P E R S I B
*** LOGO PERSIB BANDUNG *** |
Jung maju Maung Bandung...
Prak tandang muga sing meunang...
Ulah ringrang tong hariwang...
Kade poho cantik sportif di lapangan.
Vocal : Kang Ibing ( Alm )
PERSIB yang merupakan singkatan dari Persatuan Sepakbola Indonesia Bandung adalah salah satu tim sepak bola Indonesia yang berasal dari Jawa Barat, khususnya wilayah Bandung. Catatan prestasi tim ini relatif stabil di papan atas sepak bola Indonesia, sejak era Perserikatan sampai ke Liga Indonesia masa kini. Julukan PERSIB yang sangat populer adalah " Maung Bandung " pernah juga populer dengan julukan " Pangeran Biru " Suporter fanatik Tim PERSIB diantaranya : Viking's, The Boombers, dan Ultras. Legenda PERSIB diantaranya : Robby Darwis, Adjat Sudradjat, Djajang Nurdjaman, Yusuf Bachtiar, Kekey Zakaria, Sutiono Lamso, Adeng Hudaya dll. Stadion utama PERSIB setelah Stadion Siliwangi adalah : Stadion Gelora Bandung Lautan Api ( Gede Bage ) Kapasitas : 38.000 Penonton.
SEJARAH & PRESTASI
Sebelum bernama PERSIB BANDUNG, di Kota Bandung berdiri Bandoeng Inlandsche Voetbal Bond (BIVB) pada sekitar tahun 1923. BIVB ini merupakan salah satu organisasi perjuangan kaum nasionalis pada masa itu. Tercatat sebagai Ketua Umum BIVB adalah Mr. Syamsudin yang kemudian diteruskan oleh putra pejuang wanita Dewi Sartika, yakni R. Atot.
Atot pulalah
yang tercatat sebagai Komisaris Daerah Jawa Barat yang pertama. BIVB
memanfaatkan lapangan Tegallega di depan tribun pacuan kuda. Tim BIVB
ini beberapa kali mengadakan pertandingan di luar kota seperti
Yogyakarta dan Jatinegara, Jakarta.
Pada tanggal 19 April 1930, BIVB ( PERSIB )
bersama dengan VIJ ( PERSIJA )Jakarta, SIVB (PERSEBAYA), MIVB (PPSM
Magelang), MVB (PSM Madiun), VVB (Persis Solo), dan PSM (PSIM
Yogyakarta) turut membidani kelahiran PSSI ( Persatuan Sepakraga Seluruh Indonesia )
dalam pertemuan yang diadakan di Societeit Hadiprojo Mataram (
Yogyakarta ). BIVB dalam pertemuan tersebut diwakili oleh Mr. Syamsuddin
sang Ketua Umum. Setahun kemudian kompetisi tahunan antar
kota/perserikatan diselenggarakan.
BIVB kemudian
menghilang dan muncul dua perkumpulan lain yang juga diwarnai
nasionalisme Indonesia yakni Persatuan Sepak bola Indonesia Bandung
(PSIB) dan National Voetball Bond (NVB). Pada tanggal 14 Maret 1933, kedua perkumpulan itu sepakat melakukan fusi dan lahirlah PERSIB sebagai perkumpulan sepakbola yang kemudian memilih Anwar St. Pamoentjak
sebagai Ketua Umum. Klub-klub yang bergabung ke dalam Persib adalah
SIAP, Soenda, Singgalang, Diana, Matahari, OVU, RAN, HBOM, JOP, MALTA,
dan Merapi.
Sekalipun PERSIB baru didirikan, namun PERSIB sudah bisa langsung unjuk gigi di kancah sepak bola nasional. PERSIB
berhasil masuk final kompetisi perserikatan pada tahun 1933 yang
diselenggarakan di Surabaya, meski di final kalah dari VIJ Jakarta.
PERSIB
kembali masuk final kompetisi perserikatan pada tahun 1934, namun
lagi-lagi kalah dari VIJ Jakarta di pertandingan final, padahal saat itu
pertandingan dilaksanakan di Bandung.
Dua tahun kemudian (1936), Bandung lagi-lagi ditunjuk sebagai tuan rumah penyelengaraan Kompetisi Perserikatan. PERSIB kembali masuk final namun keberuntungan belum berpihak ketika Persis Solo mengandaskan impian PERSIB untuk meraih gelar juara. Persis Solo sendiri saat itu tercatat sebagai tim elite persepakbolaan Nasional.
Di masa-masa awal pembentukan ini, Sekretariat PERSIB masih sering berpindah-pindah. Tercatat di tahun 1937, PERSIB berkantor di Gang Parendeng no. 67 (kami tidak tahu di jalan apakah lokasi ini sekarang).
JUARA TAHUN 1937 :
PERSIB berhasil menjadi Juara yang perdana pada kompetisi Tahun 1937 setelah di final membalas kekalahan tahun sebelumnya atas Persis Solo dengan skor 2-1. Yang istimewa dari pertandingan ini, pertandingan final justru digelar di kandang Persis yang saat itu merajai persepakbolaan Nasional. Pertandingan yang digelar di Stadion Sriwedari Solo, PERSIB bermain apik dan membungkam ribuan pendukung tuan rumah. Bintang PERSIB yang bermain di kompetisi 1937 antara lain : Enang Doerasid, Jasin, Djadja, Midvoor Dia, Hasan Arifin, Ibrahim Iskandar, Saban, Adang, Kucid, Sugondo, Edang. Berkat gelar juara yang diraihnya itu, seluruh pemain PERSIB masing-masing mendapatkan uang saku sebesar F 2,50 (seringgit, dua rupiah, lima puluh sen).
Prestasi buruk terjadi di tahun 1939, saat kompetisi diadakan di kota Yogyakarta. Dari tiga peserta (Persis Solo dan PSIM Yogyakarta), saat itu PERSIB menjadi juru kunci.
Di Bandung pada masa itu juga sudah berdiri perkumpulan sepak bola yang dimotori oleh orang-orang Belanda yakni Voetbal Bond Bandung & Omstreken (VBBO). Perkumpulan ini kerap memandang rendah PERSIB. Seolah-olah PERSIB merupakan perkumpulan "kelas dua". VBBO sering mengejek PERSIB. Maklumlah pertandingan-pertandingan yang dilangsungkan oleh PERSIB ketika itu sering dilakukan di pinggiran Bandung, seperti Tegal Lega dan Ciroyom. Masyarakat pun ketika itu lebih suka menyaksikan pertandingan yang digelar VBBO. Lokasi pertandingan memang di dalam Kota Bandung dan tentu dianggap lebih bergengsi, yaitu dua lapangan di pusat kota, UNI dan SIDOLIG.
Dua tahun kemudian (1936), Bandung lagi-lagi ditunjuk sebagai tuan rumah penyelengaraan Kompetisi Perserikatan. PERSIB kembali masuk final namun keberuntungan belum berpihak ketika Persis Solo mengandaskan impian PERSIB untuk meraih gelar juara. Persis Solo sendiri saat itu tercatat sebagai tim elite persepakbolaan Nasional.
Di masa-masa awal pembentukan ini, Sekretariat PERSIB masih sering berpindah-pindah. Tercatat di tahun 1937, PERSIB berkantor di Gang Parendeng no. 67 (kami tidak tahu di jalan apakah lokasi ini sekarang).
JUARA TAHUN 1937 :
PERTANDINGAN PERSIB TAHUN 1930-AN |
PERSIB MAIN DI ALUN-ALUN BANDUNG |
PERSIB berhasil menjadi Juara yang perdana pada kompetisi Tahun 1937 setelah di final membalas kekalahan tahun sebelumnya atas Persis Solo dengan skor 2-1. Yang istimewa dari pertandingan ini, pertandingan final justru digelar di kandang Persis yang saat itu merajai persepakbolaan Nasional. Pertandingan yang digelar di Stadion Sriwedari Solo, PERSIB bermain apik dan membungkam ribuan pendukung tuan rumah. Bintang PERSIB yang bermain di kompetisi 1937 antara lain : Enang Doerasid, Jasin, Djadja, Midvoor Dia, Hasan Arifin, Ibrahim Iskandar, Saban, Adang, Kucid, Sugondo, Edang. Berkat gelar juara yang diraihnya itu, seluruh pemain PERSIB masing-masing mendapatkan uang saku sebesar F 2,50 (seringgit, dua rupiah, lima puluh sen).
Prestasi buruk terjadi di tahun 1939, saat kompetisi diadakan di kota Yogyakarta. Dari tiga peserta (Persis Solo dan PSIM Yogyakarta), saat itu PERSIB menjadi juru kunci.
Di Bandung pada masa itu juga sudah berdiri perkumpulan sepak bola yang dimotori oleh orang-orang Belanda yakni Voetbal Bond Bandung & Omstreken (VBBO). Perkumpulan ini kerap memandang rendah PERSIB. Seolah-olah PERSIB merupakan perkumpulan "kelas dua". VBBO sering mengejek PERSIB. Maklumlah pertandingan-pertandingan yang dilangsungkan oleh PERSIB ketika itu sering dilakukan di pinggiran Bandung, seperti Tegal Lega dan Ciroyom. Masyarakat pun ketika itu lebih suka menyaksikan pertandingan yang digelar VBBO. Lokasi pertandingan memang di dalam Kota Bandung dan tentu dianggap lebih bergengsi, yaitu dua lapangan di pusat kota, UNI dan SIDOLIG.
Akhirnya PERSIB memenangkan
"perang dingin" dan menjadi perkumpulan sepak bola satu-satunya bagi
masyarakat Bandung dan sekitarnya. Klub-klub yang tadinya bernaung di
bawah VBBO seperti UNI dan SIDOLIG pun bergabung dengan Persib. Bahkan
VBBO (sempat berganti menjadi PSBS sebagai suatu strategi) kemudian
menyerahkan pula lapangan yang biasa mereka pergunakan untuk bertanding
yakni Lapangan UNI ( Skrg Jl. Karapitan ), Lapangan SIDOLIG (kini Jl.
Ahmad Yani ), dan Lapangan SPARTA (kini Stadion Siliwangi). Situasi ini
tentu saja mengukuhkan eksistensi PERSIB di kota kembang Bandung.
Setelah terakhir juara pada tahun 1937, prestasi PERSIB di tingkat nasional terus menurun. Di tahun 1941 saat kompetisi diadakan di kota sendiri, PERSIB lagi-lagi harus puas berada di posisi jurukunci di bawah Persis Solo dan Persebaya Surabaya.
Tahun 1942, Jepang masuk ke Indonesia. Kegiatan persepakbolaan yang dinaungi organisasi lama dihentikan dan organisasinya dibredel. Hal ini tak hanya terjadi di Bandung saja, melainkan juga terjadi di seluruh tanah air termasuk PSSI. Dengan sendirinya PERSIB mengalami masa Vakum, apalagi pemerintah kolonial Jepang pun mendirikan perkumpulan baru yang menaungi kegiatan olah raga ketika itu, yakni "Rengo Tai Iku Tai".
Tapi sebagai organisasi yang bernafaskan perjuangan, PERSIB tidak takluk begitu saja pada keinginan Jepang. Memang nama PERSIB secara resmi diganti dengan nama yang berbahasa Jepang tadi, tapi semangat juang, tujuan dan misi PERSIB sebagai sarana perjuangan tidak berubah sedikitpun. Kegiatan sepakbola di kota Bandung pun masih hidup, meski dengan campur tangan Jepang, PERSIB dibawah kepemimpinan Anwar ST Pamoentjak masih bisa menggelar kompetisi intern. Di tahun 1942, PERSIB mulai mengadakan pendaftaran ulang bagi klub-klub anggotanya untuk rencana menggelar kompetisi intern di bulan Januari tahun 1943. Tiap-tiap pemain yang didaftarkan oleh setiap klub masing-masing diwajibkan membayar f 0.10 setiap bulannya . Sekretariat PERSIB saat itu berada di Jalan Kebonsirih No. 1, dengan nomor Telepon 1986.
Dengan adanya pendaftaran ulang klub anggota, maka klub yang tidak menjadi anggota PERSIB, tidak diperkenankan memakai lapangan Tegal Lega, Kebon Kelapa, Mosvia, dan sebuah lapangan di belakang gedung Mijnbouw. Berkat peraturan baru itu, akhirnya banyak klub yang mendaftar menjadi anggota PERSIB, tercatat sekitar 30 klub (sejauh penelusuran kami dari artikel Koran Tjahaya) ikut bergabung dan masing-masing klub tersebut terdaftar dalam 3 tingkatan kelas/divisi.
Januari 1943, kompetisi intern di lingkungan PERSIB pun dimulai, untuk pertandingan kelas I (mungkin setara Divisi Utama) bertempat di lapangan Tegal Lega, setiap hari Sabtu dan Minggu yang menurut koran Tjahaya berlangsung jam 6 sore, jadi kami dapat menyimpulkan bahwa lapangan Tegal Lega saat itu sudah memiliki fasilitas lampu. Karena pertandingan itu tidak dipungut bayaran, maka masyarakat Bandung menyambutnya dengan antusias untuk menonton "hiburan rakyat" tersebut. Sementara untuk pertandingan kelas "bawahan" (mungkin setara divisi I atau II) digelar diluar hari Sabtu dan Minggu.
Sementara untuk kesebelasan yang berada di pinggiran kota / Priangan Timur seperti Rikuyu Sokyoku Garut (Risorga), Tjikara, Sekolah Pertukangan dan lainnya, digunakan lapangan Nagrog-Cimurah atau lapangan HBOM.
Bagaimana dengan kesebelasan PERSIB sendiri ? saat pendudukan Jepang, kesebelasan PERSIB pun masih bermain, tetapi lebih banyak beruji coba dengan anggota klub sendiri. Koran Pembangoenan mewartakan bahwa pada tahun 1943, PERSIB pernah bertanding melawan kesebelasan MOLTO (anggota PERSIB) di lapangan Azuma (dimanakah ini?). Pertandingan itu dimenangkan oleh PERSIB dengan skor 2-1. Nama-nama pemain PERSIB yang disebut dalam koran tersebut adalah Amir, Kirno dan Pakih.
Setelah Indonesia merdeka, PSSI tidak otomatis langsung berkiprah kembali. Belanda pada masa itu berusaha mengisi kekosongan dengan mendirikan NIVU. Untunglah prakarsa PERSIB menghidupkan kembali PSSI bersama Perserikatan-perserikatan lainnya seperti PSIS, PSIM, Persebaya dan Persija, sehingga PSSI tetap menjadi Induk Organisasi Sepakbola Nasional bahkan sampai hari ini.
Di masa Revolusi Fisik setelah Indonesia Merdeka, PERSIB kembali menunjukan eksistensinya. Yang unik, karena situasi pada saat itu memaksa PERSIB untuk tidak hanya eksis dikota Bandung saja, maka PERSIB pun tersebar ke berbagai kota, sehingga saat itu terdapat sebutan PERSIB Tasikmalaya, PERSIB Sumedang, bahkan PERSIB Yogyakarta.
Di masa itu, Prajurit-prajurit Siliwangi hijrah ke Ibukota Perjuangan, Yogyakarta. Baru pada tahun 1948, PERSIB kembali berdiri di Bandung, kota kelahiran yang kemudian membesarkannya. Akhirnya sejak saat itu lapangan SIDOLIG benar-benar menjadi “kandang” bagi PERSIB. Nyaris semua kegiatan pertandingan dilakukan di sana. Mulai dari tempat berlatih klub-klub anggota PERSIB sampai kompetisi intern PERSIB.
Tahun 1942, Jepang masuk ke Indonesia. Kegiatan persepakbolaan yang dinaungi organisasi lama dihentikan dan organisasinya dibredel. Hal ini tak hanya terjadi di Bandung saja, melainkan juga terjadi di seluruh tanah air termasuk PSSI. Dengan sendirinya PERSIB mengalami masa Vakum, apalagi pemerintah kolonial Jepang pun mendirikan perkumpulan baru yang menaungi kegiatan olah raga ketika itu, yakni "Rengo Tai Iku Tai".
Tapi sebagai organisasi yang bernafaskan perjuangan, PERSIB tidak takluk begitu saja pada keinginan Jepang. Memang nama PERSIB secara resmi diganti dengan nama yang berbahasa Jepang tadi, tapi semangat juang, tujuan dan misi PERSIB sebagai sarana perjuangan tidak berubah sedikitpun. Kegiatan sepakbola di kota Bandung pun masih hidup, meski dengan campur tangan Jepang, PERSIB dibawah kepemimpinan Anwar ST Pamoentjak masih bisa menggelar kompetisi intern. Di tahun 1942, PERSIB mulai mengadakan pendaftaran ulang bagi klub-klub anggotanya untuk rencana menggelar kompetisi intern di bulan Januari tahun 1943. Tiap-tiap pemain yang didaftarkan oleh setiap klub masing-masing diwajibkan membayar f 0.10 setiap bulannya . Sekretariat PERSIB saat itu berada di Jalan Kebonsirih No. 1, dengan nomor Telepon 1986.
Dengan adanya pendaftaran ulang klub anggota, maka klub yang tidak menjadi anggota PERSIB, tidak diperkenankan memakai lapangan Tegal Lega, Kebon Kelapa, Mosvia, dan sebuah lapangan di belakang gedung Mijnbouw. Berkat peraturan baru itu, akhirnya banyak klub yang mendaftar menjadi anggota PERSIB, tercatat sekitar 30 klub (sejauh penelusuran kami dari artikel Koran Tjahaya) ikut bergabung dan masing-masing klub tersebut terdaftar dalam 3 tingkatan kelas/divisi.
Januari 1943, kompetisi intern di lingkungan PERSIB pun dimulai, untuk pertandingan kelas I (mungkin setara Divisi Utama) bertempat di lapangan Tegal Lega, setiap hari Sabtu dan Minggu yang menurut koran Tjahaya berlangsung jam 6 sore, jadi kami dapat menyimpulkan bahwa lapangan Tegal Lega saat itu sudah memiliki fasilitas lampu. Karena pertandingan itu tidak dipungut bayaran, maka masyarakat Bandung menyambutnya dengan antusias untuk menonton "hiburan rakyat" tersebut. Sementara untuk pertandingan kelas "bawahan" (mungkin setara divisi I atau II) digelar diluar hari Sabtu dan Minggu.
Sementara untuk kesebelasan yang berada di pinggiran kota / Priangan Timur seperti Rikuyu Sokyoku Garut (Risorga), Tjikara, Sekolah Pertukangan dan lainnya, digunakan lapangan Nagrog-Cimurah atau lapangan HBOM.
Bagaimana dengan kesebelasan PERSIB sendiri ? saat pendudukan Jepang, kesebelasan PERSIB pun masih bermain, tetapi lebih banyak beruji coba dengan anggota klub sendiri. Koran Pembangoenan mewartakan bahwa pada tahun 1943, PERSIB pernah bertanding melawan kesebelasan MOLTO (anggota PERSIB) di lapangan Azuma (dimanakah ini?). Pertandingan itu dimenangkan oleh PERSIB dengan skor 2-1. Nama-nama pemain PERSIB yang disebut dalam koran tersebut adalah Amir, Kirno dan Pakih.
Setelah Indonesia merdeka, PSSI tidak otomatis langsung berkiprah kembali. Belanda pada masa itu berusaha mengisi kekosongan dengan mendirikan NIVU. Untunglah prakarsa PERSIB menghidupkan kembali PSSI bersama Perserikatan-perserikatan lainnya seperti PSIS, PSIM, Persebaya dan Persija, sehingga PSSI tetap menjadi Induk Organisasi Sepakbola Nasional bahkan sampai hari ini.
Di masa Revolusi Fisik setelah Indonesia Merdeka, PERSIB kembali menunjukan eksistensinya. Yang unik, karena situasi pada saat itu memaksa PERSIB untuk tidak hanya eksis dikota Bandung saja, maka PERSIB pun tersebar ke berbagai kota, sehingga saat itu terdapat sebutan PERSIB Tasikmalaya, PERSIB Sumedang, bahkan PERSIB Yogyakarta.
Di masa itu, Prajurit-prajurit Siliwangi hijrah ke Ibukota Perjuangan, Yogyakarta. Baru pada tahun 1948, PERSIB kembali berdiri di Bandung, kota kelahiran yang kemudian membesarkannya. Akhirnya sejak saat itu lapangan SIDOLIG benar-benar menjadi “kandang” bagi PERSIB. Nyaris semua kegiatan pertandingan dilakukan di sana. Mulai dari tempat berlatih klub-klub anggota PERSIB sampai kompetisi intern PERSIB.
Rongrongan Belanda kembali datang, VBBO diupayakan hidup lagi oleh Belanda (NICA) meski dengan nama yang berbahasa Indonesia. PERSIB
sebagai bagian dari kekuatan perjuangan nasional tentu saja dengan
sekuat tenaga berusaha menggagalkan upaya tersebut. Pada masa pendudukan
NICA tersebut PERSIB didirikan kembali atas usaha antara lain dokter Musa, H. Alexa, Rd. Sugeng dan Munadi (kemudian diangkat sebagai Ketua). Perjuangan PERSIB rupanya berhasil, sehingga di Bandung tetap hanya ada satu perkumpulan sepak bola yakni PERSIB yang dilandasi semangat nasionalisme.
Pada periode ini PERSIB diarsiteki oleh Tomasowa. Nama tersebut selama ini jarang terdengar dalam sejarah perjalanan PERSIB. Dari namanya kami menduga bahwa nama tersebut berasal dari Indonesia Timur (Ambon).
Pada Kejurnas PSSI tahun 1950, PERSIB berhasil menjadi juara setelah pada partai Final mengalahkan tuan rumah PSIS Semarang dengan skor tipis 2-1. Bintang PERSIB yang bermain di pertandingan tersebut antara lain : Aang Witarsa, Amung, Andaratna, Ganda, Freddy Timisela, Sundawa, Toha, Leepel, Smith, Jahja, dan Wagiman. Karena menunjukan permainan yang sangat baik selama musim kompetisi 1950, Aang Witarsa, Anas, dan Jahja terpilih untuk memperkuat PSSI di ajang Internasional, dan itu merupakan angkatan pertama PSSI dalam membentuk tim nasional.
Pada Kejurnas PSSI tahun 1951, PERSIB mengalami penurunan prestasi yang cukup drastis dibandingkan tahun lalu. Di musim ini PERSIB tidak lolos babak penyisihan di tingkat Jawa Barat. Yang lolos dari grup Jawa Barat adalah Persija Jakarta (saat itu masih tergabung ke dalam grup Jawa Barat).
Sebagai persiapan menghadapi kompetisi 1952, di bulan Mei PERSIB mendapat kunjungan dari sebuah tim dari wilayah India Selatan, yaitu Aryan Gymkhana. Tim ini merupakan tim gabungan angkatan perang/kepolisian India. Pertandingan itu disebut-sebut sebagai pertandingan internasional pertama untuk PERSIB. Aryan Gymkhana ditantang PERSIB di Stadion SIDOLIG (Bandung). Diberitakan bahwa PERSIB mampu mengimbangi Aryan Gymkhana meskipun skor pertandingannya sendiri tidak diketahui.
Di Kejurnas tahun 1952, PERSIB harus puas menempati peringkat 4 dari 7 peserta. Menang dari Persipro, Persema, dan PSMS lalu ditahan imbang oleh Persija, tetapi harus tunduk oleh Persis Solo dengan skor tipis dan kalah telah 6-2 oleh Persebaya Surabaya. Persebaya sendiri akhirnya di tahun itu menjadi juara.
Hasil yang kurang baik itu akhirnya terbalas satu tahun kemudian, di tahun 1953 PERSIB kembali menjadi Juara I Kejuaraan Nasional yang saat itu menggunakan Sistem Kompetisi Penuh dan diselenggarakan di Kota Semarang. Peserta yang mengikuti kejuaraan tersebut adalah PERSIB, PSIS Semarang, Persebaya Surabaya, dan Persija Jakarta. Pemain PERSIB yang berlaga di kompetisi tersebut antara lain M. Ilyas (Kiper), Aang Witarsa, Anas, Jahja, Andaratna, Tanu, Freddy Timisela, Amung, Smith, Toha, Nandang.
Untuk kepentingan pengelolaan Organisasi, pada periode 1953 – 1957 PERSIB mengakhiri masa berpindah-pindah Sekretariat. Walikota Bandung saat itu Bapak R. Enoch membangun Sekretariat tetap PERSIB di jalan Cilentah, Bandung.
Awal PERSIB memiliki gedung yang kini berada di jalan Gurame adalah upaya dari R. Soendoro, seorang Overstate Republiken yang baru keluar dari LP. Kebonwaru pada tahun 1949. Pada saat itu, karena kondisi keuangan yang memprihatinkan, PERSIB tidak memiliki dana untuk membangun gedung, Soendoro menemui Walikota dan menyatakan, “Taneuh puguh deui, tapi rapat ditiungan ku langit biru”, kata Soendoro.
Hasilnya Bapak R.Enoch selaku Walikota Bandung saat itu memberikan sebidang tanah di jalan Gurame sekarang ini dan membantu pelaksanaan Pembangunan Sekretariat PERSIB.
Kembali pada kompetisi yang diikuti PERSIB, di tahun 1954 PERSIB harus gagal ketika masih berjuang di tingkat distrik, sehingga gagal melaju ke tingkat nasional.
Pada Tahun 1955, PERSIB menempati posisi runner up pada Kejuaraan Golongan Besar PSSI yang diselenggarakan di Kota Padang. Pemain PERSIB yang bermain di kejuaraan tersebut antara lain Djudju Sukandar, M. Ilyas (Kiper), Aang Witarsa, Omo, Parhim, Adang, Atik, Bakarbessy, Rukma Sudjana, Lateko, Hafid, Ade Dana. Di tahun ini, skuad PERSIB yang memperkuat tim nasional adalah Aang Witarsa dan Ade Dana. Mereka dipersiapkan untuk menghadapi ajang Olimpiade Melbourne 1956, yang disebut-sebut oleh publik sepakbola tanah air merupakan tim nasional terbaik yang pernah dimiliki oleh Indonesia, ketika mereka berhasil menahan imbang tim kuat Uni Soviet 0-0.
Pada tahun 1957, PERSIB harus puas menduduki peringkat ketiga pada Kompetisi Perserikatan di bawah PSM (juara) dan PSMS.
Pada Kejurnas PSSI tahun 1950, PERSIB berhasil menjadi juara setelah pada partai Final mengalahkan tuan rumah PSIS Semarang dengan skor tipis 2-1. Bintang PERSIB yang bermain di pertandingan tersebut antara lain : Aang Witarsa, Amung, Andaratna, Ganda, Freddy Timisela, Sundawa, Toha, Leepel, Smith, Jahja, dan Wagiman. Karena menunjukan permainan yang sangat baik selama musim kompetisi 1950, Aang Witarsa, Anas, dan Jahja terpilih untuk memperkuat PSSI di ajang Internasional, dan itu merupakan angkatan pertama PSSI dalam membentuk tim nasional.
Pada Kejurnas PSSI tahun 1951, PERSIB mengalami penurunan prestasi yang cukup drastis dibandingkan tahun lalu. Di musim ini PERSIB tidak lolos babak penyisihan di tingkat Jawa Barat. Yang lolos dari grup Jawa Barat adalah Persija Jakarta (saat itu masih tergabung ke dalam grup Jawa Barat).
Sebagai persiapan menghadapi kompetisi 1952, di bulan Mei PERSIB mendapat kunjungan dari sebuah tim dari wilayah India Selatan, yaitu Aryan Gymkhana. Tim ini merupakan tim gabungan angkatan perang/kepolisian India. Pertandingan itu disebut-sebut sebagai pertandingan internasional pertama untuk PERSIB. Aryan Gymkhana ditantang PERSIB di Stadion SIDOLIG (Bandung). Diberitakan bahwa PERSIB mampu mengimbangi Aryan Gymkhana meskipun skor pertandingannya sendiri tidak diketahui.
Di Kejurnas tahun 1952, PERSIB harus puas menempati peringkat 4 dari 7 peserta. Menang dari Persipro, Persema, dan PSMS lalu ditahan imbang oleh Persija, tetapi harus tunduk oleh Persis Solo dengan skor tipis dan kalah telah 6-2 oleh Persebaya Surabaya. Persebaya sendiri akhirnya di tahun itu menjadi juara.
Hasil yang kurang baik itu akhirnya terbalas satu tahun kemudian, di tahun 1953 PERSIB kembali menjadi Juara I Kejuaraan Nasional yang saat itu menggunakan Sistem Kompetisi Penuh dan diselenggarakan di Kota Semarang. Peserta yang mengikuti kejuaraan tersebut adalah PERSIB, PSIS Semarang, Persebaya Surabaya, dan Persija Jakarta. Pemain PERSIB yang berlaga di kompetisi tersebut antara lain M. Ilyas (Kiper), Aang Witarsa, Anas, Jahja, Andaratna, Tanu, Freddy Timisela, Amung, Smith, Toha, Nandang.
Untuk kepentingan pengelolaan Organisasi, pada periode 1953 – 1957 PERSIB mengakhiri masa berpindah-pindah Sekretariat. Walikota Bandung saat itu Bapak R. Enoch membangun Sekretariat tetap PERSIB di jalan Cilentah, Bandung.
Awal PERSIB memiliki gedung yang kini berada di jalan Gurame adalah upaya dari R. Soendoro, seorang Overstate Republiken yang baru keluar dari LP. Kebonwaru pada tahun 1949. Pada saat itu, karena kondisi keuangan yang memprihatinkan, PERSIB tidak memiliki dana untuk membangun gedung, Soendoro menemui Walikota dan menyatakan, “Taneuh puguh deui, tapi rapat ditiungan ku langit biru”, kata Soendoro.
Hasilnya Bapak R.Enoch selaku Walikota Bandung saat itu memberikan sebidang tanah di jalan Gurame sekarang ini dan membantu pelaksanaan Pembangunan Sekretariat PERSIB.
Kembali pada kompetisi yang diikuti PERSIB, di tahun 1954 PERSIB harus gagal ketika masih berjuang di tingkat distrik, sehingga gagal melaju ke tingkat nasional.
Pada Tahun 1955, PERSIB menempati posisi runner up pada Kejuaraan Golongan Besar PSSI yang diselenggarakan di Kota Padang. Pemain PERSIB yang bermain di kejuaraan tersebut antara lain Djudju Sukandar, M. Ilyas (Kiper), Aang Witarsa, Omo, Parhim, Adang, Atik, Bakarbessy, Rukma Sudjana, Lateko, Hafid, Ade Dana. Di tahun ini, skuad PERSIB yang memperkuat tim nasional adalah Aang Witarsa dan Ade Dana. Mereka dipersiapkan untuk menghadapi ajang Olimpiade Melbourne 1956, yang disebut-sebut oleh publik sepakbola tanah air merupakan tim nasional terbaik yang pernah dimiliki oleh Indonesia, ketika mereka berhasil menahan imbang tim kuat Uni Soviet 0-0.
Pada tahun 1957, PERSIB harus puas menduduki peringkat ketiga pada Kompetisi Perserikatan di bawah PSM (juara) dan PSMS.
Tim Pon Jabar 1957 (jongkok) yang diperkuat pemain muda PERSIB, antara lain M. Ilyas, Aang Witarsa, Parhim, Omo, Wowo, Kaelani, Rukman, dan Hafid |
Penyerang PERSIB Rukman (kiri) siap menerjang bola saat berhadapan dengan Persija di salah satu pertandingan era 50'an |
***SKUAD PERSIB JAMAN DULU ( JADUL )*** |
Pada tahun 1958, terjadi pertandingan persahabatan Internasional yang dilangsungkan di Stadion Siliwangi, dimana kali ini PERSIB mendapat kesempatan untuk menjajal Tim Nasional Yugoslavia. Penonton yang menyaksikan pertandingan tersebut membludak hingga pinggir lapangan. Pemain PERSIB yang bermain pada pertandingan itu diantaranya Djudju Sukandar, M. Ilyas (Kiper), “Si Kuda Terbang” Aang Witarsa, dan Soenarto Soendoro.
PERSIB kembali berhasil menjadi peringkat kedua pada Kompetisi Perserikatan pada tahun 1958/1959. Juara kompetsisi tahun itu adalah PSM Ujung Pandang ( Makasar ) yang saat itu diperkuat oleh sang legenda, Ramang. Bintang-bintang Indonesia banyak bermunculan pada kompetisi musim ini, antara lain Jus Etek (PSP, kelak bergabung dengan PERSIB), Simon (PSMS), Bob Hippy, Fattah Hidayat (Persija, kelak bergabung dengan PERSIB). Sementara pemain PERSIB yang diturunkan di kompetisi ini antara lain: Simon Hehanusa, Iwan Syarif, M. Ilyas (Kiper) Sulaeman, Hafid, Akbar, Rukma, Nandang, Atik Svatari, Kiat Shek, Parhim, Omo, Sukarna, Aang Witarsa, Ade Dana, Unang, Pietje Timisela.
PERSIB kembali jadi Runner Up pada Tahun 1960, setelah di Final kalah dari Ramang dkk dari PSM Makasar.
JUARA TAHUN 1961 :
Generasi Emas PERSIB Tahun 1961 |
Generasi Emas PERSIB Tahun 1961 |
PERSIB kemudian kembali tampil sebagai Juara Kompetisi Perserikatan pada Tahun 1961 yang putaran finalnya menggunakan sistem setengah kompetisi. PERSIB berhasil menyingkirkan enam rivalnya yaitu PSM Makassar, Persija Jakarta, Persebaya Surabaya, PSMS Medan, PSIS Semarang, dan Persema Malang. Partai final diselenggarakan di Kota Semarang tanggal 31 Juni 1961. Gelar juara PERSIB ditentukan pada partai terakhir ketika mengalahkan Persija 3-1. Tiga gol penentu kemenangan PERSIB dicetak Wowo Sunaryo pada menit 12 dan 20, serta Hengky Timisela pada menit 23. Yang menarik di pertandingan ini adalah Kiat Shek mantan pemain PERSIB sudah berkostum merah (saat itu seragam kebesaran Persija berwarna merah), dia menghadapi kenyataan pahit bahwa mantan timnya dan mantan rekan-rekannya menjadi juara.
Skuad PERSIB pada kompetisi tersebut antara lain : Simon Hehanusa, Hermanus, Djudju Sukandar (penjaga gawang), Aang Witarsa, Atik Svatari, Parhim, Ishak Udin, Iljas Hadade, Rukma Sudjana, Fatah Hidayat, Sunarto Soendoro, Thio Him Tjhiang, Ade Dana, Wowo Sunaryo, Nazar, Omo Suratmo, Suhendar, Pietje Timisela, Hengky Timisela dan beberapa pemain lainnya seperti M. Ilyas, Emen Suwarman yang pada kompetisi ini memperkuat skuad PERSIB yang lain. Kenapa bisa demikian? karena pada kompetisi ini, PERSIB menurunkan 3 tim sekaligus yaitu PERSIB Garuda, PERSIB Harimau, dan PERSIB Banteng. Hal ini sebagai pembuktian bahwa PERSIB memiliki banyak stok pemain dan tidak pernah kehabisan talenta-talenta yang luar biasa dalam pentas sepakbola Indonesia. ( Mengagumkan gan.....! )
Pada tahun yang sama juga 1961, PSSI menggelar invitasi sepak bola di Senayan dengan tujuan untuk mencari pemain-pemain yang dipersiapkan untuk memperkuat PSSI ke ajang Asian Games dan beberapa turnamen internasional di tahun 1962. Invitasi tersebut diikuti lima klub, yakni PERSIB, PERSIJA, PERSEBAYA, PSMS, dan PSM. PERSIB tampil sebagai juara tanpa terkalahkan. PERSIB mengalahkan PERSIJA: 2-0, PERSEBAYA: 2-0, PSMS: 3-0, dan PSM: 1-0. Melihat penampilan para pemain PERSIB yang gemilang, membuat pelatih timnas saat itu Toni Pogacnic terkesan. Hasil dari invitasi tersebut dilakukanlah perekrutan sebanyak 18 pemain, dan yang berasal dari PERSIB sebanyak 13 pemain. Starting Eleven tim Nasional Indonesia pun seluruhnya merupakan pemain PERSIB. Kelak di ajang Asian Games tersebut, sejarah mencatat bahwa striker dari PERSIB yaitu Wowo Sunaryo menjadi orang Indonesia pertama yang menjadi top skor di ajang Asian Games, Suatu kebanggaan warga Jawa Barat.
Pada tahun 1966, PERSIB berhasil memperbaiki posisi dengan menjadi peringkat kedua pada Kompetisi Perserikatan setelah kalah oleh PSM Ujungpandang di partai final yang berlangsung di Jakarta.
Di tahun 1966 juga, PERSIB mendapat kesempatan kembali beruji coba melawan Tim Nasional Jerman Timur. Pada pertandingan tersebut, PERSIB menang 1-0 atas Jerman Timur, melalui gol yang dicetak striker asal Sumedang, Otong. PERSIB saat itu diperkuat Komar, Wowo Sunaryo, Djadjang Haris, Rukman, Soenaryono, Fattah Hidayat, Soenarto Soendoro, Ilyas Hadade, Ishak Udin, dll.
17 Tahun Kemudian....
PERSIB akhirnya mampu melaju ke babak tingkat nasional, Divisi I di awal Januari 1983, namun lolosnya PERSIB diikuti oleh mundurnya Marek Janota. Pelatih asal Polandia ini resmi lengser setelah bekerja selama dua tahun setengah di tim kebanggaan masyarakat Bandung ini. Rupanya ia sudah tidak tahan dengan tekanan yang memang seolah-olah menjadi tradisi di tim PERSIB.
Sebagai penggantinya, pengurus PERSIB menunjuk Risnandar Soendoro , mantan bintang PERSIB di era 70'an. Untuk menghadapi Divisi I tingkat Nasional, yang akan dilaksanakan bulan Maret 1983, Risnandar dibantu oleh dua asistennya yaitu Wowo Sunaryo dan Suhendar. Beberapa nama baru didaftarkan untuk babak ini, diantaranya adalah Suryamin yang baru pulang membela PSSI Pratama dan Yusuf Bachtiar anak muda hasil pembinaan Diklat Ragunan.
Di bawah pelatih Risnandar, PERSIB akhirnya memastikan diri lolos ke babak 16 Besar, setelah mengukuhkan diri sebagai Runner-up Grup 1 tingkat Nasional, meskipun cuma mencatat sekali kemenangan atas Persiku Kudus 1-0 lewat gol tunggal Djafar Sidik, dan kalah 0-2 dari Persema Malang.
Menghadapi Kompetisi Divisi I tingkat nasional “16 Besar”, Risnandar tidak banyak melakukan perombakan tim. Ia tetap mengandalkan materi pemain muda hasil tempaan Marek Janota yang tampil di Invitasi Antarperserikatan U-23 1981 dan Piala Suratin 1982.
Di babak “16 Besar” Divisi I Nasional, PERSIB bergabung di Grup B bersama Persedil Dili, Persisam Samarinda, dan PSSA Asahan. Bertanding di Stadion Siliwangi, PERSIB tampil perkasa dengan menghajar Persedil 4-1, Persisam 5-0, dan PSSA 2-0, sekaligus memastikan langkahnya ke babak “8 Besar” sebagai juara grup.
Sebagai juara grup, PERSIB kembali dipercaya menjadi salah satu tuan rumah babak “8 Besar”, selain PSIS. Menjamu Persikabo Kab. Bogor, PSBI Blitar, dan PSP Padang di Grup F, anak asuh Risnandar melanjutkan keperkasaannya. Persikabo dikalahkan dengan skor 2-0, PSBI dijinakkan 2-1, dan PSP ditundukkan dengan skor 2-0, untuk melaju ke babak semifinal yang akan digelar di Stadion Diponegoro Semarang, April 1983.
Dengan lolos ke semifinal, PERSIB secara otomatis sudah memastikan satu dari empat tiket promosi ke Divisi Utama. Pasalnya, jika pada musim sebelumnya yang promosi cuma juara Divisi I saja, kali ini PSSI menambah menjadi 4 tim, karena ada keputusan menambah peserta Divisi Utama 1983, dari “6 Besar” menjadi “10 Besar”. Kemenangan ini disambut dengan suka cita.
Rupanya "penyakit" berleha-leha setelah menang, memang sudah ada dari zaman dulu, buktinya kegarangan PERSIB di babak sebelumnya mendadak sirna di babak semifinal. yang memang sudah tidak menentukan. Menghadapi tuan rumah PSIS, mereka dibantai 0-3. Beruntung PERSIB masih bisa menduduki peringkat ketiga usai menghajar PSP 5-1. Selain itu, salah seorang pemain mudanya, Adjat Sudradjat dinobatkan sebagai pencetak gol tersubur dengan koleksi 9 gol.
Setelah berhasil promosi ke Divisi Utama sebagai peringkat ketiga Divisi I, PERSIB tidak memiliki banyak waktu untuk rehat. Pasalnya, kurang dari lima bulan, Kompetisi Divisi Utama Perserikatan 1983 sudah akan dimulai.
Tetapi menjelang Kompetisi Divisi Utama Perserikatan 1983 yang akan dimulai September 1983, PERSIB justru diguncang sedikit prahara. Risnandar Soendoro yang sukses mengantarkan PERSIB promosi ke Divisi Utama justru dilengserkan pengurus, kurang dari sebulan menjelang kompetisi dimulai. Posisi Risnandar digantikan seniornya, Omo Suratmo. Omo efektif menangani PERSIB per tanggal 22 Agustus 1983. Kendati demikian, setelah Omo menangani PERSIB dalam dua kali pertandingan uji coba melawan tim Pemda Kalsel dan Pemda Jabar, Risnandar mengaku belum mengetahui adanya pergantian itu.
Terlepas dari persoalan internal itu, Omo tetap mempersiapkan tim menghadapi Divisi Utama 1983. Menghadapi putaran pertama babak penyisihan Wilayah Barat yang akan dimainkan di Stadion Imam Bonjol Padang, Omo memboyong 20 pemain. Mereka adalah Boyke Adam, Sobur, Wawan Hermawan (kiper), Adjid Hermawan, Suryamin, Kosasih A, Dede Iskandar, Giantoro (Capt), Robby Darwis, Yoce Roni Sumendap, Yana Rodiana, Wolter Sulu, Adeng Hudaya, Iwan Sunarya, Ade Mulyono, Adjat Sudradjat, Wawan Karnawan, Kosasih B., Rudiyanto, dan Bambang Sukowiyono.
Pada awal perjuangannya di Divisi Utama, penampilan anak-anak muda PERSIB belum begitu meyakinkan. Pada pertandingan pembuka, mereka dikalahkan PSMS Medan 0-1, lalu ditahan Persiraja Banda Aceh 2-2 dan Persija 0-0. PERSIB baru mencatat kemenangan pada laga keempatnya, ketika memukul tuan rumah PSP Padang 2-1, untuk menempati peringkat ketiga klasemen sementara.
Menjelang putaran kedua digelar di Stadion Siliwangi, dua pemain anyar dipanggil, yaitu Djafar Sidik dan Memed Ismar, pemain yang sebelumnya memperkuat Sari Bumi Raya Yogyakarta. Selain dua pemain baru tersebut, Omo juga memanggil kembali pemain veteran Encas Tonif untuk memperkuat skuad PERSIB. Ketiga pemain tersebut menggantikan posisi Wawan Hermawan, Yoce Roni, dan Ade Mulyono yang "menghilang" dari skuad Omo.
Dengan suntikan darah baru ini, PERSIB tampil garang di putaran kedua. Di hadapan publiknya sendiri, mereka menggasak Persiraja 4-0, PSP 5-0, dan PSMS 3-1. Hasil imbang 0-0 pada laga terakhir melawan Persija menempatkan PERSIB di peringkat kedua klasemen akhir untuk mendampingi PSMS lolos ke babak "4 Besar" yang berlangsung di Stadion Utama Senayan Jakarta.
Di babak "4 Besar" PERSIB semakin tampil menawan. Tiga lawannya mereka gasak. Persebaya Surabaya diembat 2-1, PSMS 2-1, dan PSM Makassar 3-0. PERSIB pun dengan mulus melaju ke grandfinal untuk menghadapi PSMS.
Berkat penampilan yang cantik selama babak 4 besar, publik sepak bola nasional mulai menjagokan PERSIB untuk tampil sebagai kampiun. Tapi sayang, nasib belum berpihak ke PERSIB. Melalui drama adu penalti yang sangat menegangkan, setelah bermain imbang tanpa gol selama 120 menit, termasuk perpanjangan waktu, tim yang dikapteni Giantoro harus mengakui keunggulan PSMS 2-3. Kecemerlangan penjaga gawang PSMS Ponirin Mekka, menggagalkan ambisi PERSIB untuk mencetak sejarah, langsung juara begitu promosi ke Divisi Utama. Dalam drama adu penalti, tiga eksekutor PERSIB, Giantoro, Adeng dan Dede Iskandar gagal melewati "tangan emas" Ponirin Mekka. Sedangkan Wolter Sulu dan Adjat Sudrajat sukses melakukan eksekusi dengan baik.
Dalam pertandingan Grandfinal yang digelar pada 10 November 1983 itu, Pelatih Omo Suratmo, menurunkan skuad : Sobur (kiper), Suryamin/Adjid Hermawan, Dede Iskandar, Robby Darwis, Giantoro (Capt), Encas Tonif/Kosasih A., Bambang Sukowiyono, Wolter Sulu, Adjat Sudradjat, Adeng Hudaya, dan Wawan Karnawan.
Ketua Umum PERSIB, Solihin GP. berusaha menghibur para pemain PERSIB. Meski tampak getir, ia berusaha membuat para pemain yang tertunduk pilu untuk tidak larut dalam kesedihan. Gagal tampil sebagai kampiun, kubu PERSIB sedikit terhibur. Pasalnya, mereka dinobatkan sebagai tim terbaik. Selain itu, salah seorang bintang mudanya, Adjat Sudrajat dinobatkan sebagai Pemain Terbaik dan Top Skor tersubur dengan 8 gol.
Dari delapan gol yang dicetak Adjat sepanjang musim itu, 4 di antaranya dicetak ke gawang PSMS dalam tiga pertemuannya di putaran pertama, kedua, dan babak "4 Besar". Sayang, kerakusan Adjat Sudradjat membobol gawang PSMS lenyap ketika berlaga di partai final. Adjat mengaku, kondisinya tidak maksimal setelah sempat "dihantam" bek PSMS, Marzuki Nyakmad. Selain ketegangan Adjat di partai Final, episode lain yang tak boleh dilewatkan adalah soal kejengkelan Encas Tonif yang diganti Kosasih A. di pertengahan babak kedua. Saking jengkelnya, Encas sempat melemparkan air minum ke arah salah seorang ofisial tim. Pemain paling tua di kubu PERSIB itu (32 tahun) ditarik karena dinilai bermain kasar. Encas mengakuinya, tapi menurutnya itu dilakukan untuk memompa mental para pemain muda PERSIB. Kejengkelan Encas pada peristiwa itu karena pertandingan tersebut merupakan kesempatan terakhirnya mempersembahkan gelar juara sebelum gantung sepatu.
Selepas Kompetisi Divisi Utama Perserikatan, PERSIB diundang untuk mengikuti turnamen segitiga persahabatan internasional di Stadion Teladan Medan (28-30 Desember 1983). Pesertanya yaitu PERSIB, Freiburg (Jerman), dan tuan rumah PSMS Medan. Sayang, pada turnamen ini PERSIB tidak menampilkan performa terbaiknya, di pertandingan pertama melawan tuan rumah PSMS Medan, PERSIB kalah 1-0. Kemudian di pertandingan kedua, PERSIB harus mengakui keunggulan Freiburg dengan skor 0-5.
*****
Para pemain muda PERSIB
tak patah arang dengan kegagalan pada kompetisi sebelumnya. Mereka
langsung bersiap menghadapi Kompetisi Divisi Utama Perserikatan 1985.
Sejumlah turnamen persahabatan diikuti sepanjang 1984.Piala Wali Kota Padang II, Piala Siliwangi IV, dan Piala Yusuf X adalah sejumlah turnamen yang diikuti PERSIB. Kecuali Wawan Karnawan yang dinobatkan sebagai pemain terbaik di Piala Yusuf, tak ada mahkota yang direngkuh PERSIB dalam turnamen-turnamen tersebut.
Kendati sempat dikembalikan kepada Risnandar Soendoro di beberapa turnamen, namun menghadapi Divisi Utama Kompetisi Perserikatan 1985, pengurus PERSIB menunjuk Nandar Iskandar sebagai pelatih. Ia didampingi tiga asistennya, Suhendar dan Wowo Sunaryo serta Indra M. Thohir sebagai pelatih fisik. Posisi manajer dipercayakan kepada M. Yayat Ruchiyat.
Menghadapi kompetisi ini, PERSIB mendaftarkan pemainnya antara lain Boyke Adam, Sobur, Wawan "Kutil" Hermawan, Dede Iskandar, Suryamin, Cornelis Rudolf, Yoce Roni Sumendap, Adeng Hudaya, Robby Darwis, Ganjar Nugraha, Sardjono, Yana Rodiana, Iwan Sunarya, Bambang Sukowiyono, Jafar Sidik, Kosasih A, Suhendar, Wawan "Balok" Karnawan, Dede Rosadi, dan Adjat Sudradjat.
Sebagian besar pemain PERSIB 1983 masih dipertahankan, kecuali Wolter Sulu yang hijrah ke PS Bengkulu, Giantoro dan Encas Tonif yang menyatakan pensiun, Adjid Hermawan, Ade Mulyono yang sejak awal putaran kedua Kompetisi Perserikatan 1983 sudah tidak masuk tim, serta Kosasih B. dan Memed Ismar. Tapi khusus untuk Encas Tonif, Ade Mulyono, dan Adjid Hermawan, menjelang akhir putaran kedua, mereka dipanggil lagi bersama Vence Sumendap.
Seiring dengan semakin matangnya permainan para pemain mudanya, PERSIB kembali difavoritkan untuk menjadi kampiun. PERSIB dinilai memiliki materi pemain terbaik dibandingkan 11 peserta lainnya. Publik sepak bola nasional semakin mantap menjagokan PERSIB, ketika lolos ke babak "6 Besar" dengan rekor tak terkalahkan. Di putaran pertama yang berlangsung di Stadion Lampineung Banda Aceh, PERSIB menghajar Persija 3-0 dan tuan rumah Persiraja 2-0. Dalam tiga laga lainnya, PERSIB bermain imbang, dengan Perseman Manokwari 2-2, PSP Padang 2-2, dan PSMS Medan 2-2.
Di putaran kedua yang berlangsung di Stadion Menteng dan Stadion Utama Senayan Jakarta, PERSIB memastikan diri lolos ke babak "6 Besar" sebagai juara Wilayah Barat, setelah menundukkan PSP 4-0 dan Persija dengan skor 4-0, Persiraja 2-0 serta imbang tanpa gol dengan PSMS 0-0 dan dengan Perseman Manokwari 1-1. PERSIB didampingi Perseman dan PSMS, peringkat kedua dan ketiga Wilayah Barat.
Kapten Adeng Hudaya versus Persija ( Rivalitas ) |
Sambil menunggu babak “6 besar” dimulai, Pada tanggal 5 Februari 1985, PERSIB mendapat kesempatan terlebih dahulu berujicoba dengan Torpedo Kutaisi. Tim ini merupakan klub dari Uni Soviet. Pada saat itu, skuad PERSIB tidak diperkuat Adjat Sudradjat, Adeng Hudaya, Jaffar Sidik, dan Bambang Sukowiyono. Namun, Djadjang Nurdjaman (mantan pemain PERSIB yang sempat hijrah ke Mercu Buana Medan di Galatama V/1984) kembali ikut membela PERSIB. Adjat Sudradjat saat itu berada di timnas Indonesia A. Sementara Adeng Hudaya, Jaffar Sidik, dan Bambang Sukowiyono tidak mendapat ijin dari instansinya. Hasilnya PERSIB kalah 1-3 dari lawannya. Torpedo Kutaisi unggul lebih dahulu 1-0 melalui Jorji Kashuili (menit 36). Namun, pemain baru Djadjang Nurdjaman berhasil membalasnya menjadi 1-1 pada menit 57. Sayang, PERSIB tidak mampu mempertahankannya, lawan berhasil menjaringkan dua gol tambahan sehingga ketika peluit akhir kedudukan 1-3. Keberadaan Djadjang Nurdjaman di kubu PERSIB baru sebatas pinjaman, dan tidak bisa dimainkan di Kompetisi Perserikatan yang sudah mencapai babak “6 besar”.
Di awal babak babak "6 Besar" yang berlangsung di Stadion Utama Senayan Jakarta, akhir Februari 1985, PERSIB melanjutkan keperkasaannya. Dua wakil Wilayah Timur, Persebaya Surabaya dihajar 4-0 dan Persipura Jayapura 3-1. Namun kekalahan 1-2 dari PSM Makassar pada laga berikutnya membuat langkah PERSIB tersendat.
PERSIB masih memelihara peluang ketika kemudian menundukkan Perseman 4-1. Kemenangan PERSIB atas Perseman ini sempat dituding berbau tidak sportif dan dikritik berbagai kalangan, termasuk Ronny Pattinasarani dan Iswadi Idris. Pasalnya, sebelum pertandingan berlangsung, Ketua Umum PERSIB, Solihin GP. diketahui membuat "ikrar" dengan kubu Perseman yang ketika itu menjadi public enemy penonton Senayan, akibat permainan keras menjurus kasar para pemainnya. Ikrar dilakukan antara Solihin GP. dengan Mayor M.E. Talahatu, asisten manajer Perseman.
Ikrar Solihin G.P. dengan sang mayor itulah yang dituding tidak sportif. Iswadi Idris mengatakan, untuk menghindari permainan keras menjurus kasar seperti diperagakan pemain Perseman, dibutuhkan wasit yang tegas dan jeli. "Bukan dengan pembacaan ikrar," timpal Iswadi.
Kembali ke lapangan, posisi PERSIB kembali berada di ujung tanduk ketika dikalahkan PSMS 1-0. PERSIB lolos dari lubang jarum, karena PSM yang membutuhkan kemenangan untuk menggeser PERSIB di peringkat kedua hanya bermain imbang 2-2 dengan Persebaya. Alhasil, PERSIB lolos ke grandfinal untuk menantang sang musuh bebuyutan PSMS, hanya dengan keunggulan selisih gol dari PSM. Ini merupakan Partai Final ulangan Perserikatan 1983.
Pertandingan Final digelar di Stadion Senayan Jakarta tanggal 23 Februari 1985. Stadion Utama Senayan yang besar dengan kapasitas penonton 120.000, tak mampu menampung kedatangan sekitar 150.000 penonton yang didominasi oleh pendukung PERSIB yang datang dari berbagai penjuru Jawa Barat. Dari segi penonton, partai final ini tercatat sebagai " Rekor Dunia ". Bayangkan, stadion Senayan yang dalam keadaan normal berkapasitas 120.000 orang, ketika itu sudah dijejali melampaui kapasitasnya; sampai ke pinggir lapangan. Menurut buku Asian Football Confederation (AFC) terbitan 1987, pertandingan ini merupakan pertandingan terbesar dalam sejarah pertandingan sepakbola amatir di dunia. Suatu rekor yang luar biasa dan belum terpecahkan hingga saat ini. Jumlah penonton yang membludak itu juga membuat pertandingan sempat ditunda beberapa jam, bahkan pemanasan pun dilakukan sampai tiga kali, di dalam dan di luar stadion.
Inilah bukti sejarah, Rekor Penonton hingga 150.000 Orang |
Stadion Utama Senayan di banjiri lautan penonton, Final Persib-PSMS 1985 |
Pada pertandingan final ini Nandar Iskandar menurunkan formasi Sobur (kiper); Suryamin, Dede Iskandar, Robby Darwis, Adeng Hudaya, Bambang Sukowiyono, Adjat Sudradjat, Kosasih A., Suhendar/Yana Rodiana, Iwan Sunarya, dan Wawan Karnawan/Dede Rosadi.
Pertandingan berjalan sengit, permainan keras PSMS diladeni oleh permainan bola dari kaki ke kaki, cantik seperti ciri khas PERSIB. Namun PERSIB tertinggal lebih dulu di babak pertama oleh 2 gol Musimin Sidik menit 14 dan 35. Di babak ke II, dengan mental baja PERSIB yang sudah ketinggalan 0-2, akhirnya dapat menyamakan kedudukan 2-2 melalui penalti Iwan Sunarya di menit 65 dan gol kelas dunia Adjat Sudrajat di menit ke-75. Melalui sundulan kepala yang sangat indah dari sedikit saja dari luar kotak penalti PSMS, menyambut tendangan sudut Iwan Sunarya. Sundulan Adjat yang cukup jauh jaraknya untuk ukuran sebuah gol dengan kepala ini menerpa mistar bagian dalam PSMS Medan, sehingga kiper hebat Ponirin Mekka sampai bengong tak bereaksi. Soetjipto "Gareng" Soentoro, bintang PSSI di era 1960-an dan awal 1970-an yang jadi komentator melalui RRI Jakarta ketika itu, menyebutnya sebagai gol spektakuler yang berkelas dunia. Mirip golnya Paul Mariner di Premiere League, goal getter timnas Inggris tahun 1970-an.
Dalam waktu normal, plus perpanjangan waktu, kedua tim bermain imbang 2-2. Adu Penalti pun terpaksa dilakukan, algojo-algojo PERSIB dipersiapkan dari jauh-jauh hari untuk menghidari kegagalan final kompetisi sebelumnya, mereka adalah Adjat Sudradjat, Iwan Sunarya, Adeng Hudaya, Wawan Karnawan dan Bambang Sukowiyono yang selama latihan memiliki poin tertinggi untuk urusan akurasi penalti. Namun untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. ternyata Dewi Persik eh ma'af "Dewi Fortuna" masih memusuhi PERSIB. Seperti Grandfinal 1983, PERSIB pun kembali gagal membawa pulang Piala Presiden, karena lagi-lagi kalah 3-4 lewat drama adu penalti. Iwan Sunarya dan Adjat Sudradjat gagal mengeksekusi penalti karena berhasil dipatahkan oleh kecermelangan seorang bintang kiper saat itu : Ponirin Mekka.
|
Tangis haru bercampur suka cita Musimin Sidik, pencetak 2 gol ke gawang PERSIB |
Bertolak belakang dengan poto di atas, inilah tangisan sedih para pemain PERSIB, setelah 2 kali masuk Final kalah dramatis lewat adu penalty dari Ponirin Mekka dkk. |
Kekalahan untuk ke-2 kalinya dari PSMS melalui drama adu penalti itu membuat kubu PERSIB terdiam. Solihin GP, Manajer Tim M. Yayat Ruchiyat, pelatih Nandar Iskandar, dan ofisial lainnya seakan terpaku melihat kegembiraan anak-anak Medan.
Suryamin tampak terisak-isak dalam pelukan Yana Rodiana dan Wawan Karnawan. Beberapa pemain lainnya menunduk lesu dan duduk di bangku cadangan. Suasana hening itu dibangkitkan Solihin G.P. yang dengan suara tegar meminta para pemain untuk menerima kenyataan itu dengan ksatria.
Suatu Pertandingan final yang sangat bermutu, menguras emosi penonton tetapi semua pihak yang terlibat tetap menjunjung sportifitas tinggi sehingga tak ada kerusuhan. Ini merupakan pertandingan sangat heroik dalam sejarah sepakbola Indonesia. Pertandingan ini sangat sarat dengan pelajaran berharga bagaimana sebuah sportifitas sebaiknya dikembangkan secara baik dan dewasa penuh kekeluargaan seperti ciri budaya Bangsa Indonesia ketika itu.
Meskipun penontonnya demikian banyak, kedua suporter tak saling bentrok sepanjang pertandingan berlangsung. Dan ternyata para suporter PERSIB khususnya tetap sportif menerima kekalahan dari PSMS untuk yang kedua kalinya di final melalui adu penalti. Pasca pertandingan tak terjadi kerusuhan sedikit pun. Bobotoh PERSIB pulang ke Jawa Barat (Banten masih termasuk Jawa Barat, saat itu) dan juga bobotoh yang tinggal di Jabotabek, dengan hati sangat sedih tapi tetap lapang dada. Adjat Sudradjat dan kawan-kawan kalah sangat terhormat setelah berjuang sampai keringat terakhir tak menetes lagi. Atau dalam kata-kata mantan kapten timnas Ronny Patinasarani : "PERSIB menang teknik dalam pertandingan final ini tetapi kalah mental dibanding PSMS".
Mega Bintang PERSIB BANDUNG : Adjat Sudradjat |
Gocekan dan Tarian meliuk-liuk khas Adjat Sudradjat di lapangan Hijau,tak mampu membawa Tim nya jadi Juara sebelum masa kejayaan Tahun 1986 |
Pasca pertandingan PERSIB vs PSMS ini perseteruan di lapangan berlanjut ke persahabatan di luar lapangan. Pemain-pemain PERSIB diundang untuk memperkuat PSMS memenuhi undangan Singapura untuk turnamen Piala Merlion. Maka Adjat Sudradjat, Kosasih, Robby Darwis, Sukowiyono dan Iwan Sunarya beberapa minggu mencicipi latihan bersama Ponirin Mekka dan kapten Sunardi A dkk di stadion Teladan, Medan. Penonton Medan mengelu-ngelukan Adjat Sudradjat sebagai "Soetjipto Soentoro Baru".
Bumbu lain setelah pertandingan PERSIB vs PSMS 1985 ini, ada kisah menarik tentang Bintang PERSIB kala itu Adjat Sudradjat "dibawa kabur" oleh seorang selebritis ke sebuah hotel berbintang. Menurut pengakuan Adjat : "Ah, Kang, saya mah cuma nonton film Kungfu di bioskop hotel Kartika Chandra bersama Hetty Koes Endang". Hetty yang masih lajang ketika itu malah "nyengir" ketika dicegat wartawan "Ah enggak, saya mah ngan ngajak Adjat nonton felem supaya melupakan kekalahan maen bola. Paling rencana kedepan saya dengan Adjat mau berduet nyanyi untuk rekaman tahun ini " katanya.
Kembali kepada hasil Final Kompetisi Perserikatan, kekalahan PERSIB dari PSMS Medan (yang juga melalui drama adu penalti) diikuti dengan munculnya ketidakpuasan yang berbuntut pada gugatan Solihin GP. kepada wasit yang memimpin pertandingan, Djafar Umar. Surat protes resmi hasil rapat pengurus tertanggal 25 Februari 1985 itu dikirim ke PSSI dengan disertai bukti video rekaman pertandingan.
"Kami tidak menggugat PSMS sebagai Juara, tapi sekadar bertanya kepada PSSI. Memangnya tak boleh, Kami yakin, wasit merugikan kami, Ini bukan protes, tapi koreksi atas wasit Djafar Umar yang memimpin pertandingan final itu", kata Solihin GP.
Dalam surat protesnya, PERSIB melihat ada tiga kekeliruan yang dilakukan Djafar Umar. Pertama ketika Medan unggul 2-1, di menit 77, PERSIB mendapat sepak pojok. Bola yang terlepas dari perebutan antara kiper Ponirin Mekka dan Bambang Sukowiyono disundul Robby Darwis dan masuk. Wasit tak menunjuk titik putih, sebagai tanda gol telah terjadi.
Kedua, pada menit ke-10 babak perpanjangan waktu, lagi-lagi terjadi kekalutan di gawang Ponirin oleh sebuah sepak pojok. Gol yang masuk lewat Dede Rosadi, juga tak dipedulikan wasit. Yang ketiga, ketika adu penalti, saat giliran penembak ketiga PERSIB, Adeng Hudaya, konon Ponirin sudah lebih dulu bergerak ke arah kiri, sebelum eksekusi dilakukan. Ini juga tak dianggap pelanggaran.
Namun, gugatan PERSIB itu menguap begitu saja. Ketua Komisi Wasit PSSI, Syamsudin Hadade justru sempat memeluk Djafar Umar usai pertandingan. "Pertandingan berjalan baik, semua keputusan wasit sesuai dengan peraturan," katanya.
Soal 2 gol yang dianulir, Hadade juga mengatakan, sebelum gol terjadi, wasit sudah meniup peluit untuk pelanggaran pemain PERSIB terhadap kiper Ponirin. Begitu juga tentang tuduhan Ponirin bergerak lebih dulu di dalam adu penalti, menurutnya, yang bergerak cuma tubuh Ponirin, hal yang dibolehkan peraturan, asal kaki tak turut melangkah. Setelah dibahas oleh komisi khusus bentukan PSSI, protes PERSIB itu tak menghasilkan apa-apa, meski sudah dibuktikan video rekaman. Hadade mengatakan, rekaman itu tak bisa dijadikan barang bukti. "Pengambilan gambarnya tidak dari berbagai sudut," dalihnya.
Usai gagal meraih gelar juara perserikatan tahun 1985, PERSIB kembali bersiap menghadapi musim selanjutnya. Pemain yang dipersiapkan, diterjunkan mengikuti turnamen Piala Tugu Muda di Semarang pada bulan Oktober 1986. Di turnamen ini PERSIB berhasil melangkah ke partai final dan berhadapan dengan Rajpracha, kesebelasan dari Thailand. Sayang keberuntungan belum berpihak pada PERSIB di tahun ini, PERSIB kembali kalah di partai final dengan skor 0-2. Tapi langkah PERSIB di turnamen kali ini dianggap yang terbaik sepanjang keikutsertaannya di turnamen rutin yang diadakan di kota Semarang itu.
Pada 19 November 1985, terjadi serah terima jabatan dari Solihin G.P. kepada Ateng Wahyudi sebagai Ketua Umum PERSIB. Acara serah terima ini dilakukan secara tidak lazim, yaitu melalui pesawat telepon. Ateng Wahyudi yang merupakan Walikota Bandung saat itu, merupakan sosok yang “gila bola”. Meskipun demikian, pada awalnya bobotoh yang terlanjur mengagumi figur kharismatik Solihin GP. belum mau menerima kehadiran sang ketua umum baru ini. Ada kejadian menarik di awal kepemimpinan Ateng Wahyudi yang saya ingat saat itu PERSIB bertanding di Siliwangi dan penonton saat itu membludak hingga pinggir lapangan dan tidak terkontrol. Ateng Wahyudi yang berada di podium Tribun VIP mencoba mengingatkan melalui pengeras suara tetapi tidak diindahkan oleh para bobotoh, sampai akhirnya Solihin GP. yang datang ke Siliwangi menggunakan Helikopter langsung berjalan mengitari lapangan untuk menenangkan penonton, dan “ajaibnya” para bobotoh saat itu langsung duduk ketika didekati oleh " Mang Ihin".
*****
JUARA TAHUN 1985/1986 :Ateng Wahyudi |
Di bawah kepemimpinan Ketua Umum baru, Ateng Wahyudi, PERSIB berusaha melupakan 2 kali kegagalan di partai Final Tahun 1982/1983 dan 1984/1985 yang ke dua-duanya di kalahkan PSMS Medan dengan cara yang sama pula lewat adu nasib ( Penalty ).
kini saatnya menghadapi Kompetisi Perserikatan 1985/1986. Pada Kompetisi kali ini PERSIB lagi-lagi lolos ke babak Grandfinal, meskipun sebelumnya jalannya tidak mulus serta tergolong sangat dramatis dan menegangkan. Pasalnya, setelah hanya mampu bermain imbang tanpa gol dengan PSM Makassar pada laga pembuka babak “6 Besar”, PERSIB dibekap Persija Jakarta 2-3. Meski kemudian menang 2-1 dari PSIS Semarang, PERSIB kembali bermain imbang 0-0 dengan PSMS pada laga keempat.
Hasil sekali menang, 2 imbang, dan sekali kalah itu membuat posisi Adeng Hudaya dan kawan-kawan terjepit. Banyak orang mengira, PERSIB bakal gagal lolos ke grandfinal karena lawan terakhir yang harus dihadapi adalah PERSEMAN Manokwari, tim yang berhasil melakukan aksi sapu bersih dalam 4 laga sebelumnya. Orang menyangka, PERSEMAN akan tampil di grandfinal bersama PERSIJA atau PSMS.
Tapi, ketika banyak orang berpikir seperti itu, sebuah “keajaiban” terjadi. Lantaran insiden kericuhan yang terjadi pada saat mereka bertemu PERSIJA pada laga pembuka babak “6 Besar”, Perseman yang sudah mengantongi satu tiket ke grandfinal lebih memilih PERSIB sebagai calon lawannya di final. “Permainan tingkat tinggi” pun terjadi pada laga terakhirnya, 6 Maret 1986, PERSIB “menghajar” PERSEMAN 6-0 lewat sumbangan gol Bambang Sukowiyono menit ke-10, Suhendar (15 dan 51), Dede Rosadi (25), Iwan Sunarya (30), dan penalti Djadjang Nurdjaman menit ke-72.
Dengan mengumpulkan nilai 6, plus selisih gol 10-4, PERSIB sebenarnya bisa saja tetap gagal bila pada hari berikutnya, PERSIJA bisa mengalahkan PSIS lebih dari 4 gol dan PSMS bisa menang lebih besar dari PERSIB saat menghadapi PSM. Tapi, nasib berpihak ke PERSIB. Pada laga terakhirnya, PERSIJA “hanya” menang 3-0 dari PSIS dan PSMS dibekap PSM 0-1.
Maka, PERSIB pun melenggang ke partai puncak pada Selasa, 11 Maret 1986. Di dalam partai “FINAL” dengan PERSEMAN, duet pelatih Nandar Iskandar - Max Timisela
Menurunkan formasi andalannya, 4-3-3, dengan materi pemain : Sobur (kiper), Adeng Hudaya, Robby Darwis, Suryamin, Ade Mulyono (belakang); Adjat Sudrajat, Bambang Sukowiyono, Iwan Sunarya (tengah); Suhendar, Dede Rosadi/Wawan Karnawan, dan Djadjang Nurdjaman (depan).
GENERASI EMAS TH.1986 : ADENG HUDAYA( capt.), AJAT SUDRAJAT, ROBBY DARWIS dkk |
SKUAD TH.1986 : KAPTEN ADENG HUDAYA DKK |
Bobotoh
yang menyaksikan langsung ke stadion tentu saja tegang. Masih belum
habis trauma mereka ketika 2 musim berturut-turut sebelumnya PERSIB selalu gagal di partai final, mereka tidak ingin tahun ini PERSIB kembali pulang tanpa gelar. Sementara jutaan bobotoh yang berada di rumah menyaksikan lewat layar kaca TVRI,
stasiun TV satu-satunya saat itu. Karena ingin puas, banyak bobotoh
yang memasang sekaligus antara TV dengan Radio. Gambar dari TV, suara
dari Radio! Jalannya pertandingan di RRI saat itu dipandu oleh penyiar Bung Sambas, yang waktu itu sangat populer karena suara dan gayanya saat menyiarkan siaran langsung PERSIB
lewat udara. Kabar unik lain yang kami dengar tentang pertandingan ini
adalah ketika mesjid-mesjid dibeberapa daerah di Kota Bandung (mungkin
juga terjadi di kota Jawa Barat lainnya), sebelum pertandingan dimulai,
mengingatkan kepada warganya melalui pengeras suara agar berdoa untuk
kemenangan PERSIB. Sebuah fenomena langka yang mungkin hanya terjadi di klub kesayangan kita ini.
PERSIB BANDUNG |
PERSEMAN MANOKWARI |
Ribuan Bobotoh tak kenal rasa muak setelah Persib 2 kali gagal Juara kini mereka tetap setia mendukung timnya bermain di Final Senayan 1986 |
“Nista, Maja, Utama”. Itulah kalimat yang terucap dari mulut H. Ateng Wahyudi, sang Ketua Umum, begitu PERSIB akan tampil di di partai puncak itu. Setelah bertempur habis-habisan dengan bintang-bintang PERSEMAN macam Adolf Kabo, Willem Mara, Yonas Sawor dan Eli Rumaropen, PERSIB dengan permainan cantik, indah dan bersih akhirnya bisa mengalahkan PERSEMAN . Pada menit ke-77, Djadjang Nurdjaman yang baru “pulang kampung” dari Mercu Buana Medan berhasil mengoyakan jala lawan, 1-0 untuk PERSIB dan berhak memboyong Piala Presiden ke Kota Bandung.
Usai
pertandingan, Stadion Utama Senayan “meledak” oleh histeria puluhan ribu
bobotoh yang merangsek ke tengah lapangan. Mereka larut bersama dalam
kegembiraan bersama pemain, pelatih, dan ofisial PERSIB yang tengah melakukan victory lap.
Di tengah ingar-bingar kegembiraan itu, Wali Kota Bandung sekaligus Ketua Umum PERSIB, Ateng Wahyudi juga larut dalam pesta kemenangan. “Kepahitan, kepedihan, dan kecapaian hati, hari ini terobati sudah”, komentar Ateng Wahyudi. Ia tak mampu menahan haru. Gerakannya tampak lunglai dipapah manajer tim PERSIB, Sukandar, B.E., mantan Ketua Umum PERSIB dan Gubernur Jawa Barat, Solihin GP, dan Wakil Gubernur Jawa Barat, Ir. Soehoed yang juga turut membahanakan kemenangan sambil menyalami para pemainnya.
Berkat keberhasilannya mengakhiri masa penantian selama 25 tahun itulah, di kemudian hari, muncul sebutan PERSIB ‘86 untuk seluruh anggota skuad Nandar Iskandar ini.
Materi pemain yang mengantarkan PERSIB menjadi JAWARA THN 1986 itu tidak lain “Generasi Emas” hasil binaan sejak awal dekade ‘80-an. Mereka adalah Sobur,
Boyke Adam, Wawan Hermawan (penjaga gawang), Wawan Karnawan, Ade
Mulyono, Suryamin, Ujang Mulyana, Sarjono, Adeng Hudaya, Robby Darwis,
Yoce Roni, Kornelis, Adjid Hermawan, Adjat Sudrajat, Yana Rodiana, Sam
Triawan, Iwan Sunarya, Dede Rosadi, Djadjang Nurdjaman, Sukowiyono,
Suhendar, Kosasih, dan Djafar Sidik.
Pengakuan atas hasil “peninggalan” Marek Janota kemudian kembali mencuat. “Marek memang tidak sempat mendampingi kami saat kembali ke Divisi Utama dan bahkan ketika merebut Piala Presiden 1986. Tapi, harus diakui, sukses kami ini tidak lepas dari sentuhan Marek. Karena dialah yang membentuk dan membidani permainan sepak bola kami sebelum karyanya diteruskan pelatih lain", ungkap Adjat Sudradjat.
Saat Marek
masih melatih, ia selalu menerapkan disiplin tinggi kepada para
pemainnya termasuk perihal peningkatan fisik. Tak heran, sekalipun Marek sudah tidak ada, pemain PERSIB
saat itu tetap memperhatikan kebugaran. Beberapa pemain terkadang
datang dan pergi ke Mes Puscadnas di jalan Jawa dengan cara lari,
diantaranya yang melakukan kegiatan rutin itu adalah Dede Iskandar (rumahnya di Sukajadi), dan Ade Mulyono & Robby Darwis (rumahnya
di daerah Lembang). Oleh sebab itulah, selain skillnya rata-rata
istimewa, kebugaran fisik juga bagus, pemain saat itu jarang sekali
kehabisan nafas di tengah pertandingan.
Persib Jadi Topik Berita di Majalah Top : TEMPO |
Mulai dari masa Kompetisi itulah reputasi PERSIB sebagai salah satu kekuatan sepakbola nasional mulai dibangun kembali. Nama-nama seperti Adeng Hudaya, Adjat Sudradjat, Dede Iskandar, Djadjang Nurdjaman, dan Robby Darwis mulai dilirik untuk memperkuat tim Nasional. Pada tahun ini adalah tahun dimana Robby Darwis yang oleh bobotoh dijuluki “Si Bima” karena posturnya yang tinggi besar, untuk pertama kalinya dipanggil masuk tim Nasional untuk berlaga di Asian Games 1986. Nama Robby mulai berkibar. Dalam sepuluh tahun kemudian, Robby Darwis selalu menjadi langganan timnas.
Robby Darwis ( Seragam Timnas PSSI ) |
Timnas PSSI ( Robby Darwis Jongkok Paling Kiri) |
Adjat Sudradjat ( Seragam Timnas PSSI ) |
Setelah PERSIB menjuarai Kompetisi Divisi Utama 1985-1986, dibuatlah Patung Sepakbola karya seniman besar I Nyoman Nuarta, di pertigaan jalan Lembong, Bandung. Patung yang tidak diberi nama itu kemudian oleh masyarakat dikenal dengan sebutan “Patung Adjat”, karena popularitas Adjat Sudradjat saat itu tengah menanjak.
" Patung Adjat " |
Saat itu Adeng Hudaya tidak dapat memperkuat PERSIB di kejuaraan tersebut karena sedang menjadi bagian dari tim nasional Indonesia A yang berlatih di Brasil. Karena “kehilangan” pemain andalannya tersebut, kemudian PERSIB memanggil dua pemain asal Bandung (Jawa Barat) yang memperkuat klub lain, yaitu Heri Kiswanto (Krama Yudha Tiga Berlian Palembang) dan Yusuf Bachtiar (Perkesa ‘78 Sidoardjo). Dalam gelaran tersebut, PERSIB berhasil mengharumkan nama negara dengan keluar sebagai Juara setelah di final mengalahkan Malaysia 1-0 melalui gol semata wayang dari Yusuf Bachtiar.
Adjat memboyong Piala Sultan Brunei |
Berbagai prestasi yang diraih di tahun ini tidak diakui atau tidak, menimbulkan perubahan sikap, perilaku, bahkan mental pada sebagian besar para pemain PERSIB. Euforia juara yang sudah lama tidak dirasakan PERSIB, setidaknya memunculkan kebanggaan berlebihan. Sikap inilah yang ingin dibuang jauh-jauh dari kubu PERSIB.
Menghadapi musim berikutnya yang akan digelar bulan Oktober tahun ini juga, praktis itu berarti hanya tiga bulan, waktu untuk PERSIB mempersiapkan tim. Datangnya musim baru lebih cepat karena PSSI sudah memutuskan, pelaksanaan Kompetisi Perserikatan berubah dari even dua tahunan menjadi agenda tahunan.
Pengurus PERSIB segera mempersiapkan komposisi tim dan harus rela melupakan euforia juara yang masih melekat di semua elemen. PERSIB tidak banyak merombak susunan tim, dari mulai ofisial hingga pemain. Pelatih Nandar Iskandar yang sudah menangani tim sejak tahun 1984, kembali dipercaya untuk melanjutkan tugasnya. Dari jajaran pemain, kecuali Uut Kuswendi, Dadang Kurnia, Yuli Suratno dan Yusuf Supamena praktis tidak ada muka baru dalam skuad "Pangeran Biru". Dengan target mempertahankan mahkota, mayoritas pemain yang ikut mengantarkan PERSIB juara dipertahankan dan tentunya ditambah dengan beberapa pemain baru.
Dalam rangka persiapan akhir menuju Divisi Utama Perserikatan, PERSIB mengadakan uji coba internasional pada Oktober 1986 untuk memantapkan komposisi tim. Kali itu lawan yang dihadapi adalah FC IQ dari Belanda. PERSIB yang lebih percaya diri usai menjuarai turnamen Internasional di Brunei mampu mengalahkan tamunya dengan skor telak 4-0 di Stadion Siliwangi. Keempat gol PERSIB dicetak Dadang Kurnia, Iwan Sunarya, dan Djadjang Nurdjaman.
*************
GAGAL KOMPETISI THN 1986/1987, LAWAN TIM DUNIA ( PSV EINDHOVEN ) BELANDA
Disela-sela kompetisi tahun 1987, artis-artis Bandung, terutama yang mengaku Bobotoh, seperti Trio Bimbo yang mendapat dukungan dari penyanyi Hetty Koes Endang, Nia Daniati, serta pelawak Kang Ibing, menciptakan sebuah lagu berjudul "PERSIBKU JAYA". "Kami menciptakan lagu ini karena kami benar-benar mencintai PERSIB," ujar Syam Bimbo, yang mempunyai ide menciptakan lagu "Persibku Jaya". Semua kesebelasan dunia, katanya, masing-masing mempunyai lagu. "Nah, apa salahnya jika PERSIB pun mempunyai lagu " ungkapnya.
Tim PERSIB sendiri saat itu masih mempertahankan tim pelatih yang berhasil membawa PERSIB juara pada musim sebelumnya, yaitu Nandar Iskandar, dibantu oleh Max Timisela dan Indra Thohir. PERSIB berhasil melaju ke babak "6 Besar" dengan sistem setengah kompetisi, namun permainan bintang-bintang PERSIB mulai memudar. Adjat Sudradjat, Bambang Sukowiyono, Iwan Sunarya dan Djadjang Nurdjaman yang pada musim sebelumnya selalu menjadi sumber gol PERSIB seperti tak bisa berbuat banyak di kotak penalti. Mereka tiba-tiba menjadi mandul.
Tak heran, dalam empat pertandingan awal babak "6 Besar", PERSIB hanya mampu mencetak satu gol, ketika bermain imbang 1-1 dengan Persipura, 2 Maret 1987. Gol pertama PERSIB di putaran final itu dicetak Adjat Sudradjat pada menit 39. Dalam tiga pertandingan lainnya, PERSIB bermain imbang tanpa gol dengan Persebaya (25 Februari 1987), PSMS (27 Februari), dan Persija (5 Maret 1987).
Meski tidak terkalahkan dalam empat laga tersebut, posisi PERSIB berada di ujung tanduk. Dengan mengumpulkan nilai 4, jika ingin lolos ke grandfinal mendampingi Persebaya, PERSIB harus menang dengan selisih minimal dua gol pada laga terakhirnya melawan PSIS yang ketika itu sudah mengantongi nilai 6.
Dalam laga penentuan yang dimainkan pada 7 Maret 1987, PERSIB tampil ciamik dengan mengalahkan PSIS. Sayang, kemenangan yang didapat PERSIB cuma 1-0 lewat gol Adeng Hudaya pada menit 18. Kemenangan itu tidak cukup untuk menggusur PSIS, karena PERSIB butuh kemenangan dengan selisih dua gol.
PERSIB pun menangis tragis, karena harus tersingkir gara-gara perbedaan selisih gol. Saking kecewanya, seluruh anggota skuad PERSIB langsung pulang ke Bandung, tanpa menyaksikan partai Final antara Persebaya dan PSIS yang akhirnya dimenangkan oleh PSIS. PERSIB masih sedikit terhibur, karena Robby Darwis dinobatkan sebagai pemain terbaik musim itu dan berhak memperoleh "Bola Emas".
Seperti biasa, atas kegagalan mempertahankan gelar itu, reaksi pun bermunculan, tak terkecuali dari mantan Ketua Umum PERSIB Solihin GP., Ia mengatakan motivasi dan fanatisme yang ditunjukkan para pemain ketika menjuarai Kompetisi Perserikatan 1986 tidak terlihat lagi.
Pelatih Nandar Iskandar berdalih, cederanya dua pemain muda potensial yang dimilikinya, Dadang Kurnia dan Uut Kuswendi turut menjadi penyebab kegagalan timnya.
Tidak mau larut dalam kekecewaan, untuk menghadapi kompetisi berikutnya, PERSIB mengadakan beberapa kali pertandingan uji coba sekaligus sebagai seleksi pemain yang dianggap layak menghuni skuad "Pangeran Biru". Persiapan kali ini disiapkan lebih matang dibanding musim lalu karena jadwal awal kompetisi relatif masih lama.
PERSIB pun memainkan sejumlah laga persahabatan, termasuk dengan klub luar negeri. Tanggal 11 Juni 1987, PERSIB berkesempatan menjajal klub raksasa Belanda, PSV Eindhoven yang tengah melakukan lawatan ke Indonesia dalam rangka tur Asia bersama Phillips. Selain Ruud Gullit, dalam pertandingan ini, PSV juga diperkuat pemain tim nasional Belanda lainnya, Ronald Koeman serta kapten Belgia, Eric Gerets. Perlu dicatat, Ruud Gullit saat itu tengah dipinang tim asal Italia AC Milan dan tercatat sebagai pemecah rekor "Pemain termahal Dunia".
Ruud Gullit CS versus PERSIB Bandung Thn. 1987 |
Sayang, tidak semua pemain inti PERSIB ikut serta. Maklum, pada saat itu sedang masa seleksi Timnas Indonesia. Selain penjaga gawang Erick Ibrahim, di dalam skuad PERSIB yang menghadapi PSV ada nama Yudi Guntara, seorang gelandang muda masa depan PERSIB. Pemain asal didikan Diklat Ragunan ini merupakan anggota tim nasional pelajar Indonesia asuhan Bukhard Pape pada 1984 dan 1985.
Tim PERSIB yang saat itu ditukangi oleh Nandar Iskandar dan Indra Tohir menggunakan formasi 4-3-3. Adapun formasi pemain PERSIB ketika melawan PSV Eindhoven adalah Wawan Hermawan/Erick Ibrahim (penjaga gawang), Dede Iskandar, Ade Mulyono, Ujang Mulyana, Adeng Hudaya, Bambang Sukowiyono, Uut Kuswendi, Iwan Sunarya/Dadang Kurnia, Adjat Sudradjat, Yudi Guntara, dan Dede Rosadi/Sarjono.
SKUAD PERSIB VS PSV EINDHOVEN THN. 1987 |
KAPTEN ADENG HUDAYA & KAPTEN PSV EINDHOVEN |
Hasilnya, PSV Eindhoven membungkam PERSIB 6-0 lewat gol Ruud Gullit menit ke-9, hattrick E. Vicool menit ke-15, 40, dan 53 serta dua gol tambahan dari Jurie Koolkhof menit ke-60 dan 66. Duel PERSIB kontra PSV Eindhoven memang bak pertarungan antara "David dengan Goliath". Tak heran hanyak kejadian lucu yang terjadi di lapangan hijau.
Pemain belakang PERSIB kocar-kacir menghadapi tekanan beruntun dari PSV.Tendangan maupun sundulan kelas dunia yang amat bertenaga mengagetkan kiper PERSIB yang dijaga Wawan Hermawan. Baru setengah babak gawang PERSIB sudah kemasukan 3 gol.
“Wawan Hermawan sempat menahan bola yang ditendang keras Ruud Gullit. Lucunya, saat Wawan mencoba menahan laju bola malahan badan Wawan yang terbawa masuk ke gawang PERSIB”, kata Adeng sambil tertawa. Senada dengan Adeng, Dede Rosadi yang saat itu turut andil membela PERSIB berkisah, para pemain Eindhoven tidak hanya memiliki tendangan yang keras, heading-nya pun membuat kiper Wawan tercengang. “Saking kerasnya heading Ruud Gullit, membuat Wawan ciut. Ia bilang sundulannya saja keras apalagi tendangannya. Di babak kedua Wawan meminta kepada pelatih untuk diganti oleh kiper cadangan yang saat itu dipercayakan kepada Erik Ibrahim”, ujar Dede mengenang.
*******
Untuk lebih memantapkan kerangka tim menghadapi Kompetisi Perserikatan 1987/1988 yang dimulai pada awal November 1987, PERSIB
mengikuti turnamen dan beberapa kali pertandingan uji coba seperti
Piala Surya di Surabaya, 28 Juni-3 Juli 1987. Setelah dianggap bermain
cukup baik ketika melawan PSV, Yudi Guntara kembali disertakan dalam lawatan PERSIB ke Piala Surya 1987 (28 Juni-3 Juli 1987). Meski PERSIB gagal tampil sebagai juara, berkat penampilan cemerlangnya, Yudi yang sempat membuat satu gol dalam turnamen ini dinobatkan sebagai pemain favorit.Bulan Juli 1987, PERSIB kembali mendapatkan kesempatan untuk memainkan laga uji coba Internasional di Stadion Siliwangi. Kali ini PERSIB berhadapan dengan Hallelujah (Korea Selatan) dan Juventus (Brasil). Dalam pertandingan persahabatan itu, Hallelujah mengalahkan PERSIB 1-0 (13/07/1987) serta keesokan harinya, PERSIB mengalahkan Juventus ( Brasil ) 2-1 (14/07/1987). Dalam pertandingan persahabatan internasional ini, Yudi Guntara kembali diikutsertakan dan mencetak satu dari dua gol kemenangan PERSIB atas Juventus Brasil. Kendati penampilannya sangat menjanjikan, namun Yudi baru diproyeksikan memperkuat PERSIB pada musim berikutnya.
Akhirnya, menjelang kompetisi dimulai, tim PERSIB pun terbentuk. Dari 27 pemain yang ada, PERSIB mendaftarkan 25 pemain, termasuk Yusuf Bachtiar yang secara resmi bergabung dengan PERSIB, setelah surat keluarnya dari Perkesa '78 Sidoarjo ke UNI diterima PERSIB, akhir Juli 1987. Ketika masih junior, pemain didikan Diklat Ragunan ini sempat berkostum PERSIB, saat berjuang promosi ke Divisi Utama pada Kompetisi Divisi I 1980/1983. Bersama Herry Kiswanto, Yusuf juga sempat dipinjam PERSIB ketika tampil di Pesta Sukan II/1986 Brunei Darussalam.
PERSIB juga mengikuti turnamen Piala Kedaulatan Rakyat 1987 di Yogyakarta, 24-27 September 1987, sebagai persiapan akhir menuju kompetisi Perserikatan.
PERSIB mendaftarkan komposisi skuadnya ke PSSI menjelang Kompetisi Perserikatan 1987-1988, mereka antara lain Sobur, Boyke Adam, Jajang Sinar Surya (kiper), Ade Mulyono, Adeng Hudaya, Dede Iskandar, Suryamin, Nandang Kurnaedi, Robby Darwis, Ujang Mulyana, Sardjono, Yoce Roni Sumendap, Bambang Sukowiyono, Yusuf Bachtiar, Dede Dradjat, Dede Rosadi, Auy Sobarman, Suparmin, Roy Darwis, Uut Kuswendi, Ruchiyat, Dadang Kurnia, Kekey Zakaria, Djadjang Nurdjaman, dan Iwan "Poras" Setiawan. Dua nama lain yang "disimpan" adalah penjaga gawang Erick Ibrahim dan Sam Triawan. Namun diantara nama-nama yang didaftarkan tidak terdapat nama-nama besar yang menjadi tulang punggung PERSIB ketika merengkuh gelar juara pada 1986, mereka adalah Wawan Hermawan (kiper), Iwan Sunarya, dan Adjat Sudradjat. Mengapa demikian dan ada apakah gerangan? biarlah itu menjadi misteri.
Pada 7 November 1987, PERSIB mengawali perjuangannya untuk lolos ke putaran final alias babak "6 Besar" secara meyakinkan. Bermain di Jakarta, PERSIB menghajar tim pendatang baru, Persitara Jakarta Utara 5-1. Yusuf Bachtiar mencetak gol pembuka pada laga debutnya bersama PERSIB di Divisi Utama Kompetisi Perserikatan ketika pertandingan baru berjalan enam menit. 4 gol PERSIB lainnya disumbangkan Dadang Kurnia (menit 31 dan 63), Adeng Hudaya (73), dan Robby Darwis (84).
Namun, pada pertandingan berikutnya yang justru dimainkan di Stadion Siliwangi, 15 November 1987, PERSIB tak berdaya saat ditekuk Persija Jakarta 0-1 lewat gol tunggal Budiman Yunus pada menit 47. Padahal pertandingan tersebut disaksikan oleh 50.000 Bobotoh yang memadati Stadion Siliwangi hingga meluber ke pinggir lapangan.
Beruntung PERSIB bisa bangkit dalam tur ke Sumatra dengan mencatat kemenangan atas PS Bengkulu 3-2 (22 November 1987) dan PSDS Deli Serdang 2-0 (5 Desember 1987). Setelah kalah 1-2 dari PSMS Medan di Stadion Teladan Medan, 9 Desember 1987, PERSIB mengakhiri putaran pertama di peringkat ketiga di bawah Persija dan PSMS.
**********
GAGAL JUARA DI KOMPETISI1987/1988, MUNCUL ISU SUAP DI TUBUH PERSIB
SKUAD PERSIB 1987/1988 |
Hasilnya di Bandung, PERSIB menghajar Persitara 3-0 (10 Januari 1988) dan PS Bengkulu 3-1 (24 Januari 1988). Setelah bermain imbang 3-3 dengan Persija di Jakarta, 31 Januari 1988, PERSIB memastikan diri merebut tiket ke putaran final dengan menggasak PSDS 2-0 di Bandung, 16 Februari.
Karena sudah lolos, PERSIB bermain "seadanya" pada laga terakhirnya melawan PSMS di Stadion Siliwangi, 21 Februari 1988. Akibatnya, PERSIB kalah 1-2, sehingga PSMS bisa turut lolos ke babak "6 Besar" mewakili Wilayah Barat.
Di babak "6 Besar" yang dimainkan di Stadion Utama Senayan Jakarta, 16-27 Maret 1988, "penyakit" sulit menang PERSIB, seperti yang terjadi pada putaran final Kompetisi Perserikatan musim sebelumnya, kembali kambuh. Usai mengalahkan Persiba Balikpapan 1-0 pada laga pembuka, 16 Maret 1988, PERSIB mencatat tiga kali hasil imbang secara beruntun, yaitu dengan Persija 1-1 (19 Maret 1988), Persebaya 3-3 (21 Maret 1988), dan PSMS 0-0 (23 Maret 1988).
Akibatnya, ketiga pertandingan tersisa sekali lagi, PERSIB masih tercecer di peringkat ketiga dengan nilai 5. Sementara dua rivalnya, Persebaya dan Persija, yang juga menyisakan satu laga lagi, sudah mengantongi nilai 7.
Karena pada laga terakhirnya, Persija akan bertemu dengan Persebaya, sebelum pertandingan terakhir dimainkan, PERSIB praktis sudah dipastikan kembali gagal ke grandfinal, meski secara matematis masih mungkin menyodok. Benar saja, pada saat bertanding, 24 Maret 1988, Persija dan Persebaya "bermain aman" 0-0, sehingga memastikan keduanya lolos ke grandfinal dan PERSIB pun gigit jari, meski keesokan harinya bisa menang 2-0 atas Persipura Jayapura. PERSIB pun harus puas berada di urutan ke-3.
"Buat apa ngoyo, yang untung PERSIB", kata Manajer Persebaya, Agil Haji Ali yang mengakui adanya "main mata" dengan Persija dalam laga terakhirnya itu. Di babak reguler Wilayah Timur, Persebaya juga pernah melakukan "sepak bola gajah", ketika mengalah 0-12 kepada Persipura, karena punya dendam untuk menyingkirkan PSIS.
Setelah PSIS, kini giliran PERSIB yang meradang. "Mengecewakan. Mereka telah memperagakan 'sepak bola ular'," teriak Wardaya, manajer tim PERSIB.
Persebaya akhirnya tampil sebagai kampiun usai mengalahkan Persija 3-2 melalui babak perpanjangan waktu. Tapi setelah kompetisi usai, kubu PERSIB diguncang isu suap. PERSIB yang gagal menembus babak grandfinal mencari kambing hitam dari kegagalan tersebut. Ateng Wahyudi kemudian melaporkan dugaan suap yang melibatkan sejumlah pemain pilar PERSIB kepada Tim Penanggulangan dan Pemberantasan Masalah Suap (TPPMS) PSSI.
Dugaan suap itu bermula ketika PERSIB hanya mampu bermain imbang 0-0 dengan PSMS Medan di babak “6 Besar”. Padahal di atas kertas, PERSIB bisa menggungguli tim berjuluk "Ayam Kinantan" tersebut. Saat itu pun PERSIB tengah membutuhkan kemenangan untuk memastikan diri lolos ke grandfinal.
Tetapi pada akhirnya, tuduhan dan dugaan kasus suap yang melibatkan beberapa pemain PERSIB itu tidak terbukti.
Sidang Paripurna Pegurus (SPP) PSSI 1988 memutuskan, Kompetisi Perserikatan kembali digelar dua tahun sekali. Sebagai buntut dari merebaknya dugaan suap pada Kompetisi Perserikatan 1987/1988, yang diduga melibatkan pemain PERSIB dan PSMS, serta aksi sepak bola gajah ala Persebaya, PSSI pun mengubah format "6 Besar". Kalau sebelumnya di putaran final ini diberlakukan sistem setengah kompetisi; keenam tim bertemu untuk menentukan dua wakil ke Grandfinal, pada Kompetisi Perserikatan 1989/1990, kontestan "6 Besar" dibagi ke dalam dua grup, masing-masing tiga tim. Dua tim terbaik maju ke semifinal dan selanjutnya final.
Paska isu suap pengurus PERSIB mencoba melakukan regenerasi dengan mengikuti sejumlah turnamen. Pada hari Minggu tanggal 5 Juni 1988, PERSIB kembali melakukan ujicoba internasional melawan KNVB (Belanda) di Stadion Siliwangi. Sayang di pertandingan ini, PERSIB kalah tipis 0-1.
PERSIB kemudian mengikuti turnamen Piala Persija I/1988 (November-Desember 1988), lagi-lagi PERSIB pulang tanpa meraih gelar, ketika harus puas sebagai Runner up.
***********
ROBBY DARWIS ( SI BIMA ) HIJRAH THN 1989
Banyak peristiwa terjadi, terutama arus perpindahan pemain PERSIB di tahun ini. 2 pilar PERSIB '86, Bambang Sukowiyono dan Iwan Sunarya yang sudah membela panji-panji tim kebanggaan Bobotoh ini sejak awal dekade 1980-an, menyatakan pensiun. Rekan seangkatannya, Dede Iskandar juga hijrah ke klub Galatama, Bandung Raya, bersama striker muda PERSIB, Dadang Kurnia.
Karena keputusan baru PSSI yang memberlakukan komptetisi menjadi 2 tahun sekali, praktis di tahun 1989
kompetisi baru akan diawali pada bulan November. Beruntung di tahun itu
banyak turnamen-turnamen tingkat lokal yang diadakan di berbagai
daerah, sebagai sebuah tim yang disegani tentunya PERSIB selalu diundang untuk menambah gairah turnamen tersebut.
Pada bulan Maret PERSIB mengikuti Turnamen Segitiga di Gresik, di turnamen itu PERSIB berhasil meraih gelar Juara. Kemudian di bulan April dalam turnamen hari jadi Persib ke-56 di Stadion Siliwangi, PERSIB juga sukses membuktikan diri sebagai Juara.
Pada bulan Mei 1989, 4 pemain muda PERSIB, Yohanes Gatot Prasetyo (kiper), Roy Darwis, Kekey Zakaria, dan Kalbaryanto dikabarkan hijrah ke Persegres Gresik, tim yang baru promosi ke Divisi Utama. Di luar itu, Uut Kuswendi dan Erick Ibrahim (kiper) juga bergabung dengan Petrokimia Putra.
Bulan Juni 1989 dalam Piala Siliwangi VII, PERSIB juga menjadi Juara di turnamen yang diadakan di kota sendiri tersebut. Bulan berikutnya PERSIB mengikuti Piala Surya di Surabaya, tapi di turnamen itu PERSIB pulang tanpa membawa gelar.
Berita mengejutkan datang pada bulan Juli 1989, pemain paling fenomenal di tubuh PERSIB yaitu Robby Darwis memutuskan bergabung dengan klub Malaysia, Kelantan FA.
ROBBY DARWIS |
Selasa, 11 Juli 1989, Robby
akhirnya tampil untuk pertama kalinya dengan kostum Kelantan FA. Lawan
yang dihadapinya adalah Singapura. Tim dari "Negeri Singa" itu mengikuti
Liga Malaysia karena belum ada kompetisi resmi di negaranya. Tapi,
siapa menyangka pertandingan itu merupakan laga perdana dan terakhir Robby di Liga Malaysia. Dalam sebuah insiden, ketika pemain kedua tim terlibat aksi saling dorong di tengah lapangan, Robby diganjar kartu merah karena dianggap telah memukul wasit yang memimpin pertandingan itu, Hamzah Sebot.
Kendati Robby
membantah telah memukul wasit, namun Jawatan Kuasa Disiplin Federasi
Sepak Bola Malaysia (FAM) --semacam Komisi Disiplin di PSSI-- akhirnya
menghukum Robby tidak boleh tampil di Liga Malaysia selama satu tahun. Hukuman itu diperkuat oleh Komisi Banding FAM.
Tidak sampai di situ, dalam perkembangan selanjutnya, Robby
yang sudah berangkat ke Kuala Lumpur untuk memperkuat tim nasional
Indonesia di SEA Games 1989, ternyata batal tampil, karena Federasi
Sepak Bola Asia Tenggara dan Federasi Sepak Bola Asia (AFC) menganggap
hukuman yang tengah dijalani Robby
juga berlaku di arena SEA Games. Banyak yang berspekulasi bahwa ada
pihak-pihak tertentu yang sengaja merancang skenario ini, dengan tujuan
agar Robby Darwis tidak dapat memperkuat Tim Nasional di ajang SEA Games. Apakah dari pihak Malaysia atau justru dari dalam negeri sendiri.
PSSI yang kecewa atas larangan tampil Robby di SEA Games juga tidak mengizinkan Robby kembali ke Kelantan. "Pengurus PSSI untuk sementara tidak akan mengizinkan Robby kembali ke sana, sebelum permasalahannya tuntas. Bayangkan saja, sampai saat ini PSSI belum selembar pun menerima surat dari Kelantan, FAM, ataupun Federasi Sepak Bola Asia (AFC)," ujar Sekretaris Umum PSSI, Nugraha Besoes.
Di tengah ketidakpastian nasibnya, Kompetisi Perserikatan 1989/1990 akan segera bergulir. Pada Oktober, Robby akhirnya memutuskan untuk keluar dari Kelantan dan memilih "pulang kampung" untuk kembali memperkuat PERSIB.
Di bulan September, PERSIB mengikuti Piala SIDOLIG yang diadakan di kota Bandung, hasilnya PERSIB meraih gelar Juara.
Untuk menemukan bakat-bakat baru dalam proses regenerasi, pada tahun ini PERSIB menggelar turnamen yang bertitel "Piala Djarum Super" yang diikuti tim-tim perwakilan daerah di seluruh Jawa Barat. Pada Piala Djarum Super 1989, penjaga gawang Anwar Sanusi (Subang) dinobatkan sebagai Pemain Terbaik. Selain Anwar Sanusi, muncul nama-nama pemain Kota Bandung, seperti Asep Sumantri, Nyangnyang, Aris Munandar, Diding, dan Nana Supriatna yang kelak menjadi anggota skuad PERSIB di Kompetisi Perserikatan 1989/1990.
Masih banyak turnamen, turnamen yang diikuti PERSIB di tahun ini seperti Piala Marah Halim XVII/1989, Piala Gubernur Jawa Tengah 1989, Piala Persija I/1989, dan Piala Jawa Pos I.
Di Piala Persija, PERSIB harus puas menjadi runner-up karena kalah 1-3 dari Persebaya Surabaya lewat drama adu penalti di Stadion Utama Senayan Jakarta. Sementara di Piala Jawa Pos I, PERSIB hanya menempati posisi ke-3, akan tetapi PERSIB dinobatkan sebagai "Tim Terbaik" Piala Jawa Pos pertama tersebut.
**********
STADION & MESS
Hingga saat ini, Persib masih menggunakan Stadion Si Jalak Harupat untuk memainkan laga kandangnya. Setelah sebelumnya memakai Stadion Siliwangi.
Pada Indonesian
Super League 2008/2009, Persib terpaksa harus meninggalkan Stadion
Siliwangi setelah terjadi kerusuhan ketika menjamu Persija Jakarta pada
pekan kedua. Ditambah situasi politik yang sedang memanas akibat
berlangsungnya Pemilu 2009, Kepolisian Kota Bandung tidak lagi
mengeluarkan surat izin menyelenggarakan pertandingan di Stadion
Siliwangi bagi Persib. Sebagai alternatif, dipilihlah Stadion Si Jalak
Harupat, Soreang, Kabupaten Bandung, sebagai "home-base" hingga akhir
musim kompetisi.
Berdasarkan
permasalahan itulah Pemerintah Kota Bandung berencana membangun Sarana
Olahraga baru, termasuk stadion, di kawasan Gedebage. Stadion itu
sendiri, yang peletakan batu pertamanya dilakukan pada awal 2008, ini
diproyeksikan untuk menjadi home-base Persib serta untuk
menyelenggarakan SEA Games tahun 2011 nanti. Stadion ini juga
direncanakan untuk digunakan pada Porprov Jawa Barat 2010. Saat ini,
kontrak pembangunan stadion yang rencananya akan diberi nama Stadion
Gelora Bandung Lautan Api ini telah diperoleh PT Adhi Karya Tbk dengan
nilai Rp. 495,945 miliar. Diperkirakan, pembangunan stadion ini akan
memakan waktu 883 hari.
Untuk lapangan
latihan, Persib menggunakan Stadion Persib di Jl. Ahmad Yani. Stadion
yang dulunya dikenal dengan nama Stadion Sidolig ini direnovasi sejak
tahun lalu. Kini di stadion tersebut terdapat lapangan latihan dengan
rumput baru dan trek berlari serta di sampingnya terdapat mess untuk
tempat tinggal para pemain dan staff Persib serta untuk kantor. Pada
pertengahan bulan Juli diadakan rencana renovasi tahap kedua, yaitu
merenovasi bagian depan stadion yang sekarang ini hanya merupakan
ruko-ruko tempat menjual kaos Persib dll. Rencana ini menimbulkan
kerisauan bagi para pedagang di sekitar Stadion Persib karena mereka
tidak akan mendapat penghasilan jika diwajibkan mengosongkan lahan
bisnis mereka.
Sejak diresmikan,
pernah bocor dan ambruk akibat pipa air yang bocor. Belum lagi masalah
rumput lapangan yang mengering karena terlamess Persib sudah beberapa
kali mendapatkan masalah. Atap ruang VIP di mess itu sering dipakai.
Akhir-akhir ini atap mess juga bocor akibat musim hujan, sehingga
menyebabkan licinnya lantai dan terganggunya aktivitas. Letak Stadion
Persib yang berada di Jl. Ahmad Yani yang merupakan pusat keramaian juga
membuat istirahat para pemain terganggu dan mudahnya para bobotoh untuk
masuk ke dalam stadion.