Perilaku agresif biasa ditemui pada anak-anak usia dibawah lima tahun ( balita ). Namun jika perilaku tersebut masih bertahan sampai ia bersekolah TK atau SD, bisa jadi ada yang salah dengan pola asuhnya.
Pada umumnya pembawaan bayi adalah tenang, tetapi pada satu masa di awal usia balita, anak bisa punya kebiasaan suka memukul. Sifat agresif itu mencapai puncaknya saat balita berusia 2.5 tahun, kemudian mereda. Balita berusia 4 tahun lebih bisa dikendalikan dibanding balita usia 2 tahun, dan anak berusia 6 tahun berperilaku lebih baik dibanding rata-rata anak usia 4 tahun.
Namun pada kenyataannya ada anak-anak yang berperilaku sulit diatur. Ada sebagian anak yang tetap berperilaku agresif sampai ia berusia 6 tahun. "Anak yang masih bersikap agresif di usia TK atau kelas I Sekolah Dasar berpotensi besar membawa sikap itu sampai besar,"
Padahal, literatur menyatakan anak yang agresif, seperti suka memukul atau melempar benda saat tantrum, cenderung bermasalah di sekolah, beresiko tinggi depresi, bahkan suka melakukan kekerasan pada pasangannya kelak.
Dalam penelitian diketahui bayi usia 3 bulan pun sudah bisa meniru. Jika sejak bayi si ibu bersikap kurang sabar atau suka mengomel, besar kemungkinan bayinya akan tumbuh menjadi anak berperilaku buruk.
Sikap agresif anak juga bisa timbul dari pengaruh sekelilingnya, seperti tayangan televisi atau video games. Namun pola asuh bukan faktor tunggal dalam pembentukan perilaku anak karena ada juga pengaruh faktor genetik.
Walau begitu, orangtua sebaiknya memberi contoh perilaku yang baik pada anaknya. Mulailah sedini mungkin menjadi orangtua yang sensitif dan merespon kebutuhan sosial dan emosional anak.
Bagaimana dengan anak yang suka mengamuk di tempat umum?
Anak yang mengamuk di tempat publik mungkin akan membuat orang tua sangat malu. Bagaimana mengatasinya?
Sebagian orangtua juga sering tidak tahu harus berbuat apa sehingga memilih untuk "bernegosiasi" dengan anak, yang penting dia tidak lagi menjerit dan berguling-guling di lantai. Namun, sebenarnya ada yang perlu diketahui seputar perilaku tantrum ( mengamuk ) yang dilakukan anak.
Menurut Dr Brenna E Lorenz, peneliti dari University of Guam, kita perlu memahami mengapa anak mengalami tantrum. Ia mengamuk karena dorongan amarah dari dalam dirinya. Sementara, kemarahan ini berakar dari rasa takut. Misalnya, "Kalau saya tidak mendapat mainan ini sekarang, sampai kapan pun saya tidak akan dibelikan orangtua saya." Rasa takut ini kemudian digantikan oleh rasa sedih karena merasa dia tidak mendapat hal yang ia inginkan. Itu sebabnya, ia menunjukkan perilaku yang tidak menyenangkan.
Sebagai orangtua, hal terbaik yang perlu dilakukan pada situasi seperti ini bukanlah menyerah pada keinginan anak dan memenuhinya. Meskipun hal ini adalah solusi paling mudah, terutama apabila kita sudah lelah atau masih harus mengurus anak lainnya. Sekali kita menyerah, anak akan kembali melakukan hal yang sama karena ia tahu dengan cara itu ia bisa mendapatkan keinginannya. Untuk itu, orang tua perlu lebih banyak berbicara dengan anak agar ia terbiasa untuk mengemukakan emosinya dengan cara yang lebih positif.
1. Tetaplah tenang dan berpikir jernih. Berfokuslah pada penyebab dia mengamuk dan abaikan perilaku buruknya, hingga akhirnya ia menyadari bahwa cara "berkomunikasi" seperti itu tidak membuahkan hasil.
2. Hindari menghukum anak. Berteriak atau bahkan memukul anak hanya akan membuat tantrumnya menjadi lebih parah. Dalam jangka panjang, perilaku ini akan ia pertahankan.
3. Jangan memberi apa yang ia inginkan. Menyerah pada keinginannya hanya akan membuatnya melegalkan aksi tantrum untuk mendapatkan yang ia inginkan.
4. Jaga agar anak tetap berada dalam keadaan aman meski sedang mengamuk.
5. Apabila memungkinkan, tempatkan dia di tempat yang khususagar tidak mengganggu atau melukai orang lain ataupun dirinya sendiri.
6. Jangan biarkan reaksi negatif dari orang sekitar memengaruhibagaimana kita menangani tantrum anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar