Selasa, 04 Oktober 2016
Amanah Kepemimpinan dalam Islam ..
Oleh: Dudung Abdul Rohman *)
Kehidupan saat ini semakin kompleks. Masalah demi masalah terus datang silih berganti. Permasalahan yang terjadi tidak berdiri sendiri, tapi terkait dengan masalah-masalah lainnya. Misalnya, masalah politik tidak semata-mata urusan politik, tapi berkaitan juga dengan persoalan sosial, ekonomi, dan budaya. Sehingga, ketika berupaya menyelesaikan suatu masalah, maka perlu dilihat dari berbagai aspek dan berorientasi pada pemecahan masalah secara komprehensif.
Di sinilah diperlukan figur dan sosok pemimpin. Kehadiran pemimpin dengan keadilan dan kebijaksanaannya diharapkan dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi. Dalam masyarakat tradisional mungkin cukup dengan kharisma dan ketokohan seorang figur pemimpin. Namun, dalam masyarakat modern, pemimpin bukan semata-mata figur, tapi sosok yang dapat membawa perbaikan dan perubahan ke arah yang lebih baik sesuai dengan tuntutan zaman dan dinamika yang terjadi di masyarakat.
Oleh karena itu, kata Veithzal Rivai dan Arviyan Arifin (2009:7), bahwa kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang mampu membawa organisasi sesuai dengan azas-azas kepemimpinan modern. Sekaligus, bersedia memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan kepada bawahan dan masyarakat luas.
Selanjutnya, dijelaskan juga, bahwa untuk menilai keberhasilan seorang pemimpin dalam memimpin suatu organsiasi atau lembaga dapat dilihat dari aspek-aspek: (1) produktivitas dan prestasi yang dicapainya; (2) kepiawaiannya dalam memimpin; (3) kejelian dalam menghadapi segala permasalahan yang ada; (3) memiliki kemampuan memimpin dan kemampuan intelektual; (4) mempunyai kharisma untuk melakukan trasnformasi (perubahan) dalam organisasi dan juga pemikiran individu dan pihak-pihak yang ada dalam organisasi.
Maka, dalam konteks kepemimpinan sekarang, dibutuhkan pemimpin yang memiliki kredibilitas dan integritas yang tinggi. Karena, hal ini, berhubungan dengan kondisi lingkungan pada saat ini yang mengalami krisis multidimensional.
Dalam hal kepemimpinan, misalnya, terjadi krisis komitmen (tanggung jawab), krisis kredibilitas (kepercayaan), dan krisis kehidupan berbangsa dan bermasyarakat dengan banyaknya bermunculan permasalahan dalam kehidupan yang sangat kompleks. Maka dibutuhkan tipe pemimpin yang efektif yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut. Yakni, mereka yang mampu menciptakan wawasan dan wacana untuk masa depan dengan mempertimbangkan kepentingan jangka panjang kelompok yang terlihat.
Selain itu, mereka yang mampu mengembangkan strategi yang rasional untuk menuju ke arah tercapainya wawasan tersebut. Mereka yang mampu memperoleh dukungan dari pusat kekuatan dalam hal kerja sama, persetujuan, kerelaan, atau kelompok kerjanya dibutuhkan untuk menghasilkan pergerakan itu; mereka yang mampu memberi motivasi yang kuat kepada kelompok inti yang tindakannya merupakan penentu untuk melaksanakan strategi (Veithzal Rivai dan Arviyan Arifin, 2009:131).
Dalam pandangan Islam kepemimpinan adalah amanah. Maka, pemimpin adalah orang yang mendapatkan amanah untuk mengurus kepentingan rakyat. Bukan orang yang tidak mengurus kepentingan rakyat. Oleh karena itu, kata Didin Hafidhuddin dan Hendri Tanjung (2003:120), bahwa dalam pandangan Islam, kepemimpinan itu mengandung dua pengertian. Pertama, Ulil Amri, artinya pemimpin dan pejabat adalah orang yang mendapat amanah untuk mengurus urusan orang lain. Kedua, Khadimul Ummah, pengertiannya seorang pemimpin harus menempatkan diri pada posisi sebagai pelayan masyarakat. pemimpin harus berusaha dan berupaya sekuat tenaga supaya organisasi yang dipimpinnya maju, pegawainya sejahtera, serta masyarakat dan lingkungan sekitarnya menikmati kehadiran organisasi tersebut.
Selanjutnya, KH. Didin Hafidhuddin (2003:121) menambahkan, bahwa supaya menjadi pemimpin yang sukses dalam menjalankan amanah kepemimpinannya, maka ada empat kriteria pemimpin sukses dalam Islam, yaitu: pertama, seorang pemimpin harus dicintai oleh rakyatnya. Hal ini bisa dianalogikan pada kepemimpinan shalat berjamaah. Apabila imamnya dicintai oleh makmumnya, maka pertanda jamaah yang baik. Shalat berjamaah yang paling baik adalah shalat yang dipimpin oleh imam yang baik, yang fasih bacaannya, dan juga dicintai oleh makmumnya.
Kedua, pemimpin yang mampu menampung aspirasi bawahannya. Artinya, dapat menerima saran dan kritikan dari bawahan atau rakyatnya. Seperti yang ditunjukkan oleh Amirul Mukminin Umar bin Khatab ra. Sejenak setelah dilantik menjadi Khalifah kaum Muslimin, dia mendapat kritikan dari rakyatnya, bahwa “Apabila engkau wahai Khalifah benar, maka aku akan menaatimu, tetapi kalau engkau menyimpang, maka pedang ini yang akan meluruskannya”. Sayyidina Umar ra. tersenyum dan merasa bangga dengan kritikan rakyatnya.
Ketiga, pemimpin yang suka bermusyawarah. Musyawarah harus dilakukan, terutama dengan orang-orang tertentu, untuk membahas persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan publik atau berkaitan dengan kepentingan umum. Sehingga kebijakan dan keputusan yang diambil tidak keluar dari koridor kebenaran dan keadilan demi kemaslahatan dan kesejahteraan rakyat.
Keempat, pemimpin harus tegas. Seorang pemimpin adalah decicion making, artinya pengambil keputusan final. Maka dalam mengambil keputusan harus tegas dan jelas. Tegas di sini bukan berarti otoriter (memaksakan kehendak sendiri), karena tetap berdasarkan mekanisme musyawarah dan pertimbangan yang matang, sehingga menghasilkan keputusan dan pemecahan masalah yang efektif (tepat sasaran), objektif, serta berpihak pada kepentingan dan kemaslahatan rakyat. Wallahu A’lam Bish-Shawab.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar