Dunia dan segala isinya tidak dimandatkan kepada Pegunungan Himalaya
atau Samudera Pasifik, namun kepada mahluk yang tak berdaya, bahkan
belum dapat langsung berjalan pada saat dilahirkan.
Tidak seperti bayi ikan paus yang dapat langsung berenang ataupun
bayi kuda yang langsung tegak kakinya dan berjalan sesaat setelah
dilahirkan. Bumi dan segala isinya dimandatkan kepada kita, manusia!
Mengapa?
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia, dalam bentuk yang sebaik-baiknya." – (QS.95:4).”
Itu diperkuat lagi dengan surat selanjutnya.
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah. Berkata
mereka: Apakah Engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di
dalamnya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji
Engkau dan memuliakan Engkau? Dia berkata: Sesungguhnya Aku lebih
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (QS Al Baqarah :30).
Sejatinya, manusialah satu-satunya mahluk yang punya kemampuan gerak
ke mana dan di ruang mana saja, baik itu darat, laut maupun udara.
Manusia dianugerahi potensi dan kemampuan eksplorasi, dan kemampuan
jelajah, dan kemampuan menjadi frontier. Itulah fitrah manusia yang
hakiki.
Fitrah yang menjadikan manusia-manusia sebagai "khalifah". Di situlah letak kemuliaan manusia sebagai mahluk-Nya.
Bukan sekadar manusia
Basyar, Insan dan An-nas. Dalam bahasa Indonesia, tiga kosa kata itu
diartikan sebagai manusia. Namun, Al Quran membedakan ketiga istilah itu
untuk menggambarkan manusia secara sangat komprehensif dan menyeluruh.
Basyar dari akar kata yang berarti penampakan sesuatu yang
baik dan indah. Secara umum hal itu menggambarkan manusia sebagai
sesuatu yang tampak, biologis, dan physical!
An-Nas lebih menekankan kepada arti manusia dalam perspektif mahluk sosial dan interaksinya. Adapun Insan
oleh Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbah diartikan sebagai harmonis,
tampak, lemah lembut, dinamis, pelupa atau dalam bahasa Inggris
diartikan sebagai human.
Secara komprehensif al insan dapat diartikan sebagai makhluk yang memiliki kemampuan menalar, berpikir dan merasa. Namun, juga terkadang khilaf.
Al insan menggambarkan manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan
raga. Kata insan inilah yang membawa manusia sampai pada derajat paling
tinggi, yaitu khalifah di muka bumi!
Mendidik khalifah
Fitrah sebagai khalifah menyiratkan pentingnya jiwa eksploratif, kritis tanpa batas. Untuk itu, seyogianya sistem pengembangan human capital dan pendidikan yang islami dapat mendorong siswa didik untuk berpikir merdeka, kritis, inovatif, dan terbuka. Pendidikan yang sesuai dengan fitrah manusia!
Pendidikan
seharusnya memberi kemerdekaan untuk mengartikulasikan keinginan,
ambisi, dan semangat tanpa dibatasi pakem, bahkan terkadang norma
sekalipun.
Pendidikan khalifatullah memberi ruang untuk berani menentukan keputusan sendiri, berkreasi, berinovasi dan mengambil risiko. Yakni, pendidikan yang akan bermuara pada penemuan baru dan pemikiran frontier!
Jiwa frontier adalah jiwa yang selalu melihat ke depan. Ini adalah karakter seorang khalifah.
Pendidikan khalifatullah adalah pendidikan
yang melahirkan para rahadian, yaitu manusia-manusia unggul dan menang
atau seperti dalam Pustaka Wedha Sasangka disebut kompetitif.
Pendidikan khalifatullah bukan pendidikan
kerdil yang menghasilkan manusia berkarakter firaun dan berkarakter
iblis, yang terus menerus "merusak" bumi dan isinya. Bukan hanya merusak
secara fisik, namun juga secara tatanan nilai dan ideologi.
Pendidikan khalifatullah adalah pendidikan
yang "mengkapitalisasi" ruh Ilahi, potensi ilahi yang ada dalam
manusia, karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang dalam unsur
penciptaannya terdapat ruh-Nya. Ruh inilah yang akan menghasilkan bukan
saja manusia terpelajar dan terdidik, namun juga tercerahkan
(enlightened)
Soekarno, Habibie, Gus Dur, Hatta, bukanlah produk dari pendidikan yang kerdil. Mereka buka saja kaum terpelajar, namun juga kaum tercerahkan.
Mereka beruntung dapat berguru dari sumber ilmu yang memberi ruang bagi ide-ide "gila" dan nyeleneh. Nasionalisme, industri strategis, pluralisme dan ekonomi kerakyatan adalah buah pendidikan yang memerdekakan siswa didik seperti merea. Pendidikan yang mencetak para khalifah.
Sang rahadian, sang prabu
Program National Human Development seyogianya merupakan grand design yang berorientasi pada pembentukan khalifah-khalifah.
Kitabullah seharusnya menjadi dasar dari segala dasar penyusunan sistem pendidikan
nasional, yang di dalamnya jelas-jelas menyampaikan bahwa tidak hanya
edukasi kognitif semata namun juga pentingnya pengembangan kapasitas
yang dibutuhkan di era kompetisi global ini.
Kapasitas apa yang dimaksud? Yaitu kemampuan berkolaborasi dan berinteraksi dalam lingkungan multi kultur. Pendidikan yang output-nya
adalah manusia yang peka dengan potensinya dan cepat membaca dinamika
serta perubahan eksternal. Manusia yang dapat mengharmonisasikan antara
kemampuan, kepekaan dan kesadaran menjadi kebijaksanaan (wisdom).
Bonus demografi yang konon puncaknya akan kita nikmati pada 2030
tidak akan berarti apa-apa tanpa didominasi manusia Indonesia dengan
kualifikasi khalifah. Manusia yang berilmu, terampil, berperilaku baik
dan bijak, –knowledge, skills, attitude dan wisdom: sang rahadian, sang prabu, sang khalifah.
Karena, pada akhirnya penyembahan yang sempurna dari seorang manusia
kepada penciptanya adalah menjadikan dirinya sebagai mandataris Allah
SWT di muka bumi dalam mengelola alam semesta. Sang khalifah!
KOMPAS.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar