Pribadi Antisosial Minim Rasa Bersalah
ROMEO (bukan nama sebenarnya), seorang siswa kelas 2 SMA tinggal di Jakarta. Ia amat sering membuat orang tuanya pusing bukan kepalang. Menurut ibunya, perangai Romeo bukan main.
Ia dinilai tak punya dunia selain kamarnya. Setiap menginjakkan kaki di rumah selepas sekolah, Romeo langsung memeram diri di dalam kamar. Ia keluar untuk makan dan mandi belaka.
Romeo juga tak punya keinginan untuk berbela rasa. Semisal saudara atau ibunya menderita sakit, ia tak rikuh menolak bila diminta mengantarkan mereka ke dokter. Bahkan, bila rumahnya dipakai untuk arisan, ia tak ambil pusing dan tak sedikit pun membantu ibunya.
Rupanya yang mengeluh bukan ibunya saja. Guru di sekolahnya juga bertutur sama. Perilaku Romeo acap meremas hati. Ia lebih suka menyendiri dan bila ada temannya yang mengusik, ia langsung galak. Amarahnya mudah terpancing dan berbuntut pada perkelahian dengan temannya.
Baik guru maupun orangtuanya menduga, Romeo mengalami gangguan kepribadian antisosial(Antisocial Personality Disorder). Hal itu membuat semua tindakannya cenderung melanggar aturan dan menerabas hak-hak orang lain.
Menurut Cleckley (1976), seseorang yang mengalami gangguan antisosial, akan mengabaikan norma dan konvensi sosial, impulsif, dan gagal membina hubungan interpersonal dan pekerjaan. Meski demikian, orang yang antisosial tetap bisa memiliki karisma dalam penampilannya dan memiliki kecerdasan rata-rata.
Ciri yang umumnya terungkap dalam pribadi yang antisosial; menurut Robins, Locke, dan Reiger (1991); yakni tingkat kecemasan yang rendah saat berhadapan dengan situasi yang mengancam, dan minimnya rasa bersalah atau menyesal atas perbuatannya yang keliru.
Hukuman pun relatif tak mempan dikenakan pada orang0orang seperti Romeo. Bila mereka telah menjalani hukuman, setelahnya mereka cenderung tetap tak bertanggung jawab dan impulsif.
Uniknya; masih menurut Robins, Locke dan Reiger; kaum Adam lebih sering didiagnosis mengalami kepribadian antisosial dibanding perempuan. Tingkat prevelensi dalam sampel komunitas berkisar antara 3 persen hingga 6 persen pada laki-laki, dan sekitar 1 persen pada perempuan.
Setiap orang dengan kepribadian antisosial membutuhkan penanganan yang berbeda-beda. Terapi juga perlu diberikan kepada orang tua dengan anak yang memiliki kepribadian antisosial. Alasannya, orangtua turut berkontribusi atas perilaku seorang anak.
Ingat, lingkungan pertama bagi seorang anak di dunia adalah keluarga. Bahkan, bila orangtua selalu memanjakan seorang anak yang membuatnya tak bisa memahami arti disiplin, hal ini pun turut mengantarnya menjadi seorang antisosial.
Seseorang yang mengalami gangguan kepribadian sering merasa depresi. Yang berpeluang untuk menekan perilaku antisosial adalah psikoterapi jangka panjang. Hal itu ditujukan untuk membantu pasien antisosial mengetahui dan memahami penyebab kecemasannya serta langgam perilakunya yang tak pantas. Bila pasien telah memahami penyebabnya, itu dapat menjadi landasan pengobatan berikutnya. [TYS]
..disadur dari Harian KOMPAS. Minggu, 1 Juli 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar