Oleh: Adian Husaini
Orang kampung memanggilnya Kyai Muhsin. Sehari-hari, ia berdagang di pasar kampungnya. Sepeda tuanya terkadang dinaikinya. Tapi lebih sering dituntunnya. Umurnya, diduga 70 tahunan. Hanya, ia belum pernah ia berurusan dengan rumah sakit. Tidak ada catatan resmi hari lahirnya. Kain sarung dan lantunan zikir menjadi ciri utamanya. Mengajar ngaji anak-anak adalah rutinitas kesahariannya. Tak pernah terlihat ia baca koran atau menonton berita. Hanya silaturrahim ke sana-sini menjadi hobinya. Uniknya, ia seperti paham kondisi politik negeri. Sudah jadi tradisi, ia selalu bertanya tentang masalah politik kepada cucu-cucunya jika mereka berlibur dari kuliahnya.
“Sopo Le sing arep dadi Presiden?
Jokowi, Prabowo, opo Oma Irama?” Mbah Muhsin bertanya kepada Sikirno,
salah satu cucunya, saat liburan dari kuliahnya di Yogya.
Kirno gelagapan. Pertanyaan itulah yang hari-hari ini bergelayut di
benaknya. Sebagai aktivis masjid kampus, ia juga diombang-ambingkan oleh
berbagai informasi seputar para capres RI 2014-2019. Ia kebingungan,
siapa yang seharusnya dipilih. Maka, kesempatan itu pun ia manfaatkan
untuk menggali informasi dari kakeknya, yang menurut ibunya, Mbahnya itu
kadangkala memiliki pemikiran yang “aneh”, seperti bisa memahami masa
depan.“Bingung Mbah; kalau menurut Mbah siapa yang terbaik yang harus kita pilih?” tanya Kirno. “Kalau kamu pilih siapa?” Mbah Muhsin bertanya balik ke cucunya. “Ya, itu yang saya bingung Mbah. Teman-teman juga bingung. Seorang Ustad di kampus pernah bilang, pokoknya jangan pilih Jokowi, karena ia dikendalikan oleh kekuatan asing dan konglomerat hitam yang dulu merugikan keuangan negara ratusan trilyun. Amerika dan jaringan Yahudi juga katanya lebih mendukung Jokowi. Kalau pilih Prabowo, katanya ia emosional, dan ada adiknya yang misionaris Kristen. Padahal saudaranya itu yang punya uang banyak. Prabowo juga dikabarkan kurang tekun ibadahnya. Tapi, ada beberapa tokoh Islam mengatakan ia suka membela orang Islam. Bagaimana ini Mbah. Bingung milihnya! Padahal, beberapa pengamat bilang, cuma dua calon itu yang kuat? Katanya, dulunya Jokowi diangkat untuk menjegal Prabowo; dan sebaliknya, hanya Prabowo yang bisa membendung Jokowi. Pokoknya, banyak sekali berita yang sulit bagi saya menerima atau menolaknya!”
“Yo, yo,yo…. , ngono yo Le…. wah pancen angel iki,” Mbah Muhsin bergumam sendiri, sambil mengangguk-anggukkan kepalanya; kelihatan sedang merenungkan sesuatu. “ Terus gimana Mbah? Apa tidak usah milih saja?” Kirno mendesak kakeknya. “Kenapa tidak memilih?” tanya Mbah Muhsin. “Ya, karena dua-duanya bisa merugikan Islam, karena mereka sekuler, tidak tulus ikhlas berpihak kepada aspirasi Islam?” “ Kalau kamu tidak milih, apa lalu Presidennya bisa lebih baik?” “Itulah Mbah yang membuat saya dan teman-teman bingung!” “Ya, makanya, jangan memutuskan tidak milih dulu! Dipikir yang baik. Nanti dulu, saya pikir baik-baik. Tunggu sebentar yo Le,” kata Mbah Muhsin yang berucap dalam bahasa Jawa campur bahasa Indonesia.
Kirno tidak tahu, apa yang dikerjakan Mbah Muhsin di dalam kamarnya. Sekitar 15 menit kemudian, Mbah Muhsin kembali menemui Kirno. “Kita ngomong di dalam saja, Kirno…, nggak enak didengar orang.” Kirno menuruti langkah kakeknya. Tanpa diduganya, ia diajak memasuki kamar yang dipenuhi buku. Pemandangan di depannya nyaris membuatnya tak percaya. Kakeknya menyimpan begitu banyak koleksi buku. Penampilan kakeknya pun tak mencerminkan ia seorang peminat buku. Apalagi, tak pernah didengarnya sang kakek membicarakan masalah politik dan keagamaan kontemporer. Orang tuanya juga tidak pernah bercerita tentang hal ini.
“Kirno, sudah saatnya Mbah beritahu kamu satu rahasia. Ini kumpulan tulisan Mbah di sebuah majalah Islam tahun 1950-an. Mbah gunakan nama samaran: Ki Sarmidi. Dulu Mbah aktif menulis tentang pemikiran sekulerisme dan komunisme. Alhamdulillah, nama asli Mbah tidak pernah terbuka. Hanya redaksi saja yang tahu, dan mereka menyembunyikan identitas Mbah, sampai mereka semua meninggal dunia.”
Kirno hanya terdiam, terselimuti rasa takjub. Dibolak-baliknya lembaran-lembaran kliping artikel yang semakin mencoklat warnanya. Ada beberapa bagian sulit dibaca. Tatapannya terhenti pada sebuah artikel berjudul “Jalan Kehancuran Negara Sekuler”. Sambil tetap berdiri, dibacanya pelan-pelan artikel yang sudah buram tulisannya itu. Hatinya takjub. Kalimat demi kalimat yang dibacanya terasa tajam dalam menguliti kekeliruan paham sekulerisme.
Melihat cucunya bersemangat membaca artikelnya, Mbah Muhsin mengambil sebuah diktat lusuh dari tumpukan koleksinya. Diktat itu bertuliskan “Islam Sebagai Dasar Negara: Salinan dari buku Teks Pidato M. Natsir di muka sidang pleno Badan Konstituante, 20 Juli 1957 di Bandung.”
“Ini kamu baca, Mbah tinggal dulu sebentar. Mbah ada perlu. InsyaAllah satu jam lagi kembali. Kita diskusikan isi diktat ini,” kata Mbah Muhsin, sambil bergegas meninggalkan cucunya. Dalam hatinya ia bersyukur, ada diantara garis keturunannya yang berminat memahami sejarah perjuangan Islam. Sudah lama ia menunggu-nunggu saat tepat untuk membuka tabir dirinya.
Sebagai aktivis mahasiswa Islam, Kirno sudah akrab dengan nama Mohammad Natsir, tokoh dan pejuang Islam yang belakangan juga diakui sebagai salah satu Pahlawan Nasional. Namanya sangat harum karena pemikiran dan akhlaknya bisa dijadikan teladan. Namun, Kirno belum membaca secara khusus pemikiran Pak Natsir dalam soal kenegaraan. Kini di tangannya terpampang dengan cukup jelas, uraian-uraian Pak Natsir tentang kekeliruan dan bahaya paham sekulerisme bagi bangsa Indonesia. Uraian itu begitu mempesona dan mudah dipahami. Kalimat demi kalimat isi pidato Pak Natsir itu ia cerna dengan hati-hati:
Pilihan kita, satu dari dua:
sekulerisme atau agama…. Sdr. Ketua! “Sejarah manusia umumnya pada
tinjauan terakhirnya, memberikan kepada kita pada final analisisnya
hanya dua alternatif untuk meletakkan dasar negara dalam sikap asasnya
(principle attitude-nya), yaitu: (1) faham sekulerisme (la-dieniyah)
tanpa agama, atau (2) faham agama (dieny).
Sdr. Ketua! Apa itu sekulerisme, tanpa
agama, la-dieniyah? Sekulerisme adalah suatu cara hidup yang mengandung
paham tujuan dan sikap hanya di dalam batas hidup keduniaan. Segala
sesuatu dalam kehidupan kaum sekuleris tidak ditujukan kepada apa yang
melebihi batas keduniaan. Ia tidak mengenal akhirat, Tuhan, dsb.
Walaupun ada kalanya mereka mengakui akan adanya Tuhan, tapi dalam
penghidupan perseorangan sehari-hari umpamanya, seorang sekuleris tidak
menganggap perlu adanya hubungan jiwa dengan Tuhan, baik dalam sikap,
tingkah laku dan tindakan sehari-hari, maupun hubungan jiwa dalam arti
doa dan ibadah. Seorang sekuleris tidak mengakui adanya wahyu sebagai
salah satu sumber kepercayaan dan pengetahuan. Ia menganggap bahwa
kepercayaan dan nilai-nilai moral itu ditimbulkan oleh masyarakat
semata-mata. Ia memandang bahwa nilai-nilai itu ditimbulkan oleh sejarah
atau pun oleh bekas-bekas kehewanan manusia semata-mata, dan dipusatkan
kepada kebahagiaan manusia dalam penghidupan saat ini belaka…
Di lapangan ilmu pengetahuan, Sdr.
Ketua, sekulerisme menjadikan ilmu-ilmu terpisah daripada nilai-nilai
hidup dan peradaban. Timbullah pandangan bahwa ilmu ekonomi harus
dipisahkan dari etika. Ilmu sejarah harus dipisahkan dari etika. Ilmu
sosial harus dipisahkan dari norma-norma moral, kultur dan kepercayaan.
Demikian juga ilmu jiwa, filsafat, hukum, dsb. Sekedar untuk kepentingan
obyektiviteit. Sikap memisahkan etika dari ilmu pengetahuan ada
gunanya, tetapi ada batas-batas dimana kita tidak dapat memisahkan ilmu
pengetahuan dari etika.
Kemajuan ilmu teknik dapat membuat bom
atom. Apakah ahli-ahli ilmu pengetahuan yang turut menyumbangkan tenaga
atas pembikinan bom tersebut harus ikut bertanggungjawab atas
pemakaiannya atau tidak? Bagi yang memisahkan etika dari ilmu
pengetahuan mudah saja untuk melepaskan tanggungjawab atas pemakaian bom
itu. Di sini kita lihat betapa jauhnya sekulerisme. Ilmu pengetahuan
sudah dijadikan tujuan tersendiri, science for the sake of science.
Di dalam penghidupan perseorangan dan
masyarakat, sekulerisme la-dieniyah tidak memberi petunjuk-petunjuk yang
tegas. Ukuran-ukuran yang dipakai oleh sekulerisme banyak macamnya. Ada
yang berpendapat bahwa hidup bersama laki-laki dan wanita tanpa kawin
tidak melanggar kesusilaan. Bagi satu negara menentukan sikap yang tegas
terhadap hal ini adalah penting. Sekulerisme dalam hal ini tidak dapat
memberi pandangan yang tegas, sedangkan agama dapat memberi keputusan
yang terang.
Pengakuan atas hak milik perseorangan,
batas-batas yang harus ditentukan antara hak-hak buruh dan majikan, apa
yang kita maksud dengan perkataan “adil dan makmur”, ini semua
ditentukan oleh kepercayaan kita. Sekulerisme tidak mau menerima sumber
ke-Tuhanan untuk menentukan soal-soal ini. Kalau demikian terpaksalah
kita melihat sumber paham-paham dan nilai-nilai itu semata dari
pertumbuhan masyarakat yang sudah berabad-abad berjalan sebagaimana yang
didorongkan oleh sekulerisme. Ini tidak akan memberi pegangan yang
teguh. Ada beribu-ribu masyarakat yang melahirkan bermacam-macam nilai.
Ambillah, misalnya soal bunuh diri. Ada masyarakat yang mengijinkan dan
ada yang melarang. Yang mana yang harus dipakai? Bagi suatu negara
mengambil sikap yang menentukan adalah penting, karena hukum-hukum
mengenai sikap yang menentukan adalah penting, karena hukum-hukum
mengenai persoalan itu akan dipengaruhi oleh sikap tersebut. Lagi,
disini sekulerisme tidap dapat memberikan pandangan yang positif.
Jika timbul pertanyaan, apa arti
penghidupan ini, sekulerisme tidak dapat menjawab dan tidak merasa perlu
menjawabnya. Orang yang kehilangan arti tentang kehidupan, akan
mengalami kerontokan rohani. Tidaklah heran, bahwa di dalam penghidupan
perseorangan, sekulerisme menyuburkan penyakit syaraf dan rohani.
Manusia membutuhkan suatu pegangan hidup yang asasnya tidak berubah.
Jika ini hilang, maka mudahlah baginya mengalami taufan rohani. Demikian
akibat pemahaman sekulerisme dalam hidup orang perseorangan. Pengaruh
agama terhadap kesehatan rohani ini telah diakui oleh ilmu jiwa jaman
sekarang….
Ada satu pengaruh sekulerisme yang
akibatnya paling berbahaya dibandingkan dengan yang saya telah sabut
tadi. Sekuleris, sebagaimana kita telah terangkan, menurunkan
sumber-sumber nilai hidup manusia dari taraf ke-Tuhanan kepada taraf
kemasyarakatan semata-mata. Ajaran tidak boleh membunuh, kasih sayang
sesama manusia, semuanya itu menurut sekulerisme, sumbernya bukan wahyu
Ilahi, akan tetapi apa yang dinamakan: Penghidupan masyarakat
semata-mata. Umpamanya dahulu kala nenek moyang kita, pada suatu ketika,
insaf bahwa jika mereka hidup damai dan tolong menolong tentu akan
menguntungkan semua pihak. Maka dari situlah katanya timbul larangan
terhadap membunuh dan bermusuhan.
Kita akan lihat betapa berbahayanya
akibat pandangan yang demikian. Pertama, dengan menurunkan nulai-nilai
adab dan kepercayaan ke taraf perbuatan manusia dalam pergolakan
masyarakat, maka pandangan manusia terhadap nilai-nilai tersebut
merosot. Dia merasa dirinya lebih tinggi daripada nilai-nilai itu! Ia
menganggap nilai-nilai itu bukan sebagai sesuatu yang dijunjung tinggi,
tapi sebagai alat semata-mata karena semua itu adalah ciptaan manusia
sendiri…
Kirno terpekur merenungkan kalimat demi kalimat sebagian dari isi
pidato Pak Natsir itu. Sebagai mahasiswa ilmu budaya, ia sangat akrab
dengan pemikiran sekuler yang dikritik secara tajam oleh Pak Natsir. Ia
baru paham, mengapa di kampusnya ada Fakultas Ilmu Budaya, tetapi tidak
ada Fakultas Ilmu Agama. Itulah sebagian pandangan sekulerisme yang
sebenarnya telah menempatkan manusia sebagai “Tuhan”, karena merasa
berhak menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang halal
dan mana yang haram.Belum tuntas ia melanjutkan renungannya, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Kakeknya segera menyapanya. “Pidato Pak Natsir itu yang menginspirasi tulisan Mbah tentang sekulerisme. Kamu boleh bawa diktat itu dengan hati-hati dan jangan bercerita kepada siapa pun, termasuk kepada bapak ibumu. Mbah tidak ingin rahasia ini terungkap sampai Mbah meninggal.”
Kirno diam. Hatinya dipenuhi banyak pertanyaan, tetapi ia enggan bertanya lebih jauh. Yang terpikir olehnya, bagaimana ia diijinkan kakeknya untuk membaca koleksi buku-bukunya. Seakan memahami keinginan cucunya, Mbah Muhsin pun berujar, “Kamu saya beri kunci kamar ini. Kapan saja ada waktu kamu boleh membaca di sini. Tapi, jangan sampai ada orang yang tahu. Itu syaratnya.”
Kirno mengangguk. Tapi, ia segera menukas, “Terus Mbah, untuk Presiden Indonesia tahun 2014 ini, pilih siapa? Jokowi, Prabowo, Oma Irama, atau Aburizal Bakrie, atau siapa?”
“Saya ini di kampung. Tidak banyak mendengar informasi politik. Hanya mendengar pembicaraan orang dari pasar dan warung-warung. Tapi kalau melihat informasi yang ada, sebelum memilih, mestinya tokoh-tokoh Islam mendatangi para calon Presiden itu. Semuanya mereka Muslim dan sudah haji. Tanyakan kepada mereka satu-satu, bagaimana komitmennya terhadap apirasi Islam dan khususnya sikap mereka terhadap sekulerisme. Kalau tidak ada yang ideal, maka pilih yang paling kecil mudharatnya bagi umat Islam. Minimal, ia tidak memusuhi dakwah Islam, tidak menindas umat Islam, dan tidak memberikan dukungan kepada kaum misionaris, kapitalis, dan sekuleris.”
“Itu masih terlalu normatif Mbah. Kurang praktis!” “Ijtihad politik bisa berbeda, tergantung informasi yang kita terima, karena calon-calon yang ada tidak secara jelas berlatarbelakang ulama atau aktivis Islam dan mempunyai visi dan misi keislaman yang tersurat, sebagaimana Pak Natsir itu.” “Kalau Oma Irama, Mbah?” “Dari omongan orang, katanya belum pasti Oma Irama akan dimajukan sebagai capres. Mungkin ia selama ini hanya digunakan untuk menarik suara, karena sekarang artis sudah dipuja melebihi ulama. Saya tidak meragukan komitmen Oma Irama terhadap Islam, karena saya tahu sejak tahun 1970-an ia punya komitmen yang tinggi terhadap partai Islam. Banyak lagunya yang bermuatan dakwah dan politik Islam. Nanti kalau sudah pasti siapa capresnya, kamu ke sini lagi.”
“Kalau antara Jokowi dan Prabowo siapa Mbah yang lebih baik dipilih?” “Ada kyai di Solo, murid Pak Natsir yang kenal keduanya. Kamu tanya dia. Ia tokoh terkenal. Mudah mencarinya!” “Saya ingin tahu dari Mbah sendiri. Dari mata batin Mbah sendiri. Siapa yang lebih baik dipilih, andaikan capresnya nanti cuma Jokowi dan Prabowo?”
“Di samping kelemahannya, kelebihan Prabowo itu tegas dan berani serta nekad. Ia sudah kaya raya sejak dulu, sehingga tidak butuh uang. Latar belakang tentaranya mungkin masih diperlukan untuk mengatasi berbagai ancaman separatisme. Saya dengar, ia kenal baik dengan Pak Natsir. Kalau Prabowo berjanji mau mengaji dan mendengar nasehat ulama-ulama yang soleh, itu sangat baik.” “Kalau Jokowi. Mbah?” “Mbah juga dengar, ia orang baik. Ia suka kerja keras dan dekat dengan rakyat. Beratnya, seperti yang kamu ceritakan, di belakang dan sekeliling dia, diberitakan ada orang-orang yang lebih berpihak kepada sekulerisme dan mungkin beberapa diantaranya kepanjangan tangan kepentingan Yahudi dan misionaris Kristen. Saya tidak tahu, apakah Jokowi bisa keluar dari jeratan para pendukungnya itu? Yang berat juga, jika Jokowi jadi Presiden, maka yang jadi Gubernur Jakarta adalah orang kafir! Tentu, itu sangat berat bagi para ulama dan umat Islam yang tidak sekuler dan sadar akan ajaran al-Quran. Sebab, pemimpin dalam Islam itu mempunyai tanggung jawab dunia dan akhirat. Bagaimana jika simbol pemimpin ibukota negara muslim terbesar di dunia adalah seorang kafir! Apakah bumi Jakarta yang dimerdekakan dri penjajah kafir dengan tetesan darah para syuhada itu ridho menerima kepemimpinan orang kafir? Solusinya mudah saja. Gubernur Jakarta mau belajar Islam dengan ikhlas dan membuka pintu hatinya menerima hidayah Allah, bersedia memeluk Islam. Ini bukan untuk kepentingan jabatan, tetapi lebih untuk keselamatan dia sendiri, di dunia dan akhirat. Menurut Islam, kasihan orang kafir, sudah bekerja keras, tetapi amalnya tidak bernilai di mata Allah, seperti fatamorgana. Kamu baca QS 24:39!”
“Wah, kalau Mbah ngomong seperti itu di media massa sekarang, Mbah akan dituduh picik, sektarian, tidak pluralis, tidak berwawasan kebangsaan, dan lain-lain. Pokoknya akan dicemooh habis-habisan, Mbah!” “Ya, Mbah ini orang kuno Le. Hanya bicara dari hati saja. Tidak mau munafik. Terserah orang mau ngomong apa. Tanggung jawab kita di akhirat kan masing-masing. Kita hanya wajib menyampaikan kebenaran. Itu sikap yang harusnya ditunjukkan para politisi Muslim, seperti kamu baca dalam pidato Pak Natsir itu! Kami dulu bangga sekali mempunyai pemimpin seperti Pak Natsir. Pemikirannya hebat,jujur, dan tegas. Bahkan, musuh-musuh ideologis Pak Natsir pun menghormatinya, karena integritas pribadinya yang sangat tinggi.”
“Jadi, Mbah, pilih Jokowi atau Prabowo?” “Kamu kan mahasiswa. Mbah tidak kuliah seperti kamu. Kamu bisa menyimpulkan sendiri apa yang Mbah sampaikan. Sekarang, coba kamu usahakan ketemu Jokowi dan Prabowo! Sampaikan pesan Mbah: “Kalau jadi Presiden, ingat tanggung jawab kepada Allah di akhirat. Jangan mikir dunia saja. Karena mengaku Muslim, maka ikhlaslah untuk menjadikan Nabi Muhammad saw sebagai teladan hidup dan kepemimpinan. Jangan membohongi umat Islam! Hanya dekat saat perlu dukungan mereka, tapi setelah itu mendukung sekulerisme, kemusyrikan dan kemaksiatan. Ingatkan mereka, agar mau belajar dari para pemimpin sebelumnya.Bagaimana nasib mereka yang berani menipu Allah dan Rasul-Nya serta umat Islam!”
“Tapi, Mbah… itu sangat susah Mbah. Bagaimana cara menyampaikannya?” “Berjuang itu memang tidak mudah, Le! Kalau mau yang mudah-mudah terus, ya jangan berjuang!” Kirno ingin terus bertanya, tetapi azan ashar terdengar mengalun. Mbah Muhsin pun mengajak cucunya ke surau sebelah rumah. Kirno menurut, diam. Tapi hatinya bergejolak; tertantang untuk menyampaikan pesan kakeknya itu ke semua capres RI 2014-2019.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar