Oleh: KH Athian Ali
Adapun bentuk pengenalan atau keyakinan yang kedua adalah melalui hubungan antara kita dengan sesuatu yang ada di dalam diri kita sendiri. Seperti halnya kita merasakan sedih, gelisah, resah, bahagia atau gembira yang tidak dapat dibuktikan keberadaannya dalam diri kita.
Betapa sulitnya kita untuk mengungkapkan sesuatu yang ada di dalam diri kita, karena ini semua di luar jangkauan akal kita. Maka dari itu, ketika kita berbicara masalah keimanan masuklah kita pada bentuk pengenalan yang pertama. Untuk itu, jangan kemudian kita menuntut bukti keberadaan Allah dengan bukti indra, seperti kesalahan kaum Nabi Musa tempo dulu.
Pertanyaannya, dari mana proses hadirnya keimanan dalam diri kita? Jawabannya, dalam QS. Al-A’araaf ayat 172 Allah SWT menjelaskan, sebelum Allah SWT menciptakan manusia lengkap roh dan jasadnya, terlebih dahulu Allah SWT menciptakan roh seluruh manusia dari manusia pertama (Adam) hingga manusia terakhir yang akan lahir menjelang kiamat nanti.
Kepada seluruh roh manusia, Allah SWT mengambil penyaksian (syahadat) dengan pertanyaa-Nya: a lastu birrabbikum? (bukankah Aku ini Rabb kalian?), serempak roh seluruh manusia pada saat itu bersyahadat dengan menyatakan, “balaa syahidnaa” (Benar Engkau adalah Rabb kami, kami menyaksikan).
Setelah semua roh manusia bersyahadat di alam roh/azali, barulah Allah SWT menciptakan jasad manusia pertama Adam dari tanah dan kemudian ditiupkanlah melalui Malaikat roh Adam ke dalam jasadnya. Jadilah Adam manusia pertama yang lengkap roh dan jasadnya.
Setelah itu diciptakanlah jasad Siti Hawa dari tulang rusuk Adam dan ditiupkan pula roh ke dalam jasad tersebut. Jadilah Adam dan Siti Hawa manusia pertama dan kedua yang akan mengisi kehidupan sebagai Khalifah Allah di alam dunia (QS. Al Baqarah,2:30).
Selanjutnya jasad manusia setelah Adam dan Siti Hawa tidak lagi diciptakan dari tanah, melainkan melalui pertemuan spermatozoa suami dengan zat telur (istri) yang berproses dari nuftah (cairan mani) menjadi ‘alaqah (gumpalan darah) lalu menjadi mudghah (gumpalan daging).
Pada usia janin antara 90 hari atau 3 bulan (HR. Muslim) dan 120 hari atau 4 bulan (HR. Bukhari), ditiupkanlah melalui Malaikat roh yang telah bersyahadat ke dalam rahim. Pada usia kurang lebih 7-9 bulan lahirlah ke alam dunia yang disambut hadits, “Setiap anak manusia lahir dalam keadaan fitrah”.
Dasar inilah yang mengantarkan para ulama terkemuka semisal Al Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah dalam Miftahud Daarus Sa’aadah, Ibnu Khaldun dalam Mukadimah, Ibnu Mukawaih dalam Tahziibul Akhlak, dan ulama-ulama terkemuka lainnya sepakat menyatakan, “fitrah” yang imaksud dalam hadits tersebut adalah fitrah iman (QS. Al-Araaf, 7:172) dan fitrah Islam, :”fithratallaahil latii fatharan naasa ‘alaihaa” (QS. Ar-Rum,30:30) yakni suci dari kekufuran, kemusyrikan dan kemunafiikan serta suci dari dosa dan kesalahan.
Oleh karena itu, Islam tidak mengenal apa yang dinamakan dengan “dosa waris” sebagaimana kepercayaan-kepercayaan lain yang sesat dan menyesatkan.
Dengan kata lain, setiap manusia yang lahir ke alam dunia adalah sudah muslim karena sudah bersyahadat pada saat rohnya di alam azali yang telah diambil penyaksiannya. Kendati anak manusia itu lahir dari rahim seorang ibu yang kafir sekali pun.
Itulah sebabnya tidak kita temukan syariat yang mengajarkan upacara pengislaman bayi yang baru lahir atau setelah dewasa. Namun, sebagaimana kita tahu yang dinyatakan dalam lanjutan hadits di atas, kedua orangtuanya dan lingkungan bisa saja mengubah fitrah iman dan Islam seseorang menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.
Dengan demikian, tidak perlu bersyahadat lagi dalam pengertian pernyataan masuk Islam bagi setiap anak yang lahir dan berkembang dalam keimanan dan keislamannya. Bersyahadat dalam pengertian masuk Islam hanya diharuskan bagi seseorang yang telah menyimpang dari fitrah iman dan Islamnua menjadi kafir dan yang bersangkutan bermaksud kembali kepada Islam.
Layaklah kiranya timbul pertanyaan dalam diri kita, kenapa Allah SWT bertanya kepada semua roh manusia di alan azali dengan pertanyaan, a lastu bi rabbikum, bukan a lastu bi ilahikum? Jawabnya, karena pada waktu itu roh manusia belum diperintahkan untuk mengabdi.
Kita hanya diminta penyaksian, maka dari itu jawaban kita pada waktu itu pun, qaalu balla syahidnaa (Benar Engkau adalah Rabb kami, kami bersaksi), bukan kami mengabdi, karena pada saat itu manusia belum dituntut pengabdian. Rabb, dalam pengertiannya DIA sebagai Pencipta, pemelihara, pendidik. Sedangkan Ilah, sudah menggandung arti bahwa DIA sebagai Dzat tempat kita mengabdi.
Adapun bentuk pengenalan atau keyakinan yang kedua adalah melalui hubungan antara kita dengan sesuatu yang ada di dalam diri kita sendiri. Seperti halnya kita merasakan sedih, gelisah, resah, bahagia atau gembira yang tidak dapat dibuktikan keberadaannya dalam diri kita.
Betapa sulitnya kita untuk mengungkapkan sesuatu yang ada di dalam diri kita, karena ini semua di luar jangkauan akal kita. Maka dari itu, ketika kita berbicara masalah keimanan masuklah kita pada bentuk pengenalan yang pertama. Untuk itu, jangan kemudian kita menuntut bukti keberadaan Allah dengan bukti indra, seperti kesalahan kaum Nabi Musa tempo dulu.
Pertanyaannya, dari mana proses hadirnya keimanan dalam diri kita? Jawabannya, dalam QS. Al-A’araaf ayat 172 Allah SWT menjelaskan, sebelum Allah SWT menciptakan manusia lengkap roh dan jasadnya, terlebih dahulu Allah SWT menciptakan roh seluruh manusia dari manusia pertama (Adam) hingga manusia terakhir yang akan lahir menjelang kiamat nanti.
Kepada seluruh roh manusia, Allah SWT mengambil penyaksian (syahadat) dengan pertanyaa-Nya: a lastu birrabbikum? (bukankah Aku ini Rabb kalian?), serempak roh seluruh manusia pada saat itu bersyahadat dengan menyatakan, “balaa syahidnaa” (Benar Engkau adalah Rabb kami, kami menyaksikan).
Setelah semua roh manusia bersyahadat di alam roh/azali, barulah Allah SWT menciptakan jasad manusia pertama Adam dari tanah dan kemudian ditiupkanlah melalui Malaikat roh Adam ke dalam jasadnya. Jadilah Adam manusia pertama yang lengkap roh dan jasadnya.
Setelah itu diciptakanlah jasad Siti Hawa dari tulang rusuk Adam dan ditiupkan pula roh ke dalam jasad tersebut. Jadilah Adam dan Siti Hawa manusia pertama dan kedua yang akan mengisi kehidupan sebagai Khalifah Allah di alam dunia (QS. Al Baqarah,2:30).
Selanjutnya jasad manusia setelah Adam dan Siti Hawa tidak lagi diciptakan dari tanah, melainkan melalui pertemuan spermatozoa suami dengan zat telur (istri) yang berproses dari nuftah (cairan mani) menjadi ‘alaqah (gumpalan darah) lalu menjadi mudghah (gumpalan daging).
Pada usia janin antara 90 hari atau 3 bulan (HR. Muslim) dan 120 hari atau 4 bulan (HR. Bukhari), ditiupkanlah melalui Malaikat roh yang telah bersyahadat ke dalam rahim. Pada usia kurang lebih 7-9 bulan lahirlah ke alam dunia yang disambut hadits, “Setiap anak manusia lahir dalam keadaan fitrah”.
Dasar inilah yang mengantarkan para ulama terkemuka semisal Al Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah dalam Miftahud Daarus Sa’aadah, Ibnu Khaldun dalam Mukadimah, Ibnu Mukawaih dalam Tahziibul Akhlak, dan ulama-ulama terkemuka lainnya sepakat menyatakan, “fitrah” yang imaksud dalam hadits tersebut adalah fitrah iman (QS. Al-Araaf, 7:172) dan fitrah Islam, :”fithratallaahil latii fatharan naasa ‘alaihaa” (QS. Ar-Rum,30:30) yakni suci dari kekufuran, kemusyrikan dan kemunafiikan serta suci dari dosa dan kesalahan.
Oleh karena itu, Islam tidak mengenal apa yang dinamakan dengan “dosa waris” sebagaimana kepercayaan-kepercayaan lain yang sesat dan menyesatkan.
Dengan kata lain, setiap manusia yang lahir ke alam dunia adalah sudah muslim karena sudah bersyahadat pada saat rohnya di alam azali yang telah diambil penyaksiannya. Kendati anak manusia itu lahir dari rahim seorang ibu yang kafir sekali pun.
Itulah sebabnya tidak kita temukan syariat yang mengajarkan upacara pengislaman bayi yang baru lahir atau setelah dewasa. Namun, sebagaimana kita tahu yang dinyatakan dalam lanjutan hadits di atas, kedua orangtuanya dan lingkungan bisa saja mengubah fitrah iman dan Islam seseorang menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.
Dengan demikian, tidak perlu bersyahadat lagi dalam pengertian pernyataan masuk Islam bagi setiap anak yang lahir dan berkembang dalam keimanan dan keislamannya. Bersyahadat dalam pengertian masuk Islam hanya diharuskan bagi seseorang yang telah menyimpang dari fitrah iman dan Islamnua menjadi kafir dan yang bersangkutan bermaksud kembali kepada Islam.
Layaklah kiranya timbul pertanyaan dalam diri kita, kenapa Allah SWT bertanya kepada semua roh manusia di alan azali dengan pertanyaan, a lastu bi rabbikum, bukan a lastu bi ilahikum? Jawabnya, karena pada waktu itu roh manusia belum diperintahkan untuk mengabdi.
Kita hanya diminta penyaksian, maka dari itu jawaban kita pada waktu itu pun, qaalu balla syahidnaa (Benar Engkau adalah Rabb kami, kami bersaksi), bukan kami mengabdi, karena pada saat itu manusia belum dituntut pengabdian. Rabb, dalam pengertiannya DIA sebagai Pencipta, pemelihara, pendidik. Sedangkan Ilah, sudah menggandung arti bahwa DIA sebagai Dzat tempat kita mengabdi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar