Rabu, 30 April 2014

Nikmat Yang Tidak Terhitung ..

 Alkisah ..

Suatu ketika ada peristiwa kematian di kampungku.
Mbah Diman telah meninggal dunia.
Serangan jantung katanya,
tepat jam 12 malam ketika hujan lebat
dan kilat yang saling menyambar.
Mungkin sekali ia kaget,
dan terkejut setengah mati
ketika ada bunyi guntur menggelegar
teramat keras, tepat tengah malam.

Ya, guntur itupun tak hanya mematikan listrik
di kampung kami, tapi juga menyebabkan
serangan jantung akut bagi Mbah Diman.
Tepat ketika beberapa saat kemudian listrik menyala
seluruh isi rumah berteriak histeris.
Ya, Mbah Diman telah menghembuskan nafasnya
yang terakhir,

Entah napas yang ke berapa trilyun
dalam sejarah hidupnya yang panjang.
Sayang memang belum ditemukan alat penghitung nafas,
sehingga kita tidak tahu
sudah berapa juta kalikah kita bernapas.
Seandainya alat itu memang ada,
sungguh ia bisa menambah keimanan kita
pada yang Maha Memberi Nafas.
Mungkin kita akan selalu ingat
dan mawas diri, senantiasa bersyukur
bahwa kita masih diberi kesempatan bernafas
dengan hidung ciptaan Allah SWT,
jantung ciptaan Allah SWT,
paru-paru ciptaan Allah SWT
dan udara yang juga pemberian Allah SWT.
Suatu hal esensial yang jarang sekali
kita pikirkan dan kita syukuri.

Untung Allah SWT tidak komersil.
Coba saja jika Allah SWT Maha Pelit.
Sungguh, sholat seumur hiduppun
tak akan mampu membayar biaya sewa jantung,
paru-paru, hidung dan udara yang kita hirup
tiap hembusan nafasnya.
Bahkan jelas ibadah kita takkan mampu
menukar biaya sewa segala fasilitas
yang telah diberikan Tuhan pada kita
sebagai modal hidup di dunia.

Lalu mengapakah kita tidak bersyukur,
wahai orang-orang yang berakal?
Lantas mengapakah kita tidak berbakti padanya,
dengan senantiasa menjadi hamba
yang baik di muka bumi?

Begitu sombongnyakah kita sehingga bersujud,
menyentuhkan kepala pada tanah-pun begitu enggan?

Untung saja Allah SWT bukan kapitalis
yang selalu menghitung biaya investasi
dengan kurs Rupiah atau Dollar.
Pun Allah SWT tidak sedang berjual beli surga
dengan pahala dan ibadah.
Adakah yang tahu berapakah harga tiket masuk surga?
Berapa pastinya jumlah akumulasi pahala
sebagai syarat standar masuk surga?
Sungguh besok di akhirat kelak,
seluruh ibadah dan amalan
yang telah kita lakukan ternyata
setelah ditimbang dalam “mizan”
tidak mampu untuk menukar sebiji bola matapun.
Lalu dengan apa kita akan menebus semua nikmat
dan karunia Allah SWT? Tidak perlu repot-repot,
sesungguhnya Allah SWT hanya meminta kita
untuk bertanggungjawab sebagai makhluk yang berakal.

Sebagai makhluk dengan penciptaan yang sempurna.
Allah SWT hanya meminta kita untuk bertanggungjawab
dengan “amanat” yang dititipkan pada kita.
Bumi dengan segala isinya,
tubuh kita dengan segala amal perbuatannya.
Keluarga kita, anak-anak kita, orang tua kita,
istri/suami kita, harta kita, kekuasaan kita,
pengetahuan kita. Saudara kita
yang sedang kesusahan,
tetangga kita yang selalu kelaparan,
anak yatim yang terlantar.

seringkali kita sok sibuk
dan sok tidak mau tahu dengan Allah SWT,
seolah-olah Allah SWT tidak mempunyai kontribusi
sedikitpun dalam hidup kita.

Jujur saja, berapa banyak dari kita
yang ketika bangun tidur
lantas mengucap syukur “Alhamdulillah,
kita masih hidup!”.

Berapa banyak dari kita
yang menyadari bahwa sesungguhnya
kita tidak berkuasa atas diri kita,
bahwa ketika kita bernafas,
ketika jantung kita berdetak,
ketika nadi kita berdenyut,
“saklar”nya bukan ada pada kita.

Kita tidak bisa bercanda dengan Allah SWT
untuk misalnya, berheti sejenak bernafas,
mem”pause” jantung yang sedang berdetak,
atau meng”cancel” nadi yang sedang berdenyut.
Atau meng”undo” rambut yang tumbuh,
dan darah yang sedang mengalir.
Sungguh jika Allah SWT berkehendak
maka “matilah” kita semua dengan sangat mudahnya.

Tapi berapa banyak dari kita yang ingat mati?
Bahkan seringkali kita bercanda
dengan kematian seolah-olah kita tidak takut mati?
Bahkan ketika Mbah Jambrong mati-pun,
orang tidak ingat kalau dirinya juga akan mengalami mati.
Orang lupa bahwa “kematian”
bisa datang kapan saja.
Bahwa Izrail bukanlah penagih hutang
yang dengan mudah kita “semayani”.

Allah SWT tidak bisa dibodohi
dengan kata-kata penghibur
“Maaf Tuhan, saya sedang sibuk.
Sholatnya nanti saja ya?”
Tuhan juga tidak lengah
ketika kita menomor 27kan Allah SWT
saat berjalan-jalan di Mall,
melihat panggung hiburan,
konser dangdut massal,
hura-hura tahun baru
atau bahkan ketika kita sedang Televisi.

Berapa banyak dari kita yang mengucap
“bismillah” ketika menyalakan televisi?
Betapa seolah-olah Tuhan
hanya sekedar wajib diingat
sebagai basa-basi ketika kita sholat.

Wallahu A'lam Bishawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

The World Its Mine