Oleh: Ubedilah Badrun*
Saya termenung
berkali-kali untuk menulis gerakan 212 di penghujung tahun 2016 ini.
Selain sebagai gerakan sosial terbesar sepanjang sejarah di Indonesia
yang diikuti jutaan manusia secara damai, fakta-fakta mengagumkan di
lapangan telah menggelayuti nalar penulis.
Betapa tidak, sebagai akademisi yang fokus pada kajian sosial
politik, penulis tentu tidak diam di depan layar kaca untuk mengamati
pristiwa tersebut, tetapi menyelami realitas secara langsung (qualitative research approach), sebagai salah satu jalan terbaik bagi ilmuwan sosial untuk membaca dan menemukan makna di balik realitas sosial yang terjadi.
Dalam hazanah teori-teori sosial, gerakan 212 dapat diposisikan sebagai social movement (gerakan sosial). Jurgen Habermas ketika menjelaskan fenomena gerakan sosial mengemukakan bahwa social movement dipahami sebagai devensive
relations to defend the public and private sphere of individuals
againts the inroad of the state system and market economy (Gemma Edwards, Habermas and Social Movement Theory, 2009).
Perspektif
Habermas tersebut menggambarkan bahwa sesuatu disebut gerakan sosial
jika terjadi relasi defensif antaranggota masyarakat yang terkonsolidasi
untuk melindungi ruang publik dan private mereka dengan melawan tekanan
dari negara (state system) maupun ekonomi pasar (market economy).
Sementara
Anthony Giddens (Politics, Government and Social Movements, Sociology
7th Edition, 2013), gerakan sosial dimaknai sebagai upaya kolektif untuk
mengejar kepentingan bersama atau gerakan mencapai tujuan bersama atau
gerakan bersama melalui tindakan kolektif (action collective) di luar lembaga- lembaga mapan.
Dari
perspektif Habermas dan Giddens diatas sudah cukup untuk menempatkan
gerakan 212 sebagai gerakan sosial karena terpenuhinya sarat diantaranya
sebagai upaya kolektif untuk mencapai tujuan bersama (penegakan hukum),
melindungi ruang publik dan privat (hak individu sebagai pribadi dan
sebagai warga negara), ada tindakan kolektif (bergerak bersama),
dilakukan bukan oleh lembaga-lembaga mapan (inisiatif GNPF MUI).
Jika
kemudian dicari jawaban atas pertanyaan gerakan 212 itu kategori
gerakan sosial apa? Maka dalam referensi teoritik gerakan sosial, tidak
ditemukan jawaban yang tepat. Misalnya jika gerakan 212 diposisikan
sebagai bentuk revolutionary social movements (gerakan sosial
revolusioner) atau bahasa penguasa menyebutnya gerakan makar tentu tidak
tepat karena prasarat makar tak terpenuhi pada mereka.
Jika gerakan 212 diposisikan sebagai reformative social movements (gerakan sosial refirmatif) sebuah gerakan perubahan bertahap dan redemptive social movements (gerakan perubahan menyeluruh pada perilaku perorangan berbasis sikap penebusan) juga tidak tepat.
Gerakan
212 mungkin tepat digolongkan sebagai gerakan sosial baru yang dapat
diposisikan sebagai Gerakan Sosial Berbasis Religiusitas (GSBR). Disebut
GSBR karena ide gerakanya dilakukan sebagai protes terhadap
ketidakadilan hukum yang dilandasi oleh sikap religiusitas para
penggeraknya (respon spiritual atas apa yang disebut sebagai perilaku
penistaan terhadap kitab suci).
Gerakan Berbasis Religiusitas
Sejumlah karakteristik untuk menunjukan bahwa gerakan 212 adalah
Gerakan Sosial Berbasis Religiusitas diantaranya nampak pada militansi
yang berbaur dengan sikap voluntary (ikhlas) yang terlihat pada perilaku mereka. Aksi long march
masyarakat dari Ciamis menuju Monas yang kemudian menginspirasi
masyarakat Bogor dan Bekasi untuk melakukan hal yang sama adalah fakta
militansi dan keikhlasan yang dilakukan dengan kesadaran yang tinggi dan
tulus atas dasar religiusitas mereka.
Solidaritas sesama mereka juga nampak begitu kuat, dukungan rakyat
untuk memberikan makanan dan minuman yang melimpah, ratusan tim medis
dan ambulan yang bersiaga, jutaan masa yang tidak anarkis, saling
menolong, tertib, dibingkai dalam agenda doa dan sholat jumat berjamaah
yang terorganisir adalah fakta lainya yang terlihat di lapangan.
Mereka bukan kelompok intoleran sebab dilapangan mereka nampak begitu welcome
dengan siapapun pekerja dengan latar belakang agama berbeda yang
menyapa mereka disepanjang jalan Pramuka, Salemba, Senen, Medan Merdeka,
Menteng, Cikini, Harmoni dan Sudirman-Thamrin. Tidak juga penulis
temukan kalimat-kalimat intoleran dari mulut-mulut mereka, kecuali
doa-doa kemanusiaan dan keadilan.
Tuduhan intoleran kepada
mereka sangat tidak berdasar, kehadiran Jokowi-JK adalah fakta pengakuan
orang paling berkuasa di republik ini atas hebatnya jutaan manusia
berkumpul secara damai. Parade Bhineka Tunggal Ika 4 Desember jika
dilakukan untuk memposisikan gerakan 212 sebagai anti Bhineka Tunggal
Ika adalah keliru, sebab tidak ada Bhineka Tunggal Ika jika eksistensi
Indonesia tanpa kehadiran mereka.
Mereka adalah umat Islam
terpelajar yang menghargai keragaman. Fakta dilapangan juga penulis
temukan bahwa yang turut dalam gerakan 212 juga tidak sedikit berasal
dari etnis yang berbeda dan agama yang berbeda. Gerakan 212 hanya ingin
hukum ditegakan. Pesan substantif gerakan 212 adalah agar para penegak
hukum tidak boleh abai terkait hal ini.
Sebagai sebuah gerakan
sosial baru, gerakan 212 yang penulis kategorikan sebagai gerakan sosial
berbasis religiusitas yang dilakukan jutaan umat Islam Indonesia telah
memberikan sumbangan berharga bagi dunia, bahwa nilai-nilai religius
Islam yang diyakini jutaan manusia di Indonesia telah mampu mendorong
sebuah gerakan sosial besar yang civilized (beradab).
Fakta ini tentu luar biasa bagi kemajuan demokrasi. Namun
sesungguhnya umat Islam Indonesia telah memberi contoh terbaik bukan
hanya bagi demokrasi tetapi juga bagi peradaban dunia.
*Ubedilah Badrun, analis sosial politik, Ketua Laboratorium Sosiologi UNJ dan Direktur Puspol Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar