; kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat, berkeyakinan, dan beragama; kebebasan berkumpul secara damai; kebebasan berserikat; hak menikah; perlindungan anak di bawah umur; hak ikut dalam pemerintahan, hak dipilih dan memilih, dan hak mendapatkan akses pelayanan umum; serta hak dan perlindungan terhadap minoritas. Tentu masih bisa ditambah di bidang ekonomi dan budaya.
Pertanyaan berikutnya adalah dalam semua kejadian yang kini dihebohkan itu apakah ada perampasan hak dasar yang sengaja dan kejam? Semua itu tak terjadi. Karena itu istilah yang lebih tepat untuk semua kejadian itu adalah tindak pidana yang lain seperti mengancam atau menganiaya, yang ada di KUHP. Sehingga secara leksikal lebih tepat menggunakan istilah intimidasi. Dalam KBBI pengertian indimidasi adalah “tindakan menakut-nakuti (terutama untuk memaksa orang atau pihak lain berbuat sesuatu); gertakan; ancaman”. Karena itu penggunaan diksi persekusi oleh aparat hukum atau pejabat negara bahkan pegiat hak asasi manusia terhadap kasus yang terjadi belakangan ini merupakan upaya berlebihan, pandir, bahkan bisa dikategorikan kekerasan verbal itu sendiri. Seorang kawan yang merupakan pejabat negara yang memahami benar pengertian persekusi dan konsekuensinya dalam dunia internasional mengatakan “mau membela mereka yang kena intimidasi malah bikin kesan bahwa sesuatu yang maha buruk sedang terjadi di Indonesia”. Karena itu ia menyitir sebuah peribahasa lama yang sudah jarang diucapkan: ibarat menghindari kentut malah terpijak kotoran. Duh!
Saat ini memang era narasi terburuk dalam sejarah Indonesia, ada degradasi intelektual yang akut. Tak lagi malu menjadi pandir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar