Oleh: DR.dr.Tan Shot Yen,M.hum.
Di tahun baru, biasanya banyak orang menggunakan istilah ‘resolusi’
untuk hal-hal yang ‘belum ketemu solusi’nya di tahun yang lewat. Salah
satu resolusi yang menempati posisi terfavorit adalah urusan kesehatan.
Bahkan kaum hawa bisa lebih ekstrim lagi, resolusi
diet.
Pasien-pasien baru mengajukan diri dengan sederet janji dan keinginan mulai dari menurunkan berat badan hingga berhenti merokok.
Namun, yang teramat tragis justru malam tahun baru yang dilewatkan
dengan pesta melimpah ruah seakan-akan itu ucapan selamat tinggal untuk
terakhir kalinya menyicipi ‘makanan enak’.
Sesungguhnya, terlalu banyak hal yang harus diluruskan. Itu sebabnya
ceramah saya tidak mungkin berlangsung kurang dari satu jam.
Pertama, istilah resolusi atau niat atau komitmen atau apalah itu.
Saya paling tidak bisa terima suatu niat yang begitu bombastis seperti
mau makan gajah dalam satu kali suap.
Niat yang pada akhirnya sulit menemui kemenangan di waktu dekat
akhirnya luntur pelan-pelan. Seringnya, kelunturan niat tanpa sadar
merusak rasa percaya diri. Jadi alih-alih bicara soal resolusi, yang ada
justru destruksi masa depan.
Saya lebih menghargai niat kecil-kecil yang ‘
tangible’ alias
riil, terjangkau, masuk akal. Jadi ketimbang punya niat ingin menikah
di tahun 2017, mengapa tidak menjalin komunikasi bermutu dan saling
membangun harga diri dengan lawan jenis?
Ketimbang turun berat badan 20 kilo, mengapa tidak rutin bangun pagi
tepat waktu dan selalu sarapan bermutu? Justru kegemukan datang saat
sarapan dilangkahi dan begitu ada rapat di kantor kalap dengan semua
‘makanan kecil’ yang tersaji tapi berkalori tinggi yang mengerikan.
Kedua, sayang sekali jika kita ‘
saying goodbye’ ke semua makanan enak demi pengurangan bobot. Sebab, tidak semua makanan enak itu jahat kok.
Malahan, sekarang ini timbul keanehan. Banyak makanan yang tidak enak
diikhlaskan sebagai konsumsi sarapan pagi – yang menurut iklannya
digembar-gemborkan sebagai ‘makanan sehat buat
jantung dan
Kolesterol’ – padahal secara nutrisi tidak memberi imbangan gizi yang baik.
Bahkan, tidak memberi kombinasi yang baik bagi lambung yang masih
kosong, selain terisi asam lambung. Alat pencernaan saya pastinya lebih
bahagia diisi soto lamongan yang hangat, sedap dan fenomenal itu.
Kecenderungan meniru menu kebarat-baratan sudah waktunya perlu
menjadi keprihatinan para ahli gizi Indonesia. Teman-teman bule saya
justru merasa bersyukur bisa menikmati ‘mahzab’ baru dengan hadirnya sup
dan soto sebagai menu pagi hari.
Ketiga, menyitir Gerakan Masyarakat Sehat yang saat ini menjadi
program andalan Kementrian Kesehatan untuk mengentaskan Penyakit Tidak
Menular dengan menggiatkan konsumsi sayur dengan porsi yang benar, tentu
tidak mungkin terjadi jika kebiasaan lama tidak ada yang digeser.
Rekomendasi setengah kilo sayur per hari hanya akan mampu dihabiskan
jika karbohidrat berkalori tinggi dicoret dari asupan harian.
Sayangnya, bagi sebagian besar publik Indonesia, sayur masih hanya
sebagai ‘syarat’ saja. Seperti kelengkapan ‘sesajen’ dengan porsi nasi
putih yang tak bergeming ukurannya. Itu pun jika disurvey, kebanyakan
orang menjawab fungsi sayur hanya untuk kelancaran buang air besar.
Betapa nistanya.
Tidak heran sayur di Indonesia dimasak hingga kita hanya bisa
berharap kandungan seratnya . Tak heran pula, para ahli gizi Indonesia
masih sungkan menyebut sayur dan buah adalah karbohidrat.
Padahal, jika dikonsumsi dalam bentuk lalap dan sesuai jumlah yang
direkomendasikan dengan kaidah keberagaman, bukan hanya jumlah kalori
bisa tercapai, tapi kaitan pengentasan Penyakit Tidak Menular dengan
konsumsi sayur semakin jelas disebabkan polifenol, kandungan antioksidan
yang tidak hilang akibat proses memasak.
Karena itulah, Harvard School of Public Health dan negri-negri
pemakan lalap alias salads menyebut sayur dan buah adalah sumber
karbohidrat yang terbaik.
Keempat – nah ini yang justru paling penting. Pemahaman adanya
sabotase. Semua resolusi dan niat hancur berantakan bukan karena kita
tidak punya motivator, justru dengan hadirnya sabotase. Bisa berasal
dari orang lain, atau yang tersering – dari diri sendiri.
Menjalankan niat dengan istilah ‘harus begini, harus begitu’ semakin
membuat sabotase tumbuh subur. Karena orang hanya menjalankan apa yang
baginya penting, bukan harus.
Harus hanya menimbulkan kesengsaraan, kewajiban tak kunjung usai,
melelahkan. Seakan-akan terjadi penzoliman terhadap hasrat dan nafsu.
Padahal nafsu pun perlu dipelihara baik-baik, bahkan diberi jalan
keluar dan pilihan. Nafsu yang selalu dibendung tanpa pengarahan itulah
yang membuat sabotase mulai muncul.
Istilah ‘
cheating day’ atau ‘
weekend makan bebas’ biasanya muncul dari orang-orang yang sama sekali gagal paham tentang arti sehat dan makanan enak.
Pola makan sehat tidak terinkulturasi dengan gaya hidup, akibat
diet ngawur
yang tidak enak selama hari kerja. Atau pembiaran liarnya iklan
industri pangan sementara faedah sayur tetap saja dimengerti rakyat
sebagai pelancar buang air.
Jadi, membuat niat menjadi hasil, perlu artinya untuk menata
pemahaman, mencari sumber yang benar untuk tujuan-tujuan yang ingin
dicapai, menyusun strategi kemenangan harian, mengenali sabotase,
akhirnya menjadi jalan setapak menuju tujuan yang bisa jadi memberi
bonus kejutan sepanjang jalan setapak itu. Jauh lebih penting dari
sekadar motivasi.