Ketika kita dihadapkan pada dua buah photo yang sama namun dalam kondisi yang berbeda, yang satu dibingkai dengan pigura yang rapi dan bagus, dan yang satu lagi tergeletak begitu saja tanpa dibingkai oleh pigura apapun, tentu yang kita rasa senang dan nikmat untuk dilihatnya adalah photo yang dibingkai dengan pigura.
Kita amat senang dengan sesuatu yang disimpan dalam pengemasan dan pembingkaian yang bagus. Kita juga amat senang apabila sesuatu yang kita cintai dan senangi itu disimpan dalam dalam tenpat yang tempat itu benar-benar bisa membingkai barang kesenangan kita dengan aman dan bagus.
Dengan kata lain, sebetulnya fungsi bingkai, pigura, atau batas sesuatu itu sebenarnya sudah menjadi naluri kita untuk disenangi. Sekarang bagaimana dengan aturan atau hukum yang sebetulnya juga pada hakikatnya adalah bingkai, pigura atau batas itu sendiri. bukankah pigura itu pembatas? bukankah bingkai itu pembatas? dan bukankah hukum juga pembatas? Tapi mengapa saat kita menyikapi antara pigura atau bingkai itu suka berbeda dengan cara sikap kita menerima hukum atau aturan?
Kita sering terjebak dalam memahami dan menyikapi sesuatu itu dengan apa yang kita terima kebaikannya dalam jangka waktu yang cepat, jangka waktu yang pendek, atau bahkan yang memberi kenikmatan pada individunya saat itu saja. Kita sering lupa dengan eksistensi sesuatu yang abadi atau hakiki yang sebetulnya sering datang tidak bisa langsung kita rasa efeknya seketika kita lakukan. Kita langsung menyikapi pigura itu indah, bingkai itu indah, karena mata kita mencerna secara cepat eksistensi dari bingkai dan pigura itu. Sementara pada hukum dan aturan, seringkali kita memandangnya sebagai kekangan yang suka membatasi dan membuat kita tidak bebas, sehingga hidup ini tidak merasa nyaman dengan adanya aturan. Padahal fungsi antara hukum dan pigura itu sama-sama membingkai dan membatasi sesuatu.
Karena kita sering menganggap aturan itu sebagai kekangan, pada akhirnya kita suka memaknai kebebasan itu adalah sesuatu yang betul-betul tidak ada aturan. Dengan sikap seperti itu pada akhirnya kita terjerembab dalam kesalahan besar, karena kebebasan sebenarnya terletak dalam aturan!! Analogi sederhananya adalah, mana ada jalanan yang aman jika di dalamnya tidak ada aturan rambu-rambu lalulintas? Sedikit saja lampu stopan itu macet, sudah berapa km jalanan macet. Bukankah macet itu mogog atau terkekang sehingga tidak bisa jalan? dengan stopan macet juga beberapa kendaraan yang datang dari beberapa arah mungkin akan lebih cepat bertabrakan.
Jadi nyatalah sekarang bahwa aturan itu adalah yang memberikan kebebasan, layaknya rambu-rambu lalulintas yang memberi kelancaran jalan. Aturan itu adalah yang memberikan keindahan seperti layaknya bingkai pigura pada halaman sesuatu. Dan jika kita menyikapi aturan layaknya sikap kita pada pigura atau bingkai yang menghiasi sesuatu, tentu sikap kita menerima aturan itu akan lebih senang dan bahagia, bukan dengan sikap menerima penuh rasa terpaksa.
Semoga dengan catatan ini sedikitnya bisa merobah sedikit-demi sedikit sikap pandang dan penerimaan kita pada hukum agama. Semoga menjalani hidup mentaati aturan Allah SWT. bisa secepatnya benar-benar terasa nikmat, bukan sengsara atau terpaksa.
Mari kita perjuangkan hidup ini dengan cinta. karena hanya dengan cinta, Halawatal iman (ni'matnya iman) dapat kita raih dan rasakan.
Wallahu a'lam bi sh-shawab.
By Area Dakwah Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar