Senin, 01 Agustus 2016

Gugurnya Iman ..

Tauhid adalah mengesakan Allah.
Tauhid adalah mengesakan Allah.
 
Oleh: KH Athian Ali Dai
Dalam pandangan Allah SWT, manusia itu pada dasarnya hanya terbagi kepada dua golongan, yakni Mukmin dan kafir. Hal tersebut telah ditegaskan-Nya di dalam Alquran. 

“Dan katakanlah: ‘Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir.’ Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka,” (QS al Kahfi [18]: 29).

Jika kemudian golongan Mukmin mempunyai beberapa tingkatan, seperti Muslim, Mukhlis, Muhsin, dan Muttaqin, maka golongan kafir pun demikian. Mereka memiliki banyak varian. Sebut saja mulhid (ateis), musyrik (penyekutu Allah), dan munafik (pura-pura beriman).

Lalu bagaimana halnya dengan orang yang hanya mengimani Allah pada sebagian urusan, sedangkan pada sebagaian urusan lainnya dia mengingkari-Nya? Dalam padangan Allah, orang semacam ini tetap masuk dalam golongan kafir.

Jadi, tidak ada istilahnya orang setengah Mukmin dan setengah kafir. Kalau tidak Mukmin, maka dia adalah kafir.

Pembaca tentu masih ingat kisah tentang Iblis. Siapa yang berani meragukan keimanan makhluk yang satu ini? Dia pernah berjumpa dan berdialog langsung dengan Allah SWT. Dia tahu betul Allah itu tidak mempunyai anak.

Dia juga mengakui Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang layak disembah. Bahkan menurut Imam al-Ghazali, sebelum kemunculan Adam AS, Iblis sudah hidup dalam keimanan selama 80 ribu tahun.

Lalu mengapa Allah kemudian melaknat Iblis? Itu hanya karena dia menolak satu aturan Tuhan. Dia tidak mau mengakui kemuliaan yang diberikan Allah kepada Adam. Pada poin tersebut, Iblis menilai Allah telah salah menempatkan dirinya di bawah manusia.

Itulah yang menjadikan Iblis kafir di mata Allah. Meskipun dia tetap mengakui Allah sebagai Tuhan yang menciptakan alam semesta, namun keimanannya telah digugurkan oleh keangkuhannya. Kelak, ia kekal berada di neraka. Naudzublillaahi min dzaalik.

Kisah Iblis di atas secara jelas menunjukkan kepada kita bahwa mengimani Allah tidak boleh sepotong-sepotong. Seperti yang terjadi pada Ahmadiyah misalnya. Di satu sisi mereka percaya dengan keesaan Allah, namun di sisi lainnya mereka mengingkari ayat Allah yang menyatakan Muhammad SAW adalah nabi dan rasul terakhir.

Begitu pula halnya dengan kaum Syiah. Mereka mengaku beriman kepada Allah dan Nabi Muhammad. Namun, mereka justru mengingkari Alquran sebagai kitab suci yang kesuciannya selalu dijaga oleh Allah SWT.

Pengingkaran-pengingkaran semacam itu tentu saja secara otomatis telah menggugurkan keimanan mereka kepada Allah SWT. Tiket menuju surga yang seharusnya sudah mereka miliki (dengan bersyahadat), menjadi tidak berlaku lagi. Dengan kata lain, mereka berada di luar golongan orang-orang Mukmin.

Mengikuti Aturan Allah ..

Shalat adalah salah satu bentuk ketaatan pada aturan Allah.
Shalat adalah salah satu bentuk ketaatan pada aturan Allah.

 Oleh: KH Athian Ali Dai
Pada tulisan sebelumnya telah dipaparkan bahwa mengimani Allah tidak boleh sepotong-sepotong. Karena itu, seseorang baru bisa dikatakan beriman jika dia telah menerima semua aturan Allah sebagai kebenaran mutlak, tanpa pengecualian.

Pada zaman dahulu, Bani Israil telah menyaksikan langsung tanda-tanda kebenaran Allah SWT. Salah satunya adalah dengan mencicipi lezatnya hidangan surga yang diturunkan Allah ke bumi untuk mereka.

Bahkan, mereka pernah pula diizinkan untuk mendengarkan suara Allah tatkala berfirman kepada Nabi Musa AS.

Akan tetapi apa yang terjadi dengan Bani Israil? Mereka tetap saja ingkar kepada Allah. "Kami hanya akan mengikuti aturan-aturan Allah selama hal itu sejalan dengan hawa nafsu kami. Sementara, jika aturan itu bertentangan dengan nafsu kami, maka kami tidak bisa menerimanya," begitu kata mereka kepada Nabi Musa AS.

Hal ini membuat Allah murka, sehingga turunlah QS Al Baqarah ayat 85. "Apakah kamu beriman kepada sebagian Alkitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat."

Penggalan ayat di atas secara tegas mengingatkan kepada kita bahwa mengimani Allah berarti menerima sepenuhnya aturan-aturan-Nya. Jika ada satu saja aturan Allah yang kita tolak kebenarannya, maka alamat kita telah keluar dari golongan orang-orang beriman. Naudzubillahi min dzalik.

Sebagai contoh, jika seorang Muslim yang meninggalkan shalat fardhu karena malas, tapi di dalam hati dan ucapannya tetap mengakui ibadah itu sebagai aturan yang benar, maka dia masih disebut orang yang beriman.

Kita tidak bisa menghukumnya sebagai orang kafir. Meskipun demikian, orang tersebut tentu saja akan menanggung dosa lantaran melanggar perintah Allah. Karena, sejatinya Muslim itu tidak boleh meninggalkan shalat.

Lain halnya dengan orang yang mengaku Muslim, tapi meninggalkan shalat fardhu karena menganggap perintah Allah itu tidak benar. Orang semacam ini sesungguhnya bukan bagian dari golongan Mukminin.

Begitu pula dengan mereka yang mengaku beriman, tapi secara terang-terangan malah menyangkal kebenaran aturan Allah yang terdapat di dalam Alquran dan Hadis. Orang-orang seperti ini jelas sesat dan menyesatkan.

Di Indonesia, jumlah kelompok pengusung paham menyimpang seperti mereka amatlah banyak jumlahnya. Karena itu, sebagai umat Muslim, kita mesti berhati-hati agar pemahaman mereka tidak merusak akidah kita.

Maraknya Kejahatan Pertanda Lemahnya Iman ..

Para pelaku kejahatan saat ditangkap aparat keamanan (ilustrasi). 

Oleh: KH Athian Ali Dai
Salah satu misi risalah Islam yang diemban Nabi Muhammad SAW adalah menyempurnakan akhlak manusia. Baik itu akhlak kepada Allah SWT, diri sendiri, orang lain, maupun akhlak terhadap lingkungan.

Karena itulah, Allah membimbing Rasululllah agar ‘memanusiakan’ kembali masyarakat jahiliyah yang sudah luar biasa rusak moralnya.

Untuk mencapai misi tersebut, hal pertama yang dilakukan Rasulullah adalah menanamkan prinsip-prinsip akidah Islam kepada umatnya. Lebih dari separuh periode risalah beliau dihabiskan untuk dakwah tauhid ini saja.

Hasilnya, para sahabat yang hidup pada zaman itu mampu meraih taraf keimanan yang tinggi, sehingga mereka pun mencintai Allah dan rasul-Nya di atas segala-galanya.

Dari situ kita jadi tahu, akidah yang kuat menjadi pondasi utama dalam membentuk akhlak Mukmin. Seorang yang benar-benar beriman akan mencintai apa pun yang dicintai Allah. Dia pun akan melakukan hal-hal yang diridhai Allah saja dan menjauhi segala perbuatan yang dimurkai Tuhannya.

Rasulullah pernah bersabda, “Tidak akan pernah berzina seorang pezina kalau dia dalam keadaan beriman. Tidak akan pernah mencuri seorang pencuri kalau dia dalam keadaan beriman. Tidak akan minum khamar pula seorang peminum khamar jika dia dalam keadaan beriman.” (HR Bukhari).

Dalam riwayat lainnya, “Iman itu laksana pakaian yang Allah kenakan kepada hamba-Nya. Bila seorang berzina, maka lepaslah pakaian tersebut. Bila dia bertobat, maka dikembalikan lagi pakaiannya.” (HR Baihaqi).

Pada dua hadis di atas, Rasulullah telah menafikan maksiat bisa menyatu dengan keimanan. Jadi, tidak mungkin seseorang mengaku beriman, jika pada saat yang sama dia melakukan hal-hal yang dilaknat Allah. Jika seorang Mukmin melakukan maksiat, maka berarti ketika itu dia tengah mengalami krisis keimanan yang luar biasa.

Kondisi inilah yang sedang dihadapi masyarakat kita sekarang. Dalam berbagai pemberitaan akhir-akhir ini, kita mendengar kejahatan seksual marak terjadi di mana-mana. Termasuk di antaranya kasus pelecehan, perkosaan, incest, hingga paedofil (berhubungan badan dengan anak-anak).

Bahkan, menurut sebuah catatan, ada satu pelaku sodomi di Sukabumi yang diperkirakan sudah ‘memangsa’ lebih dari seratus bocah. Ini sangat mengerikan!

Perbuatan keji di atas hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak beriman. Akhlak mereka bahkan lebih rendah dari hewan. Ayam jantan saja tidak akan mau menggauli anak ayam yang masih kecil. Pun, kucing dewasa enggan melakukan hubungan badan dengan anak kucing. Masihkah layak mereka disebut manusia yang beriman?

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS al-A’raf: 179).

Pembaca yang budiman, berbagai kejahatan seksual dan akhlak buruk yang merebak belakangan ini berawal dari lemahnya akidah umat. Sayangnya, dakwah yang ada saat ini masih jarang sekali menyasar ke arah pembenahan akidah seperti yang telah diajarkan Rasulullah SAW dan para sahabat.

Hubbud Dunya ..

Cinta dunia.
Cinta dunia.

 Oleh: KH Athian Ali Dai
Salah satu hal yang paling dirisaukan oleh Rasulullah SAW adalah ketika umat Islam sudah terjebak ke dalam cinta berlebih-lebihan kepada dunia. Dalam kamus Islam, kondisi ini dikenal dengan istilah hubbud dunya atau gila dunia.

Hubbud dunya adalah sumber kehancuran umat. Penyakit ini sangat berbahaya karena dapat melemahkan dan menggerus keimanan seseorang kepada Allah SWT.

Rasulullah bersabda, “Demi Allah, bukan kemiskinan yang aku khawatirkan akan menimpa diri kalian. Akan tetapi, aku khawatir jika dunia ini dibentangkan untuk kalian sebagaimana ia dibentangkan untuk orang-orang sebelum kalian sehingga kalian berlomba sebagaimana mereka berlomba, dan akhirnya kalian hancur sebagaimana mereka hancur.” (HR Bukhari-Muslim)

Ketika seorang Muslim sudah menjadikan dunia ini sebagai tujuannya, maka itu alamat dia telah terjebak dalam hubbud dunya. Padahal, dalam prinsip akidah Mukmin, dunia ini bukanlah tujuan. Melainkan hanya alat untuk mencapai kebahagiaan di akhirat kelak.

Dalam Alquran Allah SWT berfirman, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS al-Qashash: 77)

Ketika seseorang menjadikan dunia ini sebagai tujuan, maka cintanya kepada dunia akan melebihi cintanya kepada Allah. Dia bakal lalai mengingat Allah. Sebagai konsekuensinya, dia akan mudah tergelincir ke dalam pusaran dosa. Dia juga tidak siap menjalani hidup dengan cara-cara yang diridhai Allah.

Mungkin kita pernah mendengar ada orang yang sampai menghalalkan segala cara demi memperoleh kenikmatan duniawi. Mulai dari merampok, mencuri, membunuh, korupsi, atau juga mengejar jabatan tertentu lewat jalan yang dilaknat Allah.

Mengapa mereka mau melakukan semua perbuatan jahat itu? Itu karena mereka sudah terjebak ke dalam hubbud dunya, sehingga  mereka pun lupa akan adanya kehidupan setelah kematian. Mereka tidak ingat, setiap perbuatan mereka di alam fana ini akan dipertanggungjawabakan di akhirat kelak.

Orang-orang yang gila dunia juga tidak akan pernah siap menghadapi musibah. Jika mereka kehilangan harta sedikit saja, maka mereka akan menyesalinya sejadi-jadinya. Jika mereka gagal meraih sesuatu, maka mereka akan menjadi stres atau bahkan sakit jiwa.

Yang lebih berbahaya lagi, mereka yang begitu mencintai dunia juga akan mudah goyah imannya. Mereka bahkan tak segan-segan lagi menjual agama demi memenuhi hawa nafsu bejat mereka.

Sebagai seorang Mukmin, apa yang mesti kita lakukan agar terhindar dari penyakit ini? Tentunya kita harus senantiasa memantapkan akidah. Salah satunya adalah dengan memperbanyak mengingat kematian. Orang yang rajin mengingat mati, insya Allah akan mampu memelihara hatinya dari hubbud dunya.

Tauhid, Pohon Kehidupan Manusia ..

Tauhid memiliki makna mengesakan Allah SWT.
Tauhid memiliki makna mengesakan Allah SWT.

 Oleh: KH Athian Ali Dai
Secara etimologis, tauhid berarti keesaan. Tauhid memiliki makna mengesakan Allah SWT.  Dalam surah Ibrahim ayat 24-25, tauhid digambarkan seperti sebuah pohon.

“Tidakkah kamu perhatikan bagaimna Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.”

Dari ayat di atas, dapat ditafsirkan pohon sebagai manusia. Akar yang merupakan sumber dari hidupnya pohon menggambarkan tauhid atau keyakinannya terhadap Sang Pencipta. Akar yang menjadikan sebuah pohon menjulang ke atas dengan kokohnya. Sehingga tumbuhlah batang, ranting, daun dan buah. Apabila akarnya tumbuh dengan baik, tentu akan menghasilkan dahan, ranting, daun hingga buah yang baik. Begitu juga sebaliknya.

Seperti yang telah digambarkan, akar yang baik akan menghasilkan tumbuhan yang baik. Begitu juga dengan tauhid. Seseorang mengesakan Allah dengn baik akan menjadi pribadi yang baik. Berwibawa, bijaksana, saleh dan yang lainnya.

Hubungan yang baik antara manusia dengan Tuhannya dipastikan hubungannya dengan sesama mahkluk Tuhan akan baik pula. Pun sebaliknya. Akidah seseorang yang lemah imannya akan berdampak pada perilakunya terhadap sesama mahkluk Tuhan. Oleh karena itu, sangatlah penting mempertahankan akidah dalam diri.

“Maka hadapkanlah wajahmu dengn lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahana pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS ar-Rum: 30)

Kalimat tauhid “La ilaha illallah” diibaratkan tiket masuk surga Allah. Setiap orang yang meninggal dalam keadaan mempertahankan akidahnya, bisa langsung mendapat tiket masuk surga Allah secara cuma-cuma.

Namun, mendapatkan tiket surga bukan berarti bisa langsung masuk surga Allah. Jika memiliki amal yang terdapat dalam kitab Allah lebih berat dari dosa, maka bisa langsung masuk surga Allah. Bila sebaliknya, maka sebelum masuk surga, harus menikmati neraka Allah sebelum masuk surga.

“Orang-orang yang kafir dari golongan ahli kitab dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan (agama mereka) sampai datang kepada mereka bukti yang nyata … sungguh, orang-orang kafir dari golongan ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Mereka itu adalah sejahat-jahat mahkluk.” (QS al-Bayyinah: 1 dan 6)

Dari sini kita memahami pinsip tauhid yang berangkat dari cara mempertahankan akidah yang diyakini. Seseorang akan selamat dari api neraka ketika memiliki akidah yang kuat dan menjadikan dirinya hamba Allah. Hamba yang senantiasa melakukan segala hal hanya karena mengharap ridha Allah.

Tujuh Penyebab Penyimpangan Akidah Masa Kini ..

Kajian keagamaan merupakan salah satu cara membentengi akidah umat (ilustrasi).

Ketua Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI), KH Athian Ali mengatakan, seorang yang tidak memiliki akidah secara benar sangat rawan termakan oleh berbagai macam keraguan dan kerancuan pemikiran. Menurut Athian, bila sudah putus asa, manusia yang lemah akidahnya mudah memutuskan untuk mengakhiri hidupnya ataupun keluar dari ajaran agama Islam.

Athian menjelaskan bahwa ada tujuh faktor yang menyebabkan terjadinya penyimpangan akidah pada masa kini.
Pertama, kurangnya mengkaji ilmu tentang agama Islam, seperti saat sebuah masyarakat yang tidak dibangun di atas fondasi akidah yang benar akan sangat rawan terbius berbagai kotoran materialisme. Sehingga menurut Athian, mereka malas ketika diajak untuk melakukan kajian-kajian tentang ilmu Islam yang baik dan benar.
Kedua, Ta'ashshub atau fanatik terhadap nenek moyang dan tetap mempertahankannya meskipun hal tersebut termasuk kebatilan.
Ketiga, Taklid buta atau mengikuti tanpa landasan dalil. Dalam hal ini, Athian menjelaskan perkara tersebut terjadi dengan mengambil pendapat-pendapat orang dalam permasalahan akidah tanpa mengetahui landasan dalil dan kebenarannya.

"Banyak kelompok-kelompok yang kini menjadi aliran sesat karena kurang pahamnnya terhadap dalil dan kebenaran yang sebenarnya," kata Athian kepada ROL, Selasa (16/12).

Keempat, Athian mengungkapkan banyak dari umat Islam yang berlebihan dalam menghormati para wali dan orang-orang saleh.  "Mereka mengangkatnya melebihi kedudukannya sebagai manusia," ujar Athian.

Athian menjelaskan dalam perkara kelima, manusia lalai dalam merenungkan ayat-ayat Allah, baik dari ayat kauniyah maupun qur'aniyah. Menurut Athian, hal tersebut terjadi karena manusia terlalu mengagumi perkembangan kebudayaan materialistik yang digembor-gemborkan oleh orang barat.
"Mereka berpikir kecanggihan dan kekayaan materi adalah ukuran kehebatan, sampai mereka terheran-heran atas kecerdasan mereka," kata Athian.


Keenam, Athian mengatakan kebanyakan rumah tangga telah kehilangan bimbingan agama yang benar. Padahal menurutnya, peranan orang tua sebagai pembina putra-putrinya sangatlah besar. Athian mengatakan bahwa tersebut telah tertera dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW. "setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanyalah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi." (HR.Bukhari)

Athian mengatakan, faktor terakhir terjadinya penyimpangan akidah yaitu kebanyakan media informasi dan penyiaran yang lalai dalam menjalankan tugas pentingnnya sebagai pemberi informasi yang mendidik. Menurut Athian, sebagian besar siaran dan acara yang mereka tampilkan tidak memperhatikan aturan agama.

"Sarana tersebut menjadi perusak generasi umat Islam," kata Athian.

Ini Tiga Perkara Penguat Akidah ..

Kajian keagamaan merupakan salah satu cara membentengi akidah umat (ilustrasi).

Akidah merupakan jantung dari keimanan setiap Muslim. Karena itu, para utusan-Nya  sangat memperhatikan akidah sebagai prioritas utama mereka dalam berdakwah.

Ketua Forum Ulama Umat Islam (FUUI) Athian Ali mengatakan, ada tiga perkara akidah yang harus diamalkan oleh umat Muslim. Perkara pertama, mengesakan Allah dalam Rububiyah-Nya.

Athian menjelaskan Rububiyah berarti mentauhidkan Allah dalam segala kejadian yang hanya bisa dilakukan oleh Allah. Selain itu, umat Muslim harus menyatakan dengan tegas bahwa Allah SWT adalah Rabb dan Pencipta semua mahluk dan Allahlah yang mengatur dan mengubah segala keadaan di muka bumi ini.

"Meyakini dan mengakui bahwa segala yang ada di muka bumi ini adalah ciptaan-Nya," kata Athian kepada ROL, Ahad (21/12).

Kedua, mengesakan Allah dalam uluhiyah. Menurut Athian, uluhiyah berarti mengesakan Allah dalam segala macam ibadah seperti salat, doa, menyembelih hewan kurban, tawakal, taubat dan sebagainya.  "Uluhiyah merupakan inti dakwah para Rasul dan merupakan tauhid yang diingkari oleh kaum musyirikin Quraisy," ujar Athian.

Terakhir, Athian mengatakan umat Muslim harus beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah yang telah diterangkan dalam Alquran dan Sunnah Rasulullah.  "Dialah Allah yang menciptakan, yang mengadakan, yang membentuk rupa, hanya bagi Dialah Asmaaul Husna." (Q.S Al-Hasyr:24)

Menurut Athian, seseorang baru dapat dikatakan seorang Muslim yang tulen bila telah mengesakan Allah dan tidak berbuat syirik dalam ketiga hal tersebut.

Hadapi Bencana, Setiap Muslim Diminta Pegang Teguh Akidah ..

 Kondisi tanah longsor di kawasan dataran tinggi Dieng, Banjarnegara, Jateng, Selasa (16/12).   (Antara/Anis Efizudin)

Musibah merupakan bagian dari kenikmatan bagi Muslim yang kuat akidahnya. ini karena, mereka meyakini ada hikmah dibalik  semua hal tersebut.

"Kita harus yakin bahwa Allah senantiasa ada dalam kehidupan ini," kata Ketua Forum Ulama Umat Islam (FUUI) Athian Ali kepada ROL, Ahad, (21/12).

Athian mengatakan, musibah tidak hanya datang dalam bentuk kesusahan atau penderitaan. Menurutnya, musibah juga identik dengan hal yang menyenangkan dan membahagiakan. "Seorang Muslim harus dapat bersikap arif dan bijak dalam menghadapi segala bentuk ujian tersebut," ujar Athian.

Masyarakat di Indonesia kini tengah dilanda berbagai musibah dan bencana. Athian berharap umat Muslim bersabar dan berpegang teguh pada akidah serta keyakinan mereka kepada Allah. Menurut Athian, sebagian orang hanya melihat sebab-sebab lahiriah dari satu musibah tanpa sedikit pun ingat bahwa sebab terbesar dari musibah adalah amal perbuatan manusia.

Athian mengatakan hal tersebut juga telah dijelaskan dalam firman Allah, "Musibah apa pun yang menimpa kalian adalah karena perbuatan tangan kalian dan Allah memaafkan banyak kesalahan kalian." (asy-Syura:30)

Terakhir, Athian mengingatkan sekuat apa pun satu negara di dunia ini niscaya akan hancur dengan azab Allah ketika mereka melupakan dan mendurhakannya.

Akidah Fondasi Bangsa Indonesia Hadapi Globalisasi ..

Kajian keagamaan merupakan salah satu cara membentengi akidah umat (ilustrasi).

Akidah merupakan fondasi utama Bangsa Indonesia menghadapi era globalisasi. Akidah, terutama sangat penting bagi kaum muda, sebagai golongan yang rentan tergoda oleh bujuk rayu ideologi dan gaya hidup yang merugikan.

Hal itu disampaikan Wakil Gubernur Jawa Timur Syaifullah Yusuf saat membuka Diklat Kader Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) di Surabaya, Sabtu (21/2).

“Dengan akidah hidup seseorang tidak akan mudah terombang-ambing oleh keadaan. Disamping itu akidah ibarat kompas dalam hidup kita yang mampu menunjukkan arah yang benar saat kita kebingungan,” ujar Gus Ipul, sapaan lekat Wagub Jatim.

Gus Ipul mengungkap data dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), hampir 800 orang bunuh diri setiap tahun. Kecenderungan tersebut, menurut Saifullah bahkan cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Dari 800 orang tersebut, menurut dia, di antaranya justru banyak orang kaya, pandai, dan dari keturunan orang berada.

“Baru-baru ini aktor luar negeri yang sangat terkenal Robin Williams juga ditemukan tewas bunuh diri. Itulah pentingnya akidah atau iman agar kita tidak mudah putus asa,” ujar dia.

Selain akidah atau iman, menurut Saifullah, ilmu juga menjadi bagian penting dalam menghadapi era globalisasi. Karena iman tanpa diimbangi dengan ilmu, menurut dia, maka tidak akan ada gunanya, dan ilmu juga untuk mengasah kecerdasan. Ia menegaskan, jika iman mengasah hati setiap orang maka ilmu lah yang menyempurnakannya dengan memaksimalkan fungsi kerja otak.

Yang terakhir, menurut Saifullah, untuk menjadi pemenang di era globlisasi dibutuhkan ketrampilan. Di negara-negara maju 70 persen mayoritas pendidikan mengedepankan ketrampilan, sesuai dengan bakat yang didmiliki masing-masing anak. Hal itu terbukti berhasil karena setiap anak sangat menikmati proses belajar yang berlangsung, dan proses belajar mengajar pun menjadi menyenangkan.

“Di Indonesia proses belajar masih mengedepankan ilmu sains, karenanya secara bertahap kita perlu merubah dengan memperbanyak penerapan ilmu atau ketrampilan,” kata Saifullah.

Alquran Sebagai Pembeda ..

Pengenalan baca Alquran di Bundaran HI HI, Jakarta Pusat, Ahad (4/12).
 
Ketua Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS) KH. Athian Ali mengatakan, remaja harus dibentengi akidahnya sebab remaja suka mencari dan mencoba segala sesuatu yang baru. Padahal saat ini jeratan aliran sesat mengintai di mana-mana.

Remaja banyak yang kurang memahami soal aliran sesat. "Memang ada kelemahan dalam dakwah selama ini yang  hanya seputar Alquran sebagai  al-Huda atau petunjuk padahal Alquran juga berfungsi sebagai  pembeda," kata Athian, Senin, (23/2).

Alquran sebagai pembeda ini untuk menunjukkan antara  yang  hak dengan yang bathil, haram dengan halal, juga yang benar maupun yang sesat. "Alquran sebagai pembeda belum disampaikan secara menyeluruh," kata dia.

Agar remaja maupun anak-anak tidak terjerat aliran sesat, gerakan muslimat ANNAS sedang melakukan pendekatan kepada pemerintah agar guru-guru agama dibekali dan diberi training untuk mengajarkan murid-muridnya agar mereka terhindar dari aliran sesat. Sebab saat ini di Indonesia terdapat  ratusan aliran sesat meski ada yang sudah tidak aktif

Fitrah Iman dan Islam (Habis) ..

Janin dalam rahim (ilustrasi).
Janin dalam rahim (ilustrasi).
 
Oleh: KH Athian Ali

Adapun bentuk pengenalan atau keyakinan yang kedua adalah melalui hubungan antara kita dengan sesuatu yang ada di dalam diri kita sendiri. Seperti halnya kita merasakan sedih, gelisah, resah, bahagia atau gembira yang tidak dapat dibuktikan keberadaannya dalam diri kita.

Betapa sulitnya kita untuk mengungkapkan sesuatu yang ada di dalam diri kita, karena ini semua di luar jangkauan akal kita. Maka dari itu, ketika kita berbicara masalah keimanan masuklah kita pada bentuk pengenalan yang pertama. Untuk itu, jangan kemudian kita menuntut bukti keberadaan Allah dengan bukti indra, seperti kesalahan kaum Nabi Musa tempo dulu.

Pertanyaannya, dari mana proses hadirnya keimanan dalam diri kita? Jawabannya, dalam QS. Al-A’araaf ayat 172 Allah SWT menjelaskan, sebelum Allah SWT menciptakan manusia lengkap roh dan jasadnya, terlebih dahulu Allah SWT menciptakan roh seluruh manusia dari manusia pertama (Adam) hingga manusia terakhir yang akan lahir menjelang kiamat nanti.

Kepada seluruh roh manusia, Allah SWT mengambil penyaksian (syahadat) dengan pertanyaa-Nya: a lastu birrabbikum? (bukankah Aku ini Rabb kalian?), serempak roh seluruh manusia pada saat itu bersyahadat dengan menyatakan, “balaa syahidnaa” (Benar Engkau adalah Rabb kami, kami menyaksikan).
Setelah semua roh manusia bersyahadat di alam roh/azali, barulah Allah SWT menciptakan jasad manusia pertama Adam dari tanah dan kemudian ditiupkanlah melalui Malaikat roh Adam ke dalam jasadnya. Jadilah Adam manusia pertama yang lengkap roh dan jasadnya.

Setelah itu diciptakanlah jasad Siti Hawa dari tulang rusuk Adam dan ditiupkan pula roh ke dalam jasad tersebut. Jadilah Adam dan Siti Hawa manusia pertama dan kedua yang akan mengisi kehidupan sebagai Khalifah Allah di alam dunia (QS. Al Baqarah,2:30).

Selanjutnya jasad manusia setelah Adam dan Siti Hawa tidak lagi diciptakan dari tanah, melainkan melalui pertemuan spermatozoa suami dengan zat telur (istri) yang berproses dari nuftah (cairan mani) menjadi ‘alaqah (gumpalan darah) lalu menjadi mudghah (gumpalan daging).

Pada usia janin antara 90 hari atau 3 bulan (HR. Muslim) dan 120 hari atau 4 bulan (HR. Bukhari), ditiupkanlah melalui Malaikat roh yang telah bersyahadat ke dalam rahim. Pada usia kurang lebih 7-9 bulan lahirlah ke alam dunia yang disambut hadits, “Setiap anak manusia lahir dalam keadaan fitrah”.
Dasar inilah yang mengantarkan para ulama terkemuka semisal Al Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah dalam Miftahud Daarus Sa’aadah, Ibnu Khaldun dalam Mukadimah, Ibnu Mukawaih dalam Tahziibul Akhlak, dan ulama-ulama terkemuka lainnya sepakat menyatakan, “fitrah” yang imaksud dalam hadits tersebut adalah fitrah iman (QS. Al-Araaf, 7:172) dan fitrah Islam, :”fithratallaahil latii fatharan naasa ‘alaihaa” (QS. Ar-Rum,30:30) yakni suci dari kekufuran, kemusyrikan dan kemunafiikan serta suci dari dosa dan kesalahan.

Oleh karena itu, Islam tidak mengenal apa yang dinamakan dengan “dosa waris” sebagaimana kepercayaan-kepercayaan lain yang sesat dan menyesatkan.

Dengan kata lain, setiap manusia yang lahir ke alam dunia adalah sudah muslim karena sudah bersyahadat pada saat rohnya di alam azali yang telah diambil penyaksiannya. Kendati anak manusia itu lahir dari rahim seorang ibu yang kafir sekali pun.

Itulah sebabnya tidak kita temukan syariat yang mengajarkan upacara pengislaman bayi yang baru lahir atau setelah dewasa. Namun, sebagaimana kita tahu yang dinyatakan dalam lanjutan hadits di atas, kedua orangtuanya dan lingkungan bisa saja mengubah fitrah iman dan Islam seseorang menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.

Dengan demikian, tidak perlu bersyahadat lagi dalam pengertian pernyataan masuk Islam bagi setiap anak yang lahir dan berkembang dalam keimanan dan keislamannya. Bersyahadat dalam pengertian masuk Islam hanya diharuskan bagi seseorang yang telah menyimpang dari fitrah iman dan Islamnua menjadi kafir dan yang bersangkutan bermaksud kembali kepada Islam.

Layaklah kiranya timbul pertanyaan dalam diri kita, kenapa Allah SWT bertanya kepada semua roh manusia di alan azali dengan pertanyaan, a lastu bi rabbikum, bukan a lastu bi ilahikum? Jawabnya, karena pada waktu itu roh manusia belum diperintahkan untuk mengabdi.

Kita hanya diminta penyaksian, maka dari itu jawaban kita pada waktu itu pun, qaalu balla syahidnaa (Benar Engkau adalah Rabb kami, kami bersaksi), bukan kami mengabdi, karena pada saat itu manusia belum dituntut pengabdian. Rabb, dalam pengertiannya DIA sebagai Pencipta, pemelihara, pendidik. Sedangkan Ilah, sudah menggandung arti bahwa DIA sebagai Dzat tempat kita mengabdi.

Menjaga Fitrah Iman dan Islam ..

Oleh: KH Athian Ali

Setelah kita mengetahui dan memahami hadits Nabi SAW yang menyatakan bahwa, “Setiap anak manusia yang lahir itu dalam keadaan fitrah, kedua orangtua dan lingkungannya bisa saja mengubah fitrah iman dan Islamnya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi”, keadaan fitrah iman dan Islam dalam artian suci dari dosa dan kesalahan, suci dari kekufuran dan kemusyrikan, tapi ternyata dalam proses perjalanan hidupnya mengalami perubahan yang sangat menyimpang dari fitrah-Nya.

Pertanyaannya, adakah andil kita dalam proses perubahan tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini hendaknya kita mau mencoba introspeksi diri kita masing-masing, sudah sejauhman kita berupaya secara optimal untuk membentengi fitrah iman dan Islam anak-anak kita dari faktor-faktor luar yang bisa merusak fitrah tersebut.

Paling tidak, ada beberapa faktor luar yang mesti kita waspadai dalam menjaga fitrah iman dan Islam generasi penerus kita.

Pertama, yang perlu kita waspadai adanya sebuah pemahaman manusia yang mutlak men-Tuhankan akalnya. Inilah banyaknya kesesatan manusia manakala manusia menempatkan akal sebagai tuhannya. Kesesatan yang dilakukan manusia di antaranya dengan akalnya manusia mencoba mengenal siapa zat Allah hingga mencoba ingin mengetahui segala apa yang diinginkan Allah terhadap dirinya.

Bagaimana mungkin manusia akan mengetahui siapa itu Allah bila manusianya itu sendiri tidak memahami atau mengetahui agama? Padahal, fungsi agama atau “ad-diin” yang Allah turunkan kepada manusia tiada lain di antaranya untuk membimbing indra, akal dan nafsu manusia agat bias kembali kepada fitrah iman dan Islamnya.

Oleh karena itu, sejak pertama Allah menciptakan manusia sudah memberikan hidayah. Hidayah dalam arti petunjuk dari Allah SWT dalam memperkenalkan siapa sesungguhnya Allah SWT, apa yang Allah inginkan dari kita untuk melakukannya. Maka, dalam diin inilah semua manusia akan mengetahui tentang segala perintah dan larangan-Nya.

Kedua, adanya pemahaman bahwa Allah SWT menurunkan agama lebih dari satu yang berbeda-beda. Seperti halnya terjadinya proses pendangkalan akidah melalui jalur pendidikan anak-anak kita di sekolah-sekolah yang menyebutkan bahwa di negeri ini ada enam agama.
Dikenalkan dan ditanamkan pemahaman kepada anak-anak didik di sekolah, bahwa keenam agama tersebut adalah baik dan benar. Hal ini yang sangat perlu untuk segera diluruskan, bahwa Allah SWT tidak pernah menurunkan agama lebih dari satu, yakni Islam.

Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam” (QS. Ali Imran, 3:19). Lebih dipertegas lagi lewat firman-Nya: “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (QS. Ali Imran, 3:85).

Sungguh tidak masuk akal sehat, jika Allah SWT yang Esa, yang hanya “satu-satunya” lalu menurunkan agama yang berbeda. Padahal, Allah SWT justru memerintahkan kita untuk menggunakan akal. Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi? Kalau agama kita terjemahkan sebagai “ad-diin”, maka sebagai seorang muslim kita wajib mengatakan bahwa tidak ada agama selain Islam.

Agama yang Allah turunkan melalui para nabi dan berbagai macam kitab itu tiada lain adalah Islam. Paling tidak, ada dua puluh lima rasul yang kita kenal dengan membawa ajaran Islam. Semua ajaran yang telah diturunkan-Nya mulai dari Nabi Adam AS hingga Nabi Muhammad SAW melalui dua puluh lima rasul dan kitab suci-Nya, yakni Kitab Taurat, Zabur, Injil dan Al Qur’an semua ajarannya adalah Islam yang dalam sisi aqidahnya sama sekali tidak ada perubahan.

Ketiga, munculnya pemahaman adanya dosa waris di kalangan masyarakat yang dikenal di antaranya dengan isitlah “anak haram”. Padahal, kalau kita merujuk kepada hadits Nabi, bahwa siapa pun ibu yang melahirkan, maka anak yang dilahirkannya tetap dalam keadaan suci. Jadi, kalau ada seorang ibu Atheis, misalnya, lalu bayinya kita ambil maka tidak perlu ada pengislaman.

The World Its Mine