Rabu, 06 April 2016

Mengikat Kata dengan Amal ..

Oleh Aris Sholikah

''Nanti pada hari kiamat ada seseorang yang didatangkan kemudian dilemparkan ke dalam neraka, maka keluarlah usus perutnya dan beputar-putar di dalam neraka sebagaimana berputarnya kedelai yang sedang berada dalam penggilingan.

Lantas, para penghuni neraka berkumpul seraya berkata, ''Wahai Fulan, mengapa Anda seperti itu? Bukankah Anda dulu menyuruh untuk berbuat baik dan melarang berbuat mungkar?' Ia pun segera menjawab, ''Benar, saya dulu menyuruh untuk berbuat baik, tapi saya sendiri tidak mengerjakannya dan saya melarang dari perbuatan mungkar, tapi saya sendiri malah melakukannya.''

Merupakan kemestian, bagi seorang Mukmin mengikat kata-kata yang ia ucapkan dan tuliskan dengan amal. Setiap kata yang keluar darinya cermin kemurnian, keikhlasan dan ketulusan hati, pikiran serta keimanannya. Lisan dan tulisan sejalan perbuatannya. Ketika ia menyuruh orang lain melakukan kebaikan, maka dialah yang pertama melakukannya. Pun ketika melarang berbuat mungkar, ia sendiri melakukannya.

''Mengapa kalian menyuruh orang lain mengerjakan kebaikan, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri. Padahal kalian membaca Alquran (Al Kitab). Apakah kalian tidak berpikir?'' (QS Al-Baqarah (2): 44). Rasulullah SAW contoh paling nyata dalam hal ini. Setibanya hijrah di Madinah, Rasulllah memerintahkan para sahabat untuk mendirikan masjid sebagai pusat kegiatan umat.

Tak sekadar menyuruh, Rasulullah ikut terjun langsung dalam pembangunannya. Bersama sahabat, beliau memecah batu, memikul, dan menyusunnya. Beliau bukan hanya pandai memerintah, melainkan juga melakukan pertama kali apa yang beliau serukan.

''Barangsiapa yang mula pertama melakukan kebaikan dalam Islam, maka ia mendapat pahala kebaikan itu sendiri dan pahala orang-orang yang meniru perbuatannya itu tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa yang mula pertama melakukan kejahatan dalam Islam, maka ia mendapatkan dosa kejahatan itu dan dosa orang yang meniru perbuatannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.'' (HR Imam Muslim).

Wibawa dan kepercayaan seseorang jatuh hanya karena kata-kata. Imam Ali Zainal Abidin meriwayatkan hadis Rasullulah, ''Jauhilah berkata bohong, baik untuk hal sepele maupun hal yang besar, baik serius maupun bergurau. Karena seseorang jika ia telah berani berbohong untuk hal-hal kecil, ia akan berani berbohong untuk hal yang besar.''

Begitu pula kewibawaan umat Islam runtuh salah satunya, karena mayoritas umat cakap berkata-kata namun tak mengikatnya dalam amal perbuatan keseharian. ''Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa yang tidak kalian perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan.'' (QS Ash-Shaff (61): 2-3).

Dicintai Allah dan Manusia ..

Dengan sikap dan kesalehannya, Rabiah mulai terkenal sebagai seorang alim yang zuhud.


Oleh Dani Priyanto

Abu 'Abbas Sahl bin Sa'ad Assa'idi Rhadiallohuanhu berkata, ''Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW seraya bertanya, wahai Rasulullah, tunjukanlah kepadaku suatu amal (pekerjaan) yang jika aku mengamalkannya aku dicintai Allah dan dicintai manusia.''

Maka Rasulullah SAW bersabda, ''Zuhudlah engkau terhadap dunia, niscaya Allah mencintaimu dan zuhudlah engkau terhadap apa yang ada pada manusia, niscaya manusia akan mencintaimu.'' (HR Ibnu Majah dll).

Target akhir atau tujuan dari setiap amal seorang hamba ialah ia mengharapkan ridha dan cinta dari Allah. Hadis di atas mengajarkan kepada kita bahwa salah satu cara guna mendapatkan kecintaan Allah dan juga kecintaan manusia adalah dengan bersifat zuhud terhadap dunia. Sebab, zuhud merupakan salah satu bagian dari ketaatan dan Allah mencintai orang yang menaatinya. Dengan zuhud terhadap dunia, berarti kita hanya mengisi ruang hati kita dengan kecintaan kepada Allah.

Orang yang mencintai dunia, ruang hatinya terisi dengan kecintaan terhadap dunia, sehingga tidak mungkin hatinya menyatu denan kecintaan Allah. Secara bahasa zuhud berarti tidak berambisi terhadap dunia namun bukan berati kita hidup dalam keadaan melarat. Imam Sufyan Ats-Tsauri berkata, ''Zuhud adalah pendek angan-angan, tapi bukan memakan makanan yang tidak enak dan mengenakan pakaian yang jelek.''

Hidup zuhud bukan berarti kita meninggalkan dunia sama sekali, tetapi kita menjadikan dunia sebagai wasilah untuk mencapai kehidupan bahagia di akhirat nanti. Kita bisa menganalogikan jika kita akan bepergian ke suatu tempat, tentunya kita akan membawa perbekalan yang hanya dibutuhkan selama perjalanan saja guna mencapai tujuan tersebut, sehingga ketika kita membawa bekal yang tidak dibutuhkan tentunya hal ini akan merepotkan dalam perjalalan kita.

Begitupun dengan dunia dan akhirat, kita mencari dunia sebatas untuk menyampaikan kita ke kehidupan yang bahagia di akhirat. Dalam Alquran dan hadis banyak sekali ayat yang menyatakan bahwa dunia merupakan sesuatu yang sementara sifatnya. Firman-Nya dalam surat An-Nisa (4) ayat 77, ''.... Kesenangan di dunia ini hanyalah sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun.''

Dunia yang disebutkan dalam Alquran maupun hadis, bukan tertuju pada segala hal yang menyangkut dunia, baik berupa waktu (siang dan malam), tempat (daratan, lautan, dan udara), maupun makhluk yang berada di dalammya. Akan tetapi cercaan tersebut pada dasarnya ditujukan pada sikap dan prilaku manusia di dunia yang cendrung terhadap kehidupan dunia dan lupa akan akhirat.

Alangkah indahnya jika bangsa ini memiliki sikap hati yang zuhud terhadap dunia. Kita bisa memastikan jika para pembesar bangsa ini bersikap zuhud maka bangsa ini akan terlepas dari bencana korupsi.

Siapakah Manusia Terbaik? ..

Perbedaan zona waktu (ilustrasi)

Oleh Fauzi Bahreisy

Di antara karunia Allah yang paling berharga bagi manusia adalah usia, waktu, dan kesempatan hidup. Dengan ketiga hal itu manusia bisa berkarya, mengukir prestasi, beribadah, dan meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Jika orang Barat berkata bahwa waktu adalah uang (time is money), lalu bangsa Arab mengibaratkan waktu laksana pedang yang jika tidak ditebas ia akan menebas, Islam mengajarkan waktu adalah kehidupan. Menyia-nyiakan waktu berarti menyia-nyiakan kehidupan.

Sumpah Allah dengan keseluruhan waktu menjadi petunjuk atas hal itu. Dalam Alquran Allah bersumpah dengan waktu fajar, Subuh, dhuha, siang, asar, dan malam. Di samping untuk menunjukkan tanda-tanda kekuasaan-Nya, sumpah Allah dengan waktu merupakan isyarat agar manusia mempergunakan waktu yang dimiliki secara optimal.

Allah berfirman, ''Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, nasihat-menasihati dengan kebenaran, serta nasihat-menasihati dalam kesabaran (QS al-Ashr [103]: 1-3).

Ketika Rasulullah SAW ditanya, ''Siapa manusia terbaik?'' Beliau menjawab, ''Orang yang panjang usianya dan baik amalnya.'' Beliau kembali ditanya, ''Lalu siapa manusia terburuk?'' Jawab Rasul, ''Orang yang panjang usianya tetapi jelek amalnya.'' (HR at-Tirmidzi).

Karena itu, generasi saleh terdahulu begitu menghargai waktu. Usia singkat yang Allah karuniakan pada mereka benar-benar dimanfaatkan untuk amal-amal positif, hingga melahirkan banyak karya yang monumental.

Misalnya, sahabat yang bernama Sa'ad ibn Mu'adz. Ia masuk Islam pada usia 30 tahun dan meninggal pada usia 37 tahun. ''Singgasana Tuhan berguncang karena kematian Sa'ad ibn Mu'adz,'' begitu komentar Rasulullah atas kematian Sa'ad. Meski hanya tujuh tahun bersama Islam, ia telah memberikan kontribusi besar dalam jihad dan dakwah Islam.

Contoh lainnya, Imam Nawawi yang berusia tidak lebih dari 40 tahun, tetapi berhasil menulis sekitar 500 buku. Salah satunya kitab Riyadhus Shalihin yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia. Lewat karya-karya dan jasa yang ditorehkan itu, hidup mereka membentang hingga akhir zaman, jauh melampaui usia biologisnya.

Mereka itulah teladan umat yang mampu meresapi keluhuran ajaran Nabi SAW dalam sabdanya, ''Tidaklah bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat nanti sehingga ia ditanya tentang umurnya untuk apa ia habiskan, masa mudanya untuk apa dipergunakan, hartanya dari mana ia peroleh dan kemana ia belanjakan, serta ilmunya dalam hal apa ia amalkan.'' (Hadis Shahih Riwayat At Tirmidzi dan Ad Darimi).

Rasulullah Menyuruh Kita untuk Menangis ..

Pria pun bisa menangis


Oleh Ali Rif'an

Dalam suatu kesempatan, Rasulullah SAW bersabda, ''Wahai manusia, menangislah! Jika kalian tidak mampu menangis, pura-puralah kalian menangis. Karena sesungguhnya penduduk neraka akan menangis di neraka, hingga air mata tersebut seolah-olah terbentuk aliran sungai di wajah mereka.'' (HR Abu Ya'la).
Secara simplisit, hadis di atas dapat ditafsirkan bahwa menangis di dunia lebih baik daripada menangis di neraka kelak. Menangis merupakan hal yang sering kita jumpai dalam kehidupan ini, bahkan sering kita alami sendiri. Menangis adalah ekspresi seseorang yang menggambarkan suasana hatinya, bisa berupa ekspresi kesedihan ataupun kebahagiaan.

Lantas, menangis seperti apa yang disukai oleh Allah SWT dan memberikan manfaat kelak di akhirat? Tentu, menangis karena Allah dan untuk-Nya semata. Rasulullah SAW bersabda, ''Siapa saja yang berzikir kepada Allah kemudian mengalir air matanya hingga menetes ke tanah disebabkan oleh rasa takutnya kepada Allah, niscaya Allah tidak akan menyiksanya pada hari kiamat.'' (HR al-Hakim).

Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali menangis diidentikkan dengan sifat cengeng, rapuh, ataupun lebai. Orang menangis tak jarang dianggap sebagai orang yang lemah pribadi ataupun imannya. Padahal, menangis dalam Islam dapat diartikan sebagai proses ataupun bentuk penghayatan dan pendalaman ibadah yang sedang dilakukan.

Menangis semacam itulah yang sering dipraktikkan oleh para Nabi dan Rasul serta para ulama dalam mendekatkan diri kepada Sang Khaliq. Jika tangisan tumpah karena Allah, ia termasuk perbuatan mulia, sebagaimana sabda Rasul, ''Ada tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan dari Allah pada saat tidak ada naungan kecuali naungan-Nya.''

Apa itu? Rasulullah menyebutkan salah satunya adalah seseorang yang berzikir kepada Allah dalam keadaan sunyi dan tiba-tiba meneteskan air mata. Artinya, menangis dalam kesunyian lebih memungkinkan timbulnya keikhlasan dalam diri.

Lain halnya ketika tangisan tumpah di tempat keramaian, atau ketika mendengarkan lagu cengeng, tentu saja tangisan tersebut tidak ditujukan kepada Allah SWT, melainkan lebih disebabkan oleh suasana sedih. Untuk itu, mari kita hiasi mata ini dengan tangisan mesra karena Allah. Tangisan yang akan membawa pada kebahagiaan di akhirat kelak.

Doa dan Keyakinan ..

Anggota GP Ansor beserta warga masyarakat berdoa usai melaksanakan Salat Istisqa di Markas GP Ansor Jakarta, Jumat (30/10).

Oleh Uwes Fatoni

Setiap manusia senantiasa berharap sukses dalam kehidupan dengan memperoleh semua yang diinginkan dan dicita-citakannya. Kesuksesan ini bisa dalam bentuk sukses materi, sukses sosial, sukses intelektual, atau sukses emosional. Setiap kesuksesan tersebut bagi seorang Muslim, tidak hanya diperoleh dengan ikhtiar, namun  disertai doa.

Doa merupakan pendorong rohaniah untuk terus berusaha karena meyakini bahwa setiap usaha yang dibarengi doa pasti akan sukses. Allah berfirman, ''Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku jawab.'' (QS Al-Mu'min [40]: 60).

Dengan keyakinan ini setiap ikhtiar yang kita usahakan akan dilakukan dengan sebaik mungkin, kalau bisa sampai sempurna atau minimal mendekati kesempurnaan. Dalam sebuah hadis Qudsi rasulullah bersabda, ''Sesungguhnya Allah berfirman: Aku akan mengikuti prasangka hamba-Ku dan Aku akan senantiasa menyertainya apabila berdoa kepada-Ku.'' (HR Bukhari Muslim).

Para nabi dan Rasul, sebagaimana dikisahkan secara indah dalam Alquran senantiasa berdoa untuk sukses dalam misinya sebagai pribadi atau sebagai pemimpin umat. Nabi Ayub berdoa untuk sembuh dari penyakit; Nabi Isa berdoa untuk mendapat rezeki yang halal; Nabi Zakaria berdoa untuk mendapatkan keturunan yang baik; Nabi Sulaeman berdoa untuk mendapatkan kekuasaan. Doa-doa mereka merupakan doa-doa yang baik (ma'tsurat) yang dapat kita contoh dengan mengikuti dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Doa juga dinilai sebagai ibadah yang utama di sisi Allah, ''Tidak ada satu pun amal yang lebih mulia pada pandangan Allah daripada doa,'' (HR Bukhari). Bahkan, Allah membenci orang-orang yang enggan berdoa kepada-Nya, ''Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku (tidak mau berdoa), akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.'' (QS Al-Mu'min [40]: 60). Betapa tingginya nilai doa bagi seorang Muslim, sehingga rasul menyatakan doa merupakan intinya ibadah (mukhul ibadah) dan senjata bagi orang yang beriman.

Agar kita senantiasa sukses dalam hidup marilah kita berdoa, baik di kala susah atau senang, ketika miskin atau kaya, dalam keadaan lapang atau sempit. Doa yang dipanjatkan secara dawam (rutin) inilah yang paling Allah sukai. ''Barang siapa yang menginginkan doanya dipenuhi Allah ketika dia dalam kesulitan, hendaknya dia memperbanyak doa di waktu lapang (HR Tirmidzi dan Hakim).

Perhiasan Dunia ..

Muslimah dan Alquran

Oleh: Siti Mahmudah

Dunia adalah perhiasan (HR Muslim). Sesungguhnya kehidupan dunia itu merupakan kesenangan yang bersifat sementara (QS Ghafir [40]: 39), dan semua perhiasan serta kesenangan dunia itu memiliki karakter yang dapat melalaikan manusia (QS Al-Hadid [57]: 20). Karena itu, berhati-hati terhadap perhiasan dunia tersebut.

Akan tetapi, ada satu perhiasan dunia yang tidak akan melalaikan dan menjadi dambaan bagi semua insan, yaitu wanita salehah yang menjadi hiasan terbaik dunia (HR Muslim). Nah, mengapa wanita salehah disebut sebagai hiasan terbaik dunia?

Pertama, karena wanita yang salehah itu akan dapat mengantarkan kepada kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Rasulullah SAW bersabda, "Tidak ada sesuatu yang dapat diambil manfaatnya oleh seorang mukmin setelah takwa kepada Allah yang lebih baik baginya dari seorang istri yang salehah. Jika suami memerintahkannya, ia menaatinya. Jika suami memandangnya, ia membahagiakannya. Jika suami bersumpah atas dirinya, ia memenuhi sumpahnya. Jika suami pergi, ia menjaga kehormatan dirinya dan harta suaminya." (HR Ibnu Majah).

Kedua, wanita yang salehah akan dapat membantu meringankan dalam urusan dunia. Rasulullah SAW bersabda, "Hai Muadz, hati yang bersyukur, lisan yang berzikir, dan istri salehah yang akan membantumu dalam urusan dunia dan agamamu adalah amalan terbaik yang dilakukan manusia." (HR Thabrani).

Ketiga, wanita yang salehah akan selalu mengingatkan kepada kehidupan akhirat. Rasulullah SAW bersabda, "Setelah turun ayat yang berisi penjelasan tentang emas dan perak, para sahabat bertanya-tanya, 'Lalu, harta apakah yang seharusnya kita miliki?' Umar berkata, 'Aku akan memberitahukan kepada kalian mengenai hal itu.' Lalu, beliau memacu untanya dengan cepat sehingga dapat menyusul Rasulullah SAW, sedangkan aku berada di belakangnya. Ia bertanya, 'Wahai Rasulullah, harta apakah yang seharusnya kita miliki?' Nabi SAW menjawab, 'Hendaknya salah seorang di antara kalian memiliki hati yang bersyukur, lisan yang berzikir, dan istri mukminah yang membantunya dalam merealisasikan urusan akhirat'." (HR Ibnu Majah).

Keempat, wanita salehah merupakan anugerah terbaik dalam menyempurnakan agama. Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa diberi anugerah oleh Allah seorang istri yang salehah, berarti Allah telah membantunya untuk mewujudkan separuh agamanya, maka hendaknya ia bertakwa kepada Allah pada separuh yang kedua." (HR Hakim).

Semoga Allah membimbing kita para wanita agar menjadi wanita salehah sebagai perhiasan terbaik dunia yang dapat melahirkan generasi yang terbaik pula. Amin.

Saat Rasulullah Berbincang dengan Batang Kurma ..

Pohon kurma

Di dalam kumpulan hadis sahih Bukhari, dikisahkan sebuah tiang yang dinamakan 'istiwanah al mukhallaqoh di Masjid Nabawi, Madinah. Ubay bin Ka'ab ra meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW selalu shalat di dekat tiang masjid yang terbuat dari  batang kurma. Rasulullah pun bersandar di tiang itu saat menjelang khotbah.
Seorang sahabat kemudian membuatkan sebuah mimbar dengan tiga anak buah anak tangga untuk menggantikan tiang itu. Tujuannya agar jamaah yang berada di belakang melihat Rasulullah.
Ketika Rasulullah mulai menggunakan mimbar baru, jamaah mendengar jeritan dari tiang itu. Jabir Ra meriwayatkan suaranya seperti unta yang hamil sepuluh bulan. Rasulullah pun turun ke tiang itu untuk menenangkannya. Rasulullah kemudian mengusap batang kurma dan membujuknya  agar tenang.
Imam Hasan al Basri mengomentari riwayat tersebut. "Batang kurma saja merintih rindu agar Rasulullah kembali kepadanya. Manusia harusnya lebih merindukan Rasulullah."

Berbicara dengan pohon, tanaman, dan binatang pada zaman dahulu sepertinya mutlak menjadi mukjizat Rasulullah. Nabi Sulaiman pun diriwayatkan mampu berbicang dengan semut, burung dan angin. Mukjizat ini masih disebut tidak mungkin dimiliki oleh manusia biasa.

Dalam buku Percikan Sains dalam Alquran, Bambang Pranggono menulis bahwa mukjizat itu harus diteliti lebih lanjut untuk membuktikan kebesaran Sang Maha Pencipta.

Dr Zakir Abdul Karim, seorang ilmuwan India, ketika berceramah di Pusat Riset King Fahd Hospital di Jeddah, Arab Saudi, mengatakan adanya penemuan sains bahwa tumbuh-tumbuhan bisa merasakan sakit. Mereka pun dapat merasa bahagia, sedih, dan bisa menjerit kesakitan. Akan tetapi, telinga manusia tidak bisa mendengarnya karena frekuensi jeritan yang berbeda.

Suatu percoban di laboratorium menghubungkan tanaman dengan elektroda untuk meneliti apakah tumbuh-tumbuhan yang dicincang bisa mengenali orang yang mencincangnya. Lonjakan grafik terjadi di monitor ketika orang yang mencincangnya ke ruangan.

Sebaliknya, tanaman yang dirawat dengan kasih sayang sambil diajak bercakap-cakap bisa lebih tumbuh sehat dan subur.Ini menjadi bukti kebenaran firman Allah SWT dalam QS Al Israa 17:44.

"Bertasbih kepada-Nya tujuh langit dan bumi dan siapa yang ada di sana, dan tidak ada sesuatu pun yang tidak bertasbih memuji-Nya. Namun kamu tidak paham tasbih mereka. Sesungguhnya Dia Maha Lembut dan Maha Pengampun."

Menjaga Keseimbangan ..


Timbangan. Ilustrasi.

Oleh Mulyana

Salah satu unsur terpenting dalam kehidupan dan sistem tata surya kita adalah keseimbangan. Tanpa adanya keseimbangan, sistem kehidupan dan tata surya akan hancur. Allah telah mengukur dan menciptakan alam semesta ini dengan tepat dan seimbang. ''.... Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?'' (QS Al-Mulk [67]: 3).

Demikian pula dengan penciptaan manusia. Allah menjadikan kita makhluk yang sempurna dan dalam struktur tubuh yang seimbang. ''Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuhmu) seimbang, dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki, Dia menyusun tubuhmu.'' (QS Al-Infithaar [82]: 6-8).

Konsep keseimbangan yang Allah ajarkan baik melalui sistem tata surya maupun dalam penciptaan kita, tiada lain adalah untuk diambil sebagai pelajaran. Secara individu, konsep keseimbangan yang diterapkan akan membawa kepada kebahagiaan dan kesejahteraan.

Islam mendudukkan secara seimbang kepentingan duniawi dan ukhrawi. ''Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.'' (QS Al-Qashash [28]: 77). Tanpa keseimbangan, yang terjadi adalah kerusakan.

Dalam konteks kelestarian alam, Alquran dengan tegas memberikan peringatan bahwa akan ada dampak buruk jika lingkungan diabaikan dan dirusak. Di bagian lain, Alquran mengajarkan sebuah konsep pembangunan yang seimbang di mana pendayagunaan sumber daya alam, baik di daratan maupun di lautan harus memperhatikan kondisi lingkuangan sekitarnya.

Allah berfirman, ''Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).'' (QS Ar-Rum [30]: 41). Marilah mulai menjaga keseimbangan dari diri kita.

Sukses Bersama Alquran ..

Red: Agung Sasongko
Alquran

Oleh: Imam Nur Suharno

Ujian nasional (UN) akan kembali dilaksanakan. Dalam menghadapi UN, tidak sedikit siswa yang menggunakan cara instan, seperti sistem kebut semalaman (SKS) hingga menyontek secara terorganisasi. Jika berhasil (lulus UN), maka ilmu yang didapat tidak akan berkah.

Jika demikian, UN hanya akan mengantarkan siswa menjadi insan yang cerdas secara intelektual tetapi lemah secara spiritual. Selain persiapan secara akademis, ada upaya spiritual yang perlu dilakukan agar siswa dapat meraih sukses dalam UN.

Jika datang pertolongan Allah, maka kesuksesan itu pasti akan mudah diraih (QS an-Nashr [110]: 1). Bagaimana agar datang pertolongan Allah SWT? Di antaranya memperbanyak doa, terutama di sepertiga waktu malam. Selain dengan usaha belajar secara intensif, siswa hendaknya membiasakan diri dengan shalat Tahajud, dan doa (permohonan) yang mengiringi dalam Tahajud itu akan lebih mudah untuk dikabulkan.

Rasulullah SAW bersabda, "Ketahuilah, sesungguhnya Allah tertawa terhadap dua orang laki-laki, seseorang yang bangun pada malam yang dingin dari ranjang dan selimutnya, lalu ia berwudhu dan melakukan shalat. Allah SWT berfirman kepada para Malaikat-Nya, 'Apa yang mendorong hamba-Ku melakukan ini?' Mereka menjawab, 'Wahai Rabb kami, ia melakukan ini karena mengharap apa yang ada di sisi-Mu.' Allah berfirman, 'Sesungguhnya Aku telah memberikan kepadanya apa yang ia harapkan (cita-citakan) dan memberikan rasa aman dari apa yang ia takutkan.'" (HR Ahmad).

Dan, jangan lupa untuk selalu membaca Alquran. Selain akan merasakan ketenangan jiwa, orang (siswa) yang sibuk dengan Alquran akan diberikan kemudahan dalam meraih setiap keinginan, termasuk kemudahan dalam menghadapi UN.

Dalam sebuah hadis qudsi dinyatakan, "Barang siapa yang disibukkan oleh Alquran sehingga ia tidak sempat meminta (berdoa) kepada-Ku, akan Aku berikan kepadanya sesuatu yang paling baik yang Aku berikan kepada orang-orang yang meminta, dan keutamaan kalam Allah terhadap seluruh kalam selainnya adalah seperti keutamaan Allah terhadap seluruh makhluk-Nya." (HR Ahmad dan Thabrani).

Dengan demikian, jika setiap siswa yang mengikuti UN berharap dapat lulus dengan nilai terbaik, maka siswa yang sibuk dengan Alquran melalui aktivitas tilawah maupun menghafal dengan tetap belajar secara intensif, maka ia akan mendapatkan jaminan kemudahan dan meraih kesuksesan dalam UN.

Karena itu, sebelum, selama, dan setelah ujian nasional, siswa hendaknya tetap istiqamah dalam berinteraksi dengan Alquran sehingga kesuksesan akan selalu menyertainya. Yakinlah!

Menegakkan Keadilan ..

Palu hakim (ilustrasi).

Oleh Syahrum HH

Rasul-rasul diutus ke tengah kaumnya untuk menegakkan keadilan. Nabi Musa, misalnya, diutus Tuhan untuk membasmi kezaliman Firaun. Nabi Ibrahim diutus buat menegakkan keadilan terhadap Raja Namrud yang memperlakukan bangsa Babilonia sesuka hatinya.

Begitu pula Nabi Muhammad SAW. Nabi yang terakhir ini diutus ke bangsa Arab untuk menegakkan keadilan di tengah kezaliman dan kejahiliyahan bangsa Arab ketika itu.

Menurut ajaran Islam, keadilan berarti memberikan satu ketentuan (hukum) yang tidak menyimpang dari kebenaran. Berdasarkan pengertian umum, keadilan adalah bertindak sama atau serupa. Lawan dari keadilan adalah kezaliman. Seruan menegakkan keadilan harus terwujud di tengah masyarakat. Keadilan mesti ditegakkan dalam segala bidang kehidupan, baik sosial, ekonomi, maupun kehidupan politik.
Allah SWT berfirman: ''Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang kuat menegakkan keadilan, menjadi saksi kebenaran karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu.''(QS an-Nisa: 28).

Seorang ulama berkata, ''Keadilan sendi negara. Tidak akan kekal suatu kekuasaan tanpa menegakkan keadilan. Kalau tak ada hukum yang adil, maka orang akan hidup dalam anarki, tidak punya sandaran dan pegangan.''

Seorang ahli hikmah mengatakan, ''Keadilan seorang penguasa terhadap rakyatnya mestilah dengan empat perkara, yaitu dengan menempuh jalan yang mudah, meninggalkan cara yang sulit menyukarkan, menjauhkan kesewenang-wenangan, dan mematuhi kebenaran dalam perilakunya.''

Menegakkan keadilan harus dengan secara mutlak dan menyeluruh. Tidak karena sebab sesuatu, keadilan itu berubah fungsi. Jangan karena perbedaan kedudukan, golongan, dan keadaan sosial mengakibatkan perlakuan keadilan itu tidak sama.

Firman Allah SWT: ''Janganlah karena kebencian terhadap suatu kaum menyebabkan kamu tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.'' (QS al-Maidah: 8).

Dalam Islam kedudukan rakyat dan pemerintah adalah sama, karena ia merupakan pengokoh suatu masyarakat yang menginginkan kesempurnaan. Nabi Muhammad SAW pernah berkata kepada Usman bin Zaid bahwa kehancuran pemerintahan dahulu karena mereka menjalankan hukuman berat sebelah.
Mereka cuma memberi dan menjatuhkan hukuman terhadap rakyat kecil, sedangkan pencuri dari kalangan atas mereka diamkan saja dan biarkan terus. Tuntutan berbuat adil haruslah dimulai dari diri sendiri, rumah tangga, dan lingkungan.

Adil terhadap anak, misalnya, dengan memberikan nafkah, pendidikan, dan keperluan lainnya. Dalam menegakkan keadilan tidak saja disuruh hanya terhadap kawan, teman seperjuangan atau seprofesi. Terhadap lawan pun, keadilan harus tetap ditegakkan. Alquran menjelaskan: ''Tuhan memerintahkan kepada kamu untuk menegakkan keadilan dan kebaikan (ihsan).'' (QS an-Nahl: 90).

Begini Kriteria Pemimpin dalam Islam ..

Penghitungan suara Pemilu Presiden 2014 (ilustrasi)
Di dalam Islam, kepemimpinan merupakan sarana untuk mencapai tujuan. Islam mengajarkan kepemimpinan bertujuan untuk menegakkan agama dengan melaksanakan syariat Islam dan memenuhi kemaslahatan umat (Muhd Salim Al Awwa:2001).

Syamsudin Muir, lewat artikelnya di Harian Republika berjudul Kriteria Pemimpin dalam Islam, menulis, tujuan mulia kepemimpinan itu tidak akan bisa tercapai, jika pemimpin tidak memenuhi kriteria atau syarat yang telah digariskan agama.

Imam al-Mawardy dalam bukunya, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, menjelaskan syarat seorang pemimpin negara. Di antaranya, pemimpin itu memiliki ilmu pengetahuan. Pemimpin bukan saja piawai dalam mengatur negara, tapi juga berpengetahuan luas tentang agama. Itulah yang diajarkan Islam.

Sebagaimana Khulafa' al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali), mereka pemimpin juga ulama. Pemimpin negara juga mesti sehat panca indra, anggota tubuh, punya pemikiran (visi dan misi) yang jelas, serta berani dan tegas dalam bertindak. Namun begitu, ada syarat yang sering terlupakan dalam menjaring para kandidat pemimpin sebuah negara. Seorang pemimpin negara itu mesti seorang yang adil (al-Imam al-Adil).

Jabir Qamihah dalam bukunya, al-Mu'aradhah Fi al-Islam, menjelaskan, pemimpin adil ialah pemimpin yang adil pada dirinya (takwa), dan adil dalam menjalankan amanah kepemimpinan (al-Nisa': 58). Adil pada dirinya (takwa) ialah pemimpin yang dekat kepada Tuhan, dirinya terhindar dari perbuatan dosa, memiliki sifat wara' yang tidak terobsesi mengejar kepentingan dunia, dan dapat dipercaya dalam memegang amanah kepemimpinan. Dan, adil dalam kepemimpinan itu juga menghendaki adil dalam aspek sosial (keadilan sosial) dan adil dalam menerapkan hukum.

Keadilan sosial itu di antaranya pembebasan kekayaan negara dari eksploitasi negara asing, menerapkan sistem perekonomian Islam, dan keadilan dalam pembagian kekayaan negara kepada semua lapisan masyarakat (Muhammad Imarah: 1995).

Keadilan sosial itu juga diterapkan dalam mengangkat orang yang layak untuk memegang sebuah jabatan (tidak KKN), dan memberikan kesempatan kepada rakyat umum untuk memperoleh pekerjaan sesuai dengan kemampuan mereka (Abd al-Rahman al-Maidany:2001). Dan, berprilaku adil itu juga diterapkan dalam setiap perbuatan, perkataan, dan dalam penetapan keputusan hukum (Tafsir al-manar: 5/179).

Pemimpin adil itu akan mendapat perlindungan Allah SWT di akhirat kelak (HR Imam al-Bukhari). Dan, Rasulullah SAW juga menegaskan, pemimpin yang tidak adil (khianat kepada rakyat) akan mendapat azab (siksaan) yang pedih (HR Imam al-Thabrani). Bahkan, Allah SWT tidak mengizinkan pemimpin khianat untuk memasuki surga-Nya (HR Imam al-Bukhari dan Imam Muslim).

Belajar Ekonomi dari Kisah Nabi Syuaib ..

Ada lima hal penting dalam pengembangan ekonomi syariah. (ilustrasi)
Pelajaran ekonomi di dalam Alquran tak hanya datang saat masa Rasulullah. Ekonomi syariah sudah diceritakan Alquran lewat nabi-nabi sebelum Muhammad SAW. Setelah "menuangkan" kisah Nuh dan kaumnya; Hud dan kaum 'Ad; Shaleh dan kaum Tsamud; Luth dan kaumnya; Alquran kemudian mengungkap kisah Syu'aib dan kaum Madyan. Kisah ini termaktub dalam QS Al A'raf: 85-93, QS Hud: 84-89. Untuk lebih singkatnya ayat-ayat tersebut hanya dikutip sebagian saja.

"Kepada bangsa Madyan," kata Allah dalam ayat itu, "Kami mengutus Nabi Syu'aib yang juga berasal dari kalangan mereka. Lalu ia berkata kepada mereka: Wahai kaumku, jadikanlah Allah sebagai satu-satunya tempat mengabdi, orientasi hidupmu. Telah datang kepadamu keterangan yang jelas dari Tuhanmu.
Karena itu -- dalam berekonomi -- berlakulah adil dan jujur ketika menakar dan menimbang, janganlah sekali-kali mengurangi hak orang, walaupun sedikit, dan jangan pula berbuat kerusakan di bumi setelah ada perbaikan, yang demikian lebih baik bagi kalian jika kalian benar-benar beriman."

Dikutip dari Harian Republika, Aunur Rofiq dalam artikelnya berjudul 'Doktrin Ekonomi Nabi Syuaib' menulis, Ada beberapa catatan penting yang dapat diangkat di sini dari dialog antara keduanya. Pertama, aspek transendental. Nabi Syu'aib melihat bahwa semua aktivitas termasuk ekonomi, baik yang berkaitan dengan individu atau kelompok, harus ditata berdasarkan moralitas agama atau prinsip tauhid, bahwa Allahlah pemilik hakiki harta tersebut.

Manusia hanyalah pemilik nisbi, sesuai dengan keberadaannya yang nisbi pula, tidak mutlak. Jika demikian mengapakah manusia begitu rakus dan sewenang-wenang dalam mendapatkan dan menggunakan kekayaannya. Padahal secara fakta, ia pasti akan kembali (mati) dan tidak ada yang dapat dibawanya kecuali amal konstruktifnya -- melalui kekayaannya.

Manusia perlu menyadari, dia bukan sayyid al-kaun (raja, tuan dan pemilik alam semesta), tapi hanya sebagai khalifah -- "perpanjangan tangan" -- dari pemilik alam ini (Tuhan). Karena itu, tidak boleh tidak, ia harus taat dan mengikuti aturan main yang mengangkat dan memberinya amanat.
Penyimpangan dan kecurangan akan berakibat fatal bukan hanya pada dirinya, tapi juga akan menimpa orang lain dan lingkungannya. Bagaimanapun keberadaan dirinya, orang lain dan realitas alam di pihak lain memiliki kaitan yang sangat erat dan terpusat pada satu zat yaitu Allah SWT.

Generasi Penerus dan Suksesi Kepemimpinan ..

Bayi yang baru lahir membutuhkan banyak hal, cermati mana yang perlu agar keuangan tidak lepas kendali.

Oleh Nasrul Zainun

Beberapa ayat Alquran di awal surat Maryam mengisahkan Nabi Zakaria yang mengkhawatirkan generasi di belakangnya. Dengan suara lembut Zakaria bermunajat kepada Allah SWT menuturkan kondisi tulang belulangnya yang telah lemah, rambutnya yang telah bertabur uban, dan istrinya yang mandul. Zakaria menginginkan anak untuk menjadi ahli waris perjuangannya.

Seperti permohonan sebelumnya, permohonannya yang satu inipun dikabulkan Allah SWT. Nabi Zakaria memperoleh seorang anak yang diberi nama Yahya, suatu nama yang belum pernah dipakai orang sebelumnya. Yang artinya hidup, berarti kehidupan Yahya akan melanjutkan kehidupan generasi yang semula diduga akan terputus.

Nabi Zakaria merasa beruntung, karena anaknya Yahya memegang erat Kitab Allah, dia diberi hikmah sejak kecil, memiliki sifat belas kasihan dan kesucian, serta memelihara diri (takwa), berbuat baik kepada ibu bapaknya, jauh dari kesombongan dan kedurhakaan. Yahya memperoleh kesejahteraan di waktu lahir, di hari wafatnya, hingga hari berbangkit nanti.

Kisah Nabi Zakaria di atas menggambarkan sikap semua tokoh Islam yang menginginkan suksesi pemimpin umat. Keinginan mempunyai generasi penerus sebuah jeritan batin yang kadangkala disertai rintihan dan tetesan air mata. Harapan untuk terwujudnya suksesi itu biasanya muncul ketika pemimpin umat telah panjang umur, kulit telah kendur, gigi telah mulai gugur, mata mulai kabur, di kepala uban bertabur, dan sudah hampir ke liang kubur.

Upaya mendapatkan suksesi itu sebaiknya diiringi dengan kegiatan pembinaan dan bimbingan, meliputi pembinaan akidah dan kemauan beramal, seperti yang dicontohkan Nabi Ibrahim kepada anaknya Ismail. Firman-Nya, ''Dan ketika Ibrahim dan Ismail meninggikan sendi Baitullah (keduanya berdoa), 'Oh Tuhan kami! Terimalah dari kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Oh Tuhan kami! Jadikanlah kami berdua orang yang patuh kepada Engkau dan jadikanlah dari keturunan kami umat yang patuh juga kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara beribadah dan ampunilah kami, sesungguhnya Engkau Penerima Tobat dan Penyayang'.'' (Al-Baqarah: 127-128).

Kerja keras Ibrahim meletakkan dan meninggikan sendi-sendi Baitullah dengan melibatkan anaknya Ismail adalah sebuah ibadah besar yang berhubungan dengan tauhid, serta berisi dimensi pembinaan dan bimbingan dari seorang pemimpin umat kepada generasi penerusnya. Hingga kini dan insya Allah sampai akhir masa, kerja keras mereka berdua dirasakan bermanfaat besar buat kelangsungan ibadah umat Islam di seluruh penjuru dunia.

Sejalan dengan itu, umat Islam pun diajar memohon kepada Allah untuk mendapatkan suksesi pemimpin umat yang sekaligus merupakan kriteria seorang hamba Allah Tuhan Yang Maha Pengasih.
Firman-Nya, ''Dan mereka (hamba Allah Yang Maha Pengasih) berkata, 'Wahai Tuhan kami, karuniakanlah kepada kami istri dan anak cucu yang menjadi penyejuk mata dan jadikanlah kami pemimpin orang yang bertakwa'.'' (Al-Furqan: 74). Wallahu a'lam.

Luqman Pun Mengajarkan Jangan Takabur ..

Seorang budak belian yang memperoleh kedudukan terhormat dalam rentangan kurun peradaban manusia adalah Luqman. Bukan malaikat bukan Nabi, namun namanya terekam dalam Alquran, bahkan menjadi nama sebuah surah.

Nabi pun menegaskan bahwa ada tiga orang kulit hitam yang akan menjadi pemimpin penghuni surga, dan salah satunya adalah Luqman al-Hakim.

Banyak tamsil yang berisikan pelajaran yang berasal dari Luqman, yang salah satunya adalah pesan pada anaknya agar jangan takabur. Ucap Luqman pada anaknya, ''Dan jangan berjalan di muka bumi dengan congkak. Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.'' (Luqman: 18).

Takabur sering didefinisikan dengan rasa kagum terhadap diri sendiri, sikap suka membangga-banggakan, membesar-besarkan, dan membusungkan dada. Lantaran kagum pada potensi dirinya, akibatnya membuahkan sikap arogan, pongah, dan angkuh terhadap orang lain. Hanya dialah pemilik superioritas dan tak ada seorang pun yang bisa menandinginya.

Ulama besar Ar-Razi berkata dalam ath-Thib ar Ruhani-nya: ''Seorang yang menyombongkan kudanya tak mau menukarnya dengan kuda lain yang lebih kencang larinya, sebab dia berpandangan bahwa tak ada kuda lain yang mungkin berlari lebih cepat daripada kuda miliknya.''

Mutakabbir (orang yang sombong) percaya bahwa dialah satu-satunya pemilik kebenaran, yang karenanya tak ada kebenaran lain di luar dirinya. Take and give tak masuk dalam kamus kehidupan para mutakabbir. Dia bebal terhadap inovasi, saran, dan kritik orang lain. Nabi bersabda, ''Sesungguhnya takabur adalah mencampakkan kebenaran dan meremehkan manusia.'' (HR Thabrani).

Takabur tak hanya berbahaya terhadap orang lain, tapi juga -- lebih-lebih -- terhadap mutakabbir sendiri. Dia hanya tahu pada kelemahan orang lain, sedangkan aibnya sendiri tak ia sadari. Dia menutup mata rapat-rapat akan kemajuan orang lain. Karena, sang mutakabbir itu ingin beroleh puja-puji, namun sesungguhnya ia tengah menuju ambang degradasi. Posisinya justru makin terpuruk.

Ulama Sufyan ats-Tsauri berucap, ''Sesungguhnya kemaksiatan yang tumbuh dari nafsu mempunyai harapan untuk beroleh ampunan, tapi setiap kemaksiatan yang lahir karena takabur tak ada ampun baginya. Karena, kemaksiatan iblis itu berawal dari takabur (dia menduga bahwa dia lebih baik dari Adam), sedangkan kedosaan (zallah) Adam berasal dari nafsu (keinginan untuk mengecap buah pohon terlarang).''

Maka, belajarlah dari bumi, meski semua makhluk mengeruk pelbagai karunia darinya, namun ia tetap berada di bawah. Jalaluddin Rumi berujar, ''Sebuah pohon yang sarat dengan buah-buahan, cabangnya merunduk ke bumi. Tetapi, kemudian pohon itu mengangkat kepalanya ke langit, dapatkah kita berharap memetik dan menikmati buah-buahannya?

Keberhasilan yang Membahagiakan ..

Bercengkerama di alam terbuka ternyata lebih sanggup meningkatkan kebahagiaan dibanding aktivitas lain.

Oleh: Muhammad Fahri

Keberhasilan adalah hal yang sangat membahagiakan. Orang yang berusaha pastilah mendambakan sebuah keberhasilan. Seseorang yang sedang menuntut ilmu (thalab al-ilmi) menginginkan keberhasilan dalam belajarnya. Seorang petani yang sedang menanam padi mengharapkan panen yang sangat melimpah. Seorang yang sedang ditimpa cobaan ataupun musibah pastilah menginginkan keberhasilan dalam melewati musibah maupun cobaan tersebut.

Kita bisa belajar dari kisah Nabi Ayub AS yang diberi cobaan oleh Allah berupa penyakit. Kemudian, beliau menyeru kepada Sang Khalik, "Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua Penyayang". (QS 21:83). Karena kesabarannya maka Allah memperkenankan seruan Nabi Ayub AS. Kemudian, Allah SWT melenyapkan penyakit yang ada padanya dan Allah kembalikan keluarganya, bahkan Allah lipat gandakan jumlah mereka sebagai suatu rahmat dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.

Kita juga bisa mengambil ibrah dari kisah Nabi Zakaria AS tatkala ia berdoa kepada Allah SWT dengan suara yang lembut. "Wahai Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, wahai Tuhanku, sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku". (QS 19: 4-5). Yaitu, orang-orang yang akan mengendalikan dan melanjutkan urusan sepeninggalnya.

Saat itu, Nabi Zakaria AS mengkhawatirkan kalau mereka tidak dapat melaksanakan urusan itu dengan baik karena tidak seorang pun di antara mereka yang dapat dipercayainya. Nabi Zakaria AS pun meminta dianugerahi seorang anak sedangkan istrinya adalah seorang yang mandul. Kemudian beliau berdoa, "Wahai Tuhanku, janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah waris yang paling baik".(QS 21: 89). Berkat kesabaran dan ketawakalannya maka Allah mengabulkan doa Nabi Zakaria dengan memberikannya keturunan, yaitu seorang anak laki-laki bernama Yahya, padahal ia sudah tua renta dan istrinya pun sudah divonis mandul.

Dari kisah di atas dapat diambil benang merah bahwa para nabi tersebut dapat melewati cobaan maupun ujian dari Allah dengan tiga kunci. Hal ini termaktub dalam surah al-Anbiyâ (21) ayat 90, "Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada kami." (QS al-Anbiya: 90).

Pertama, berusaha optimal. Usaha merupakan langkah awal menuju keberhasilan. Usaha juga merupakan tolok ukur sebuah keberhasilan. Semakin keras usahanya maka akan semakin dekat menuju keberhasilan. Bukankah Allah tidak akan mengubah suatu kaum hingga kaum tersebut berusaha mengubah ke arah yang lebih baik? Artinya, ketika kita menginginkan keberhasilan dalam sesuatu maka usaha maksimal nan optimal adalah mutlak dilaksanakan.

Kedua, berdoa paripurna. Doa merupakan penguat usaha yang dilakukan. Usaha yang optimal tidak akan kuat tanpa diikat oleh doa. Hendaknya kita berdoa secara paripurna, yaitu dengan penuh harap dan cemas. Meyakini bahwa Allah akan mengabulkan doa yang kita panjatkan. (QS al-Baqarah [2]: 186).

Ketiga, bertawakal penuh. Berusaha dan berdoa harus dibarengi dengan sebuah ketawakalan. Tawakal merupakan wujud ketauhidan kita kepada Allah SWT. Allahlah yang menentukan segala sesuatunya sehingga ketika kita mengalami kegagalan maka kita akan dapat berlapang dada. Karena, semuanya berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Wallahu a'lam.

Ajaibnya Perkataan Rasulullah SAW ..

RasulullahAku diberi oleh Allah kemampuan untuk mengungkapkan sesuatu dengan kata-kata yang singkat, ringkas, namun isinya padat. (Rasulullah SAW)

Suatu ketika Rasulullah SAW bersabda, "Apa yang aku larang untuk kalian, maka tinggalkanlah, dan apa yang aku perintahkan kepada kalian, maka laksanakan sesuai dengan kemampuan kalian. Sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah banyaknya pertanyaan dan perselisihan terhadap para nabi mereka." (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Abdurrahman bin Shakr RA).
 
Apa yang dapat kita tangkap dari hadis ini? Semua pasti sepakat bahwa hadis ini sangat luar biasa. Redaksinya begitu singkat, tapi padat maknanya dan amat luas konsekuensinya. Tak salah pula bila kita mengatakan bahwa hadis ini adalah poros dalam Islam. Betapa tidak, di dalamnya tercakup dua cakupan Islam, yaitu perintah -- untuk menaati Allah dan Rasul-Nya -- dan larangan, yaitu untuk menjauhi apa yang dilarang Allah dan Rasul-Nya.

Imam Nawawi berkata, "Hadis ini merupakan dasar-dasar Islam yang sangat penting". Ibnu Hajar Al-Haitami pun memberikan komentar, "Hadis ini adalah hadis yang sangat agung karena merupakan dasar agama dan bagian rukun Islam. Karena itu, sebagai seorang Muslim hadis ini patut kita hapalkan, kita perhatikan, dan kita maknai kandungannya". Di samping dua komentar tersebut, masih ada komentar-komentar dari para ulama yang mengungkapkan betapa agungnya hadis ini.

Dari hadis ini kita melihat salah satu keistimewaan Rasulullah SAW yaitu mampu berbicara singkat tapi padat makna. Tentang hal ini Rasul bersabda, "Aku diberi oleh Allah kemampuan untuk mengungkapkan sesuatu dengan kata-kata yang singkat, ringkas, namun isinya padat".

Hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah Abdurrahman bin Shakr tersebut adalah satu dari banyak hadis (perkataan) Rasulullah SAW dengan redaksi yang singkat, padat, dan dalam maknanya. Sekadar menguatkan, ada satu hadis lain yang menunjukkan kehebatan komunikasi Rasulullah SAW. Beliau bersabda, "Seperti apa keberadaan kalian, seperti itulah kalian diserahi kekuasaan".

Menurut Said Hawwa dalam bukunya Ar-Rasul: Shalallahu 'Alaihi Wassallam, hadis ini mencakup kaidah inti dari politik suatu bangsa. Di dalam kalimat pendek ini terkandung beberapa kaidah penting dalam ilmu politik. Pertama, bahwa suatu bangsa bertanggung jawab terhadap keadaan pemerintahannya.

Kedua, bahwa moral suatu bangsa lebih penting daripada peraturan dan bentuk pemerintahan negara. Ketiga, bahwa kekuasaan adalah pengikut dan bukan asal. Keempat, bahwa menurut ilmu politik modern sumber kekuasaan ada ditangan rakyat. Dan terakhir, hadis ini mengandung sebuah kaidah bahwa suatu bangsa berhak mendapatkan penguasa yang mereka dapat bersabar terhadapnya, meski bukan penguasa yang baik. Subhanallah!

Sepotong Kurma Menuju Surga ..

Kurma

Kasih Ibu kepada beta tak terhingga sepanjang masa..
Hanya memberi, tak harap kembali..
Bagai sang surya, menyinari dunia..

Petikan lagu di atas tentu tidak asing lagi di telinga kita. Potret kepribadian dari seorang Ibu yang memang kasih sayangnya tak pernah bisa terhitung jemari, tak mampu terucap dengan kata, dan tak terbatas ruang dan waktu. Kasih sayang sepanjang hayat, sepanjang masa, sepanjang cinta masih terasa tiap hembusan nafas. Setidaknya, ada tiga fase yang membuat sosok ibu banyak disebut baik dalam Al-Quran maupun hadits. Dalam hadits, Allah menyempurnakan perempuan dengan pengabadiannya dalam surah An-Nisa. Sedangkan dalam hadits, Rasulullah Saw menyebutkan bahwa yang harus diutamakan adalah ibu; hingga beliau menyebutkannya tiga kali.

Tentu bukan tanpa alasan jika beliau bersabda demikian karena memang secara kodrati, perempuan yang telah menikah (seizin Allah) akan mengalami tiga fase yang tidak mudah dalam hidupnya; yaitu mengandung, melahirkan dan menyusui. Tiga kodrat dari Allah yang dimiliki seorang ibu inilah yang membuat beliau mengutamakan sosok ibu, kemudian ayah. Kendati dalam sabda Rasulullah ibu disebutkan hingga tiga kali kala seorang sahabat bertanya siapakah yang lebih dulu aku hormati? Lalu Rasul menjawab, “Ibumu,”, namun tetap saja, esensinya, kita harus mengabdikan diri kepada keduanya dengan penuh kasih sayang hingga beliau menua, sepanjang keduanya mengajak kita kepada ketaatan pada Allah dan kebaikan kepada sesama.

Diriwayatkan dari Aisyah ra, bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Telah datang kepadaku seorang wanita miskin yang membawa dua anak perempuan, lalu saya memberinya makan dengan tiga buah kurma. Kemudian wanita tersebut memberikan kurmanya satu persatu kepada kedua anaknya kemudian mengangkat satu kurma ke mulutnya untuk ia makan. Tetapi, kedua anaknya meminta kurma tersebut. Akhirnya, dia pun memberikan kurma yang ingin ia makan kepada anaknya dengan membelahnya menjadi dua. Saya sangat kagum dengan kepribadian perempuan itu. Kemudian saya menceritakan apa yang diperbuat oleh perempuan itu kepada Rasulullah Saw. Maka, beliau pun bersabda, “Allah Swt telah mewajibkan kepadanya untuk masuk surga atau membebaskannya dari neraka,” (HR Muslim)

Subhaanallah, sepintas memang terlihat ringan tentang apa yang dilakukan ibu tersebut. Namun karena keikhlasan dirinya menjaga dan rasa kasih sayangnya kepada anaknya jauh lebih besar ketimbang hasrat laparnya yang sebenarnya juga perih ia rasakan, ia mampu melakukan itu tanpa harus memarahi kedua anaknya yang sebenarnya mereka sudah lebih dulu mendapatkan jatah kurma.

Perihal hadits di atas, menurut Dr Musthafa Sa’id Al-Khin, hadits di atas memberikan faedah keutamaan menjaga anak-anak. Dengan keutamaan tersebut, kita akan terhindar dari api neraka serta terhapuslah dosa-dosa. Jika dengan memberikan sepotong kurma saja dapat menghantarkan seorang ibu ke surga, apalagi jika kita mampu merawat dan menjaga anak tanpa lelah dan berkeluh kesah dari pagi hingga bertemu pagi lagi? Menjadi orangtua adalah proses sepanjang hayat. Diperlukan ilmu kesabaran dan keikhlasan untuk kita agar tiba sampai gerbang rahmat-Nya. Gerbang yang akan menghantarkan kita ke pintu surga-Nya Allah Subhaanahu Wata’alaa. Aamiin

Seni Mendengarkan ..

Umat Islam mendengarkan ceramah agama di masjid (ilustrasi).

Oleh Ade Masturi

Seorang penyair sufistik terkenal, Jalaluddin Rumi, pernah mengatakan, ''Karena untuk berbicara orang harus lebih dulu mendengarkan, maka belajarlah bicara dengan mendengarkan.'' Mendengarkan sepertinya mudah dilakukan, namun pada kenyataannya tidak semua orang berhasil menjadi pendengar yang baik. Tidak sedikit perselisihan, pertengkaran, bahkan pembunuhan terjadi hanya karena salah dengar.

Dalam dunia komunikasi, kita mengenal ungkapan, seorang pembicara yang baik adalah pendengar yang baik. Cinta, benci, rindu, pengertian, maupun salah pengertian, terbangun lewat bicara dan mendengarkan.
Seluruh kekuatan ikatan persahabatan, percintaan, dan mahligai hidup bersama, kita rangkai dengan bicara dan mendengarkan. Khalifah Ali bin Abi Thalib RA pernah berkata, ''Tuhan menyayangi seseorang yang suka mendengar hikmah atau ucapan yang baik lalu menyimpannya, kemudian ketika dipanggil kepada kebenaran, dia mendekat.''

Kita sering kelihatan seperti mendengarkan tapi sebetulnya tidak. Walaupun mata kita dihadapkan dan wajah kita diarahkan kepada orang yang berbicara, tapi sebenarnya kita tidak mendengarkan.
Padahal, Allah mengingatkan dalam firman-Nya, ''Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya, mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.'' (Az-Zumar[39]:18).

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan bagi orang yang mau menjadi pendengar yang baik. Pertama, bila ingin menguasai teknik mendengarkan yang baik, belajarlah mendengarkan pembicaraan yang tidak menyenangkan hati kita. Mendengarkan pembicaraan yang mengenakkan hati kita itu mudah, tidak perlu dilatih. Untuk mendengarkan perkataan yang tidak mengenakkan, kita perlu melatih kestabilan emosi.
Kedua, belajarlah mendengarkan keluhan orang lain, walaupun tidak menarik bagi kita. Biasanya seseorang sangat antusias jika dia membicarakan masalah dirinya dan menceritakan kesusahannya kepada orang lain. Padahal, boleh jadi orang yang diajak bicara sebenarnya tidak tertarik. Tapi, kalau kita mau mendengarkan baik-baik, kemudian berempati kepadanya, berarti kita sudah berbuat baik kepadanya, dan itu termasuk amal saleh bagi kita.

Menurut para psikolog, banyak penderita gangguan jiwa yang penyakitnya menjadi berkurang ketika menemukan telinga yang mau mendengarkan perkataannya. Jika kita menjadi pendengar bagi orang lain yang membutuhkan saluran untuk mengungkapkan perasaannya, maka kita juga berarti telah membantu meringankan penderitaannya.

Ada juga nasihat bijak yang mengungkapkan bahwa kita dikaruniai oleh Allah SWT dua telinga satu mulut. Ini mengisyaratkan bahwa hendaknya kita harus lebih banyak mendengar daripada bicara. Untuk menjadi pembicara yang baik, maka syarat mutlaknya adalah kita harus terlebih dulu menjadi pendengar yang baik. Khalifah Ali bin Abi Thalib RA berpesan, ''Siapa yang baik mendengarkannya, dialah yang paling cepat memperoleh manfaat.''

Menggali Hikmah Kemarin, Sekarang dan Besok ..


Buang waktu (ilustrasi)

Ada hikmah menarik dari Imam Ali RA. Ia melukiskan bahwa "saat" itu hanya ada tiga, yaitu (yang) berlalu (kemarin) dan tak dapat diharapkan lagi, maka jadikanlah ia sebagai pelajaran. (Yang) kini pasti adanya, jadikanlah ia peluang; dan yang akan datang, tapi ingatlah, boleh jadi ia akan menjadi milik orang lain.

Pegang yang pasti, jangan diperdaya oleh esok, dan jangan pula menghadirkan keresahan esok ke hari ini. Karena, yang demikian itu hanya akan menambah beban diri. "Tahukah Anda bagaimana waktu mencuri usia manusia?" demikian seorang bijak bertanya dengan nada retoris. Ia menjawab, "Waktu mencurinya melalui hari esok yang melalaikannya tentang hari ini (dengan menunda), sampai usianya habis".

Bersegera dan tidak menunda adalah cerminan pribadi seorang Muslim. Tepatnya, cerminan dari orang yang sadar akan hakikat waktu. Waktu itu cepat sekali berlalunya. Sekali berlalu, ia tidak akan pernah kembali dan tidak akan pernah tergantikan. Karena itu, waktu menjadi harta termahal yang dimiliki manusia, sehingga menggunakannya dengan cara yang tepat menjadi sebuah kewajiban.

Ada tiga alasan kenapa Allah dan Rasul-Nya mewajibkan manusia untuk tidak menunda sebuah pekerjaan. Pertama, tidak ada jaminan kita bisa hidup hingga esok hari. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang diusahakannya besok (QS Luqman [31]: 34).

Siapakah yang dapat menjamin kita bisa hidup hingga besok, lusa, bulan depan, atau tahun depan; padahal kematian begitu dekat dengan tiap manusia. Seorang penyair berkata, "Selesaikan pekerjaanmu hari ini, jangan menunggu besok. Siapa yang akan menanggung perkaramu di esok hari?"
Kedua, dalam setiap waktu ada hak dan kewajiban yang harus ditunaikan. Tidak ada waktu yang kosong dari aktivitas. Pengabaian terhadap hak dan kewajiban tersebut akan membawa kemudharatan berlipat-lipat bagi yang melakukannya.

Seorang ahli hikmah berkata bahwa kewajiban pada tiap-tiap waktu memungkinkan untuk diganti, namun hak-hak dari tiap waktu tersebut tidak mungkin diganti. Ibnu 'Atha mengungkapkan, "Sesungguhnya pada setiap waktu yang datang, maka bagi Allah atas dirimu kewajiban yang baru. Bagaimana kamu akan mengerjakan kewajiban yang lain, padahal ada hak Allah di dalamnya yang belum kamu laksanakan!"
Ketiga, baik bersegera ataupun menunda yang terus dilakukan akan menjadikan jiwa terbiasa melakukannya. Tidak akan pernah menjadi penunda "kelas berat", kecuali diawali dengan menunda kecil-kecilan dalam intensitas yang tinggi.

Kebiasaan menunda akan menjadi tabiat kedua yang akan sulit ditinggalkan. Karena itu, Allah SWT melarang hamba-Nya melalaikan waktu sedikitpun, termasuk menunda pekerjaan. Allah SWT berfirman, sesungguhnya orang Mukmin itu apabila berbuat dosa akan ada di dalam hatinya bintik hitam, seandainya ia bertobat, maka akan hilang bintik hitamnya; dan apabila ia menambah niscaya akan bertambah (bintik hitam tersebut), sehingga akan menutup hatinya (QS Al-Muthafiffin [83]: 14). Wallahu a'lam bish-shawab.

Pilih Mana, Petunjuk atau Kesesatan?


Gurun pasir di Mesir

Oleh Mulyana

"Dan berkatalah setan tatkala perkara (hisab) telah diselesaikan, 'Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan aku pun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menyalahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekadar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu dan kamu pun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu.' Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih." (QS 14: 22).

Ada dua pelajaran dan petunjuk yang sangat penting yang bisa diambil dari firman Allah di atas bagi kebahagiaan hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Pertama, seruan Allah adalah yang paling benar. Seruan ini telah Allah sampaikan kepada manusia sejak Nabi Adam AS hingga nabi dan rasul terakhir, Muhammad SAW.

Misalnya, seruan Nabi Isa AS kepada kaumnya, ''Dan tatkala Isa datang membawa keterangan dia berkata, 'Sesungguhnya aku datang kepadamu dengan membawa hikmah dan untuk menjelaskan kepadamu sebagian dari apa yang kamu berselisih tentangnya, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah (kepada)-ku.' Sesungguhnya Allah Dialah Tuhanku dan Tuhan kamu maka sembahlah Dia, ini adalah jalan yang lurus.'' (QS 43: 63-64).

Janji-janji Allah kepada manusia merupakan petunjuk yang lurus yang dapat membawa manusia kepada kebaikan dan keberkahan hidup. Allah menerangkan dalam firman-Nya, ''Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan berpegang teguh kepada (agama)-Nya niscaya Allah akan memasukkan mereka ke dalam rahmat yang besar dari-Nya (surga) dan limpahan karunia-Nya. Dan menunjuki mereka kepada jalan yang lurus (untuk sampai) kepada-Nya.'' (QS 4: 175).

Karenanya, Allah mengajarkan kepada kita untuk selalu berdoa agar selalu diberikan petunjuk kepada jalan yang lurus. Doa ini minimal kita baca sebanyak 17 kali dalam sehari, yakni setiap kita melaksanakan shalat fardhu. Doa itu adalah, ''Tunjukilah kami jalan yang lurus.'' (QS 1: 6).

Kedua, seruan setan merupakan seruan yang menjerumuskan manusia kepada kesesatan. Pada ayat di atas setan mengakui bahwa mereka tidak memiliki kekuasaan untuk menjerumuskan manusia, melainkan manusia sendiri yang tergoda dan terjerumus kepada godaannya. Karena itulah, Allah telah memberikan penjelasan bahwa setan merupakan musuh yang nyata bagi manusia. ''Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah setan? Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu.'' (QS 36: 60).

Uraian di atas menunjukkan bahwa Allah telah memberikan petunjuk yang nyata dan gamblang, mana yang merupakan sumber petunjuk menuju kebahagiaan hakiki dan mana yang merupakan sumber kesesatan yang menuju pada kesengsaraan yang hakiki. Sekarang, kitalah yang menentukan pilihannya sendiri. Pilih petunjuk atau kesesatan?

5 Pesan untuk Wanita ..

Muslimah (ilustrasi)

Oleh: Siti Mahmudah

Wanita memiliki peranan yang sangat penting. Kesuksesan dalam membangun bangsa, termasuk keluarga, ternyata tidak lepas dari peranannya. Sehingga, tidak salah jika dikatakan bahwa wanita (ibu) merupakan sekolah pertama bagi anak-anaknya. Sebab, wanita adalah sebagai pemimpin di rumah suaminya (HR Bukhari).

Karena strategis dan pentingnya peranan wanita bagi kehidupan, Islam memberikan pesan-pesan khusus untuk kaum wanita melalui Alquran dan hadis Nabi SAW.

Pertama, Alquran memerintahkan kepada kaum wanita untuk menahan pandangan, memelihara kemaluan, tidak menampakkan perhiasan kecuali yang biasa tampak daripadanya, menutupkan kain kudung ke dadanya, dan tidak menampakkan perhiasan (QS an-Nur [24]: 31).

Kedua, Alquran memerintahkan kepada para sahabat Nabi SAW, apabila meminta suatu keperluan kepada istri-istri Nabi SAW, hendaknya memintanya dari belakang tabir. Dan cara seperti itu yang akan dapat menjaga suasana hati (QS al-Ahzab [33]: 53).

Ketiga, Alquran memerintahkan kepada kaum wanita untuk menutup aurat. Allah SWT berfirman, "Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin: 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka'. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal. Karena itu, mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS al-Ahzab [33]: 59).

Selain Alquran, Nabi Muhammad SAW juga memberikan pesan khusus kepada kaum wanita melalui sabdanya. Pertama, wanita sebagai perhiasan terbaik. Rasulullah SAW bersabda, "Dunia ini adalah perhiasan/kesenangan dan sebaik-baik perhiasan/kesenangan dunia adalah wanita yang salehah." (HR Muslim, Nasa'i, Ibnu Majah, dan Ahmad).

Kedua, wanita (yang salehah) memiliki ciri-ciri khusus. Sabda Nabi SAW, "Siapakah wanita yang paling baik?" Beliau menjawab, '(Sebaik-baik wanita) adalah yang menyenangkan (suaminya) jika ia melihatnya, menaati (suaminya) jika ia memerintahnya, dan ia tidak menyelisihi (suaminya) dalam hal yang dibenci suami pada dirinya dan harta suaminya." (HR Ahmad, Hakim, Nasa'I, dan Thabrani).

Ketiga, pemahaman agama sebagai ukuran dalam kesalehahan wanita. Nabi SAW bersabda, "Wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, kecantikannya, dan karena agamanya; maka pilihlah yang memiliki agama maka engkau akan beruntung." (HR Bukhari dan Muslim).

Keempat, wanita sebagai mitra kaum laki-laki dalam berbagai hal, sebagaimana sabda Nabi SAW, "Sesungguhnya kaum wanita adalah mitra bagi kaum laki-laki." (HR Tirmidzi).

Kelima, wanita sebagai seorang hamba yang paling dekat dengan Rabb-nya. Hal ini ditegaskan melalui sabda Nabi SAW, "Sesungguhnya seorang wanita akan menjadi lebih dekat kepada Allah ketika dia berada di dalam rumahnya." (HR Thabrani).

Itulah sebagian pesan Islam terhadap kaum wanita. Semoga Allah membimbing kita para wanita agar dapat menjalankan pesan mulia tersebut dan meraih kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Amin.

Pemuda yang Menyerupai Orang Dewasa ..

Pemuda (ilustrasi)

Oleh Muhammad Ihsan

"Yang paling baik di antaramu sekalian adalah pemuda yang menyerupai orang dewasa (yakni berpikir cermat, berbuat dan dapat menjadi pemimpin)" (Hadis).

Islam pada 14 abad yang lalu melalui Nabinya yang mulia telah menyitir tentang pentingnya peranan kaum muda bagi sebuah bangsa. Beliau begitu cermat dan serius dalam melakukan pembinaan kepada kaum muda, di antaranya seperti Ali, Usamah, Ibnu Abas, Ibnu Umar, dan sebagainya.

Terbukti pada akhirnya orang-orang tersebut di kemudian hari memegang peranan yang sangat penting dalam perkembangan Islam pada masa-masa berikutnya. Pemuda merupakan salah satu komponen bangsa yang sangat strategis. Sebab, di pundaknyalah kelak nasib sebuah bangsa akan ditentukan, apakah akan menjadi bangsa yang maju atau bangsa yang terbelakang. Mereka akan memikul tanggung jawab masa depan bangsa.

Syaikh Musthafa Al-Ghayalini dalam Idzatu'n-Nasyi'in mengatakan, "Sesungguhnya di tanganmulah (kaum muda) persoalan umat dan dalam kebangkitanmulah kehidupan (masa depan) suatu bangsa."
Sebagai tulang punggung bangsa, kaum muda harus dipersiapkan sedini mungkin dengan melalui program-program pendidikan akhlak dan intelektual yang sistematis, sesuai dengan dicontohkan Rasulullah. Sehingga, nantinya mereka menjadi manusia yang mengenal jatidirinya, bermanfaat, dan bertanggung jawab terhadap bangsa dan negaranya.

Pemuda yang mental dan intelektualnya tidak terbina secara baik, dan mudah terseret kepada hal-hal yang negatif, yang akan merugikan dirinya sendiri maupun masyarakat di lingkungannya. Kepada mereka harus diberikan pendidikan yang bertanggung jawab agar mereka menjadi manusia yang utuh dan berkesinambungan antara faktor-faktor intelektual, moral spiritual, dan fisik.

Dalam Alquran telah diabadikan bagaimana Luqman dalam membina anak-anaknya (kaum muda): Wahai anakku, kerjakanlah shalat dan perintahkan kebaikan dan cegahlah kejahatan dan bersabarlah atas segala yang menimpamu, sesungguhnya ia termasuk perkara yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kau palingkan wajahmu dari manusia lain (karena sombong), dan janganlah berjalan di bumi dengan congkak, sesungguhnya Allah tidak menyukai segala yang sombong dan membanggakan diri (QS Luqman: 17-18).

Menjaga Perut ..

Makan Pizza (Ilustrasi)

Oleh A Ilyas Ismail

Pada suatu hari, Khalid bin Walid menyuguhkan makanan kepada Khalifah Umar bin Khattab. ''Makanan ini untukku?'' tanya Umar. ''Mana makanan untuk orang-orang miskin dan kaum Muhajirin yang acap kali mati kelaparan,'' tanya Umar lagi.
''Mereka mendapat surga tuan,'' jawab Khalid. "Kalau mereka mendapat surga, sedangkan kita hanya mendapat makanan ini, mereka sungguh lebih beruntung daripada kita,'' tegas Umar.
Kisah ini menunjukkan kepada kita bahwa hidup ini sesungguhnya bukan hanya soal perut. Seorang Muslim, seperti dicontohkan Khalifah Umar, tidak boleh teperdaya oleh kenikmatan sesaat yang bersifat duniawi, tetapi ia harus selalu ingat tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu kebahagiaan abadi di akhirat kelak.

Untuk mencapai tujuan ini, seorang Muslim, seperti ditunjukkan Umar tadi, harus mampu menjaga dan mengendalikan perutnya. Mengapa perut? Jawabnya, karena secara rohani perut merupakan salah satu organ tubuh yang paling sulit dikendalikan. Ia paling banyak menuntut, memakan biaya besar, dan sangat berbahaya karena ia merupakan sumber lahirnya keinginan-keinginan buruk (syahwat).
Dalam kitab Minhaj al-'Abidin, Imam Ghazali mengingatkan agar seorang Muslim mampu menjaga perutnya, terutama dari dua hal ini. Pertama, dari semua perkara yang haram dan syubhat. Kedua, dari berfoya-foya atau berpuas-puas diri meskipun dari perkara yang halal.

Larangan pertama harus dijauhi, karena dalam Islam pemakan barang haram diancam dua keburukan besar. Pertama, siksa api neraka. Firman Allah, ''Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).'' (An-Nisa': 10).
Kedua, ibadah dan kebaikannya tertolak (mathrud). Hal ini karena Allah SWT adalah Tuhan Yang Mahasuci. Ia tidak akan menerima kecuali hamba-Nya yang suci. Itu sebabnya, kata Ghazali, orang yang junub tak boleh masuk masjid (An-Nisa: 43) dan orang yang hadats tak boleh menyentuh Alquran (Al-Waqi'ah: 89). Pemakan barang haram, karena kotor tak mungkin mendapat ridha Tuhan, meski ia beribadah siang dan malam. Sabda Rasulullah SAW, ''Siapa makan barang haram, maka Allah tidak akan menerima semua ibadahnya, wajib maupun sunat.'' (RH Dailami).
Larangan kedua, berfoya-foya atau berpuas-puas diri harus pula dijauhi karena hal ini mengandung keburukan-keburukan yang amat banyak. Imam Ghazali menyebutkan sepuluh keburukan. Di antaranya, hati orang yang berbuat demikian menjadi keras dan mati. Ibarat tanaman, kalau terendam banjir, ia pasti mati.

Berikutnya, ia cenderung lapar dan cenderung melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah. Berikutnya lagi, ia cenderung malas beribadah. Karena terlalu kenyang, ia menjadi berat hati dan malas melakukan kebaikan-kebaikan. Keburukan yang lain lagi, ia bakal tercekal dalam pemeriksaan amal di akhirat, lantaran semua harta yang dimiliki harus diregistrasi ulang dan diaudit secara transparan. Jadi, ia tidak akan bisa lari dari hisab, lalu azab. Na'udzu billah.

Menjadi Pelopor Kebaikan ..

Senyuman bahagia seorang petani (ilustrasi)

"Barangsiapa melakukan perbuatan baik dalam Islam, maka dia mendapat pahala perbuatannya dan pahala orang yang ikut melakukannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa yang melakukan perbuatan buruk dalam Islam, maka dia akan mendapatkan dosa dari perbuatannya dan dosa orang yang ikut melakukannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun" (HR Muslim)
Rasulullah SAW mengungkapkan hadis ini tatkala beliau melihat seorang lelaki Anshar membawa bungkusan. Karena beratnya bungkusan tersebut, telapak tangannya hampir-hampir tidak mampu membawanya.

Ia sedekahkan bungkusan itu kepada orang-orang Bani Mudlar yang saat itu datang ke Madinah dalam kondisi memprihatinkan. Tindakan tersebut kemudian diikuti penduduk Madinah lainnya. Mereka berduyun-duyun memberikan sebagian hartanya, sehingga tampak satu tumpuk makanan dan satu tumpuk pakaian. Demikian dikisahkan oleh Abu Amr, Jarir bin Abdillah.
Walau berkaitan dengan menginfaqkan harta, hadis tersebut hakikatnya mencakup semua perbuatan, apapun itu, baik atau buruk. Tema utama hadis tersebut adalah kepeloporan. Kepeloporan bisa membawa berdampak serius bagi diri dan orang lain. Ia tidak hanya akan mendapatkan balasan untuk dirinya sendiri, tetapi juga akan mendapatkan balasan dariorang lain yang mengikuti tindakannya.
Seorang Muslim sangat dianjurkan mampu mempelopori perbuatan baik. Perbuatan yang dimaksud bisa berupa sunnah Rasul yang mulai ditinggalkan umat. Bisa juga berupa inovasi baru sepanjang tidak melanggar kaidah-kaidah Islam.
Kepeloporan harus dilandasi keikhlasan dan dimulai dari diri sendiri. Rasulullah SAW dan para sahabat adalah pelopor dalam kebiakan. Berbagai sunnah hasanah (tradisi yang baik) yang ada sekarang ini, dimulai oleh mereka. Mereka pun memulai sunnah itu dari diri mereka sendiri.
Umar bin Khathab mencontohkan hal tersebut saat beliau menjadi khalifah. Diriwayatkan bahwa beliau kerap mengajak keluarganya hidup sederhana. Kadang ia merenggut dari tangan mereka, bahkan dari mulut mereka makanan yang segar.
Bumi rasanya bergoyang dan langit bergolak, ketika ia tahu bahwa salah seorang dari keluarganya menghendaki keistimewaan. Apabila memberlakukan suatu undang-undang atau melarang suatu perkara, ia terlebih dulu mengumpulkan keluarganya dan berkata, "Sesungguhnya aku telah melarang orang-orang dari perbuatan begini dan begini karena masyarakat melihat kepada kalian seperti burung melihat daging; jika kalian terjerumus, mereka pun akan terjerumus; dan jika kalian takut, mereka pun akan takut. Demi Allah, tidaklah aku mendengar seorang pun dari kalian yang melanggar laranganku terthadap masyarakat, melainkan kulipatgandakan siksaan baginya karena kedekatannya denganku. Maka barangsiapa menghendaki di antara kalian bolehlah ia maju dan barangsiapa yang menghendaki hendaklah ia mundur".

Memelopori kebaikan adalah keutamaan bagi seorang Muslim. Bahkan semangat yang dimunculkan Islam adalah semangat untuk menjadi yang pertama dalam kebaikan. "Berlomba-lombalah dalam kebaikan," demikian perintah Allah dalam QS Al-Baqarah [2] ayat 148. Wallahu a'lam.

Ujian untuk Belajar ..


Dalam Alquran Nabi Musa dan Nabi Khidir bertemu di sebuah lokasi (Ilustrasi)

Oleh: Mahmud Yunus

Setiap peserta didik pasti berharap lulus ujian, termasuk UN (ujian nasional). Meskipun UN bukan tujuan dan bukan penentu satu-satunya kelulusan dalam menempuh jenjang pendidikan,  menghapi ujian, baik ujian dari proses pembelajaran maupun ujian kehidupan, sangatlah penting.

Dengan ujian, seseorang bisa berefleksi diri dan menyadari kekurangan dan kelemahannya sehingga terpacu untuk meningkatkan kualitas diri dan meraih prestasi yang lebih tinggi. Alquran menjelaskan bahwa hakikat kehidupan dan kematian ini merupakan ujian dalam rangka verifikasi siapa di antara manusia yang paling baik kinerjanya.

"Dia yang menjadikan hidup dan mati supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun." (QS al-Mulk [67]: 2). Tanpa ujian, manusia cenderung tidak mau belajar dan mengambil hikmah. Karena itu, ujian apa pun, termasuk ujian akhir dari proses pembelajaran, harus disikapi secara positif, penuh keinsafan, kebersyukuran, dan kesediaan untuk belajar.

Sesungguhnya, ujian yang sukses itu adalah ujian untuk belajar, bukan sebaliknya belajar untuk ujian. Jika ujian dimaknai untuk belajar maka siapa pun yang berkesadaran seperti itu pasti selalu berkomitmen untuk ikhlas, serius, dan sabar dalam belajar. Sebaliknya, jika belajar diniati untuk ujian maka belajar itu akan berakhir dengan berakhirnya ujian. Belajar hanya untuk bisa menjawab soal-soal ujian, bukan untuk menjadi modal intelektual dan mental spiritual untuk meraih kemajuan dalam kehidupan.

Ujian dalam proses pembelajaran itu biasa dan wajar, karena semua proses kehidupan, termasuk pembelajaran, menghendaki adanya ujian. Allah SWT menegaskan bahwa setiap orang beriman pasti diuji. "Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan saja mengatakan: 'Kami telah beriman', sedangkan mereka tidak diuji lagi." (QS al-Ankabut [29]: 2). Dengan ujian, kualitas seseorang dapat dinilai. Menurut sebuah pepatah Arab, "Melalui ujian, seorang itu dimuliakan atau menjadi terhina".

Oleh sebab itu, ujian harus dimaknai sebagai sarana untuk meraih kemuliaan, bukan kehinaan. Orang mulia pasti berusaha mempersiapkan diri dengan belajar secara sungguh-sungguh, maksimal, berdoa, dan bertawakal kepada Allah SWT. Saat ujian, dia akan menjalaninya dengan penuh keyakinan, kepercayaan diri, kesabaran, dan  kejujuran (tidak nyontek, tidak bekerja sama, tidak membocorkan soal, dan sebagainya).

Ujian untuk belajar adalah warisan spiritual dan etos intelektual para nabi. Semua nabi dan rasul Allah  itu pernah diuji dengan aneka cobaan hidup sebagai pelajaran berharga. Kisah Nabi Musa AS berguru ilmu kepada Nabi Khidir AS sangat menarik dijadikan sebagai pelajaran. Sebelum proses pembelajaran dimulai, Nabi Khidir meminta Musa AS melakukan "kontrak belajar" dan bersepakat untuk tidak "protes atau menyoal" apa saja yang dilakukan sang guru.

Kontrak belajar ini sangat penting bagi peserta didik untuk menumbuhkan komitmen belajar yang tinggi. Selain itu, Nabi Khidir AS juga mensyaratkan agar Musa AS mau bersabar selama belajar dengannya. Musa tidak menyangka bahwa pelajaran yang diberikan gurunya itu langsung berupa ujian kehidupan sehingga dia selalu protes, tidak setuju dengan tindakan gurunya.

Karena sudah tiga kali protes, Khidir akhirnya menyatakan, "Inilah perpisahan antara aku dan kamu. Aku akan menyampaikan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak bisa bersabar terhadapnya." (QS al-Kahfi [18]: 78). Musa memang "tidak berhasil" mematuhi kontrak belajar lantaran sikap kritis dan protesnya. Ketidakberhasilannya itu disebabkan oleh ujian yang diberikan sang guru melebihi batas daya nalarnya dan karena belum mampu melejitkan daya kesabarannya.

Namun demikian, ujian demi ujian yang diberikannya itu membuat Musa belajar dan memahami makna di balik sesuatu yang tidak semua orang bisa memahami. Dengan kata lain, tujuan ujian bukanlah semata-mata untuk lulus dengan nilai kuantitatif yang tinggi, tetapi ujian yang dijalani harus menumbuhkan semangat belajar tanpa henti dan dengan penuh kesabaran sehingga nilai kualitatif dan hikmah kehidupan dapat diraih.

Nilai kehidupan jauh lebih berharga daripadai nilai kuantitatif karena hidup ini tidak cukup hanya dijalani dan diselesaikan dengan angka-angka kelulusan ujian. Ujian menghendaki kesabaran. Sedangkan, kesabaran merupakan kunci kesuksesan, baik dalam proses pembelajaran maupun dalam realitas kehidupan. Wallahu a'lam bish shawab!

Belajar dari Ibrahim ..

Oleh Ibdalsyah

Nabi Ibrahim dinyatakan oleh Alquran telah berhasil melalui hambatan-hambatan dan ujian-ujian yang diberikan oleh Allah. ''Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, 'Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.' Ibrahim berkata, '(dan saya mohon juga) dari keturunanku.' Allah berfirman, 'Janji-Ku ini tidak mengenai orang-orang yang zalim'.'' (QS Al Baqarah: 124).

Ibrahim menemukan dan membina keyakinannya melalui pencarian dengan perenungan akan fenomena alam. Setelah mengamati perjalanan bintang, bulan, dan matahari sampailah dia pada suatu kesimpulan bahwa yang menciptakan semua peristiwa alam itu adalah Allah (Surat Al An'am: 17).

Rasa tanda tanya di hati mendorong Ibrahim untuk bertanya langsung kepada Allah SWT tentang bagaimana menghidupkan orang-orang yang sudah meninggal. ''Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata, 'Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.' Allah berfirman, 'Belum yakinkah kamu?' Ibrahim menjawab, 'Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tatap mantap'.'' (QS Al Baqaroh: 260).

Ada beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari kisah Ibrahim di atas. Pertama, kritis dalam mencari dan menerima kebenaran melihat keyakinan masyarakat pada saat itu bertentangan dengan akal sehat. Ibrahim menolak keyakinan tersebut sekalipun berhadapan dengan ayahnya.

"Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata pada bapaknya Aazar, 'Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai Tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihatnya dan kaum kamu dalam kesesatan yang nyata'." (QS Al An'am: 74). Kedua, Istiqomah dan konsisten dalam menerapkan ajaran Allah dan melepaskan diri dari kekufuran, sebagaimana dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan kaumnya. (QS Almumtahanah: 4).

Ketiga, memiliki rasa percaya diri yang tinggi terhadap keyakinan agama yang dianut, sehingga tidak ragu-ragu untuk menunjukkan identitas keislamannya. Firman Allah: Maka katakanlah pada mereka, 'Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri kepada Allah.' (QS Al Imran: 64).
Keempat, memiliki wawasan ilmu yang luas serta visi yang jelas. Firman Allah: Dan ingatlah hamba-hamba kami, Ibrahim, Ishaq, dan Ya'qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu yang tinggi. (QS Shad: 45). Kelima, sanggup menghadapi risiko perjuangan. Tidak bergeming menghadapi ancaman, intimidasi dan penyiksaan yang dilakukan oleh rezim penguasa.

Dalam perjuangan tersebut, termasuk pengorbanan baik harta maupun jiwa, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Ibrahim. Demikian beberapa nilai moral dari perjuangan Nabi Ibrahim. Dengan memahami nilai-nilai perjuangan Nabi Ibrahim kita tingkatkan semangat perjuangan menghadapi segala jenis rintangan dan halangan dalam mewujudkan suatu masyarakat bertauhid dan berakhlakul karimah yang mendapat ridha Allah. Wallahu a'lam bi ash-ashawab.

Kemudahan di Balik Kesulitan ..

Raeni, anak tukang becak menjadi lulusan terbaik Unnes
Oleh A Ilyas Ismail

Diceritakan, Ubaidah ibn al-Jarrah, jenderal yang memimpin tentara Islam dalam pertempuran melawan Romawi, pernah berkirim surat kepada Khalifah Umar ibn al-Khattab tentang kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Dalam surat balasannya Khalifah Umar menyuruh Ubaidah agar bersabar dan tahan uji, karena Allah akan memberikan banyak kemudahan di balik kesulitan itu.

Sabar dan tahan uji, serta penuh harap (optimisme) terhadap pertolongan Allah seperti dipesankan Khalifah Umar di atas haruslah menjadi keyakinan kaum beriman. Dalam Alquran ditemukan banyak ayat yang menjanjikan kemudahan di balik kesulitan.

Allah berfirman, "Allah akan memberikan kelapangan setelah kesempitan." (Al-Thalaq: 7). Dalam ayat lain, kemudahan itu dikatakan datang bersama dengan kesulitan itu sendiri. Dengan kata lain, dicelah-celah setiap kesulitan selalu ada kemudahan. Perhatikan firman Allah ini: "Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan."(Al-Insyirah: 5-6).

Kemudahan itu, tentu saja tidak datang secara cuma-cuma. Dibutuhkan sekurang-kurangnya tiga syarat untuk mendapatkannya. Pertama, usaha dan kerja keras dari setiap orang yang diterpa kesulitan. Kedua, sabar dan tahan uji dalam mengatasi dan menanggulangi kesulitan itu. Ketiga, penuh harap dan optimistik bahwa kesulitan itu akan segera berlalu.

Dalam hadis yang bersumber dari Abu Hurairah dikatakan bahwa pertolongan Allah pasti datang sebesar bantuan yang diperlukan (nazala al-ma'unah 'ala qadr al ma'unah) dan kesabaran pun datang sebesar musibah yang menimpa (nazal al-shabr la qadr al-mushibah).

Sejalan dengan makna hadis ini, Imam Syafi'i pernah memberikan nasihat. Katanya, "Siapa yang meyakini kebesaran Allah, ia tidak pernah ditimpa kehinaan. Dan siapa yang menyandarkan harapan kepada-Nya, pastilah harapan itu menjadi kenyataan (wa man raja-hu yakunu haitsu raja).

Optimisme seperti dikemukakan di atas sungguh penting agar manusia tidak gelap mata melihat masa depan. Manusia pada umumnya mengambil dua sikap dalam menghadapi kesulitan-kesulitan hidup. Pertama, sikap patah semangat dan putus asa. Sikap ini tentu bukan sikap dan watak dari seorang yang beriman. "Tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah kecuali orang-orang yang sesat." (Alhijr: 56).

Kedua, sikap penuh harap (optimisme) disertai instrospeksi dan mawas diri. Orang yang mengambil sikap ini tidak pernah menimpakan kesalahan kepada pihak lain, apalagi kepada Tuhan. Ia tidak pernah berprasangka buruk (su'u al-dzan) kepada Allah meski doa yang setiap saat dipanjatkan belum juga terkabul. Ia justru mengevaluasi diri kalau-kalau perjuangan dan doa yang dilakukan belum optimal.

Dalam soal doa ini barangkali perlu disimak nasihat seorang pujangga. Katanya, "Kalau di tengah kegelapan malam Anda meminta siang hari datang, berarti permohonan Anda sia-sia. Tapi bila kepekatan malam telah mencapai puncaknya, pastilah fajar segera menyingsing, dan dalam kecerahan fajar itu, banyak hal bisa Anda lakukan."

Jadi selain berdoa kita harus jihad dan kerja keras dan terus bekerja keras tanpa kenal lelah. Ketika itu, kemudahan pasti akan datang, dan badai pun pasti berlalu. Semoga!!!

Memprotes Musibah ..

Musibah erupsi gunung berapi di Indonesia (ilustrasi).
Oleh Fajar Kurnianto

Rasulullah SAW bersabda, ''Jika ditimpa suatu musibah janganlah berkata, 'Oh, andai kata aku tadinya melakukan itu, tentu berakibat begini dan begitu', tetapi katakanlah, 'Ini takdir Allah dan apa yang dikehendaki Allah pasti dikerjakan-Nya.'' Ketahuilah, sesungguhnya ucapan 'andai kata' dan 'jikalau' membuka peluang bagi (masuknya) karya (kerjaan) setan.'' (HR Muslim).

Musibah bisa datang kapan dan di mana saja tanpa dapat seseorang terka secara pasti dan tepat kemunculannya. Seseorang yang sehari-hari tampak sehat tiba-tiba tanpa diduga terserang penyakit. Seseorang yang bertahun-tahun mengendarai kendaraan di jalan raya dengan selamat tiba-tiba pada suatu waktu mengalami kecelakaan yang membuatnya harus terbaring di rumah sakit.

Beberapa contoh kenyataan di atas adalah bagian dari takdir Allah SWT yang sudah ditetapkan-Nya. Takdir yang tidak diketahui oleh seorang pun kecuali oleh-Nya. Manusia hanya bisa berusaha, sementara keputusan ada di tangan-Nya. Dan, hanya Dia yang mengetahui hikmah besar yang ada pada segala peristiwa yang menimpa manusia, tidak terkecuali musibah yang ditimpakan kepada manusia.

Sayangnya, kerap kali manusia menganggap musibah yang menimpanya sebagai keburukan mutlak terhadap dirinya, sehingga dia tidak kuat menahannya. Akhirnya, kerap kali pula dia melontarkan kata-kata sesal yang sebenarnya lebih bernada protes terhadap musibah yang menimpanya dan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak adil dia terima.

Pada hadis di atas, Rasulullah SAW melarang seseorang menyesali dirinya saat tertimpa musibah dengan mengatakan 'andai kata' atau 'jikalau'. Karena, kata-kata tersebut membuka peluang masuknya setan. Yakni, setan menghasutnya untuk melakukan protes terhadap-Nya. Sebaliknya, beliau memerintahkan untuk menyadari bahwa itu adalah takdir-Nya yang pasti ada hikmah positif di baliknya yang tidak diketahuinya, sementara Dia Mahatahu semuanya.

Musibah acap kali dianggap buruk oleh yang tertimpanya, padahal menurut Allah SWT itu yang terbaik untuknya. Bisa jadi, jika Allah SWT tidak memberikan musibah demikian, musibah yang lebih buruk daripada itu akan menimpanya. Artinya, Allah SWT memberikan musibah yang lebih ringan dan menyelamatkannya dari musibah yang lebih besar.

Fasilitas dari Allah SWT ..

Berdoa (ilustrasi)

Oleh EH Kartanegara

''Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.'' (QS Adz-Dzariyaat [51]: 56).

Ayat tersebut terkesan seperti pernyataan Allah, bukan perintah kepada manusia. Namun, jika dihayati lebih mendalam, lewat ayat tersebut Allah sesungguhnya menunjukkan kekuasaan-Nya yang absolut kepada manusia. Tak ada tawar-menawar bagi manusia untuk mencapai hakikat hidup selain menyembah kepada Allah.

Banyak orang yang berusaha atau mencoba melawan ketetapan itu. Kita tahu akibat apa yang akan ditanggungnya, baik semasa hidup di dunia maupun terlebih lagi kelak di akhirat. Hanya orang kafir yang congkak yang berani melawan ketentuan Allah, secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.
Bagi orang yang ikhlas, berserah diri kepada Allah dijamin bakal selamat di dunia dan akhirat. Sebab, kita --para manusia-- memang diciptakan Allah bukan untuk tujuan iseng atau main-main.

Para mufasir menafsirkan kata khalaqtu (tidak mencipta) dalam ayat tersebut, menunjukkan bahwa Allah punya kehendak khusus kepada manusia. Salah satunya adalah menjadi khalifah di bumi.
Maka, menjadi khalifah di bumi, tak lain adalah amanat, tugas, dan kewajiban, yang diberikan Allah kepada manusia. Bedakan kata 'khalifah' ini dengan pengertian politik manusia yang mentang-mentang dipilih menjadi pemimpin lewat pemilu, misalnya, lantas mau bertindak sewenang-wenang.

Khalifah dalam konteks amanat Allah adalah tugas mulia, yaitu menjadi wali atau wakil Allah di bumi. Di sini asyiknya, kalau Allah memberi tugas kepada manusia, pasti Allah juga memberi fasiltas yang luar biasa melimpah kepada manusia. Allah Mahatahu bahwa tanpa fasilitas, manusia hanyalah setitik debu yang hina.
Sungguh remeh jika fasilitas itu cuma berupa istana gemerlap, seribu mobil mewah, segudang berlian, dan deposito triliunan rupiah. Tak ada angka yang bisa mencatat fasilitas Allah untuk manusia. Kekayaan dan ilmu Allah, bahkan tak terbayangkan oleh manusia.

Untuk ilmu Allah, kita ingat surat Luqman (31) ayat 27, ''Dan sekiranya pohon-pohon di bumi adalah pena dan samudera (adalah tinta) dan sesudah itu ditambah dengan tujuh samudera, kalimat Allah tak akan pernah habis ditulis. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.''

Dalam teks aslinya, kata kalimatullah diterjemahkan oleh beberapa mufasir sebagai 'ilmu Allah dan hikmah-Nya'. Dengan ilmu Allah itulah, manusia diberi bekal materi, rohani, dan pengetahuan yang berlimpah untuk mengemban amanat menjadi wakil Allah di bumi.

Jika kepada para pejabat atau bos di kantor, kita tak malu merunduk-runduk, bahkan mengemis dan menyuap demi memperoleh fasilitas, sungguh terlaknat jika kita tak mau menyembah Allah. Jauh sebelum memperoleh fasilitas dari orang lain, kita sudah lebih dulu menikmati fasilitas gratis dari Allah yang telah menghidupkan kita.

Hikmah Shalat Subuh, Sehat dan Disaksikan Malaikat ..

Umat Islam melaksanakan shalat berjamaah.
Oleh Muhammad Jihad Akbar

Shalat Subuh merupakan satu di antara shalat wajib lima waktu yang mempunyai kekhususan dari shalat lainnya dan mempunyai keutamaan yang luar biasa. Pada saat inilah pergantian malam dan siang dimulai. Pada saat ini pula malaikat malam dan siang berganti tugas (HR Al-Bukhari).

Karenanya, beruntunglah mereka yang dapat melaksanakan shalat Subuh pada awal waktu sebab disaksikan oleh malaikat, baik malaikat yang bertugas pada malam hari maupun siang. Allah SWT berfirman: ''Dan dirikanlah shalat Subuh. Sesungguhnya shalat Subuh itu disaksikan (oleh para malaikat).'' (QS Al-Isra' [17]: 78).

Selain itu, shalat Subuh juga bisa menjadi penerang pada hari ketika semua orang berada dalam kekalutan (kiamat). Seperti yang disabdakan oleh Rasulullah SAW, ''Berilah kabar gembira bagi orang-orang yang berjalan di kegelapan menuju masjid (untuk mengerjakan shalat Subuh) dengan cahaya yang terang benderang (pertolongan) pada hari kiamat.'' (HR Abu Daud, Tirmidzi dan Ibn Majah).

Tak hanya itu, Allah pun telah menyiapkan pahala yang luar biasa bagi mereka yang membiasakan shalat Subuh tepat pada waktunya, yaitu mendapatkan pahala sebanding dengan melakukan shalat semalam suntuk. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadis, ''Barangsiapa yang shalat Subuh berjamaah, maka seakan-akan dia telah melaksanakan shalat semalam suntuk.'' (HR Bukhari).

Di antara hikmah dan alasannya adalah karena shalat Subuh merupakan shalat wajib yang paling ''sulit'' dikerjakan pada awal waktu. Banyak di antara kita lebih memilih untuk tidur di atas kasur empuk dan selimut yang hangat. Padahal, seruan Allah (adzan) pada waktu Subuh telah memberitahukan kita bahwa shalat itu lebih baik daripada tidur.

Secara ilmiah, benar adanya bahwa bangun pagi dan melakukan shalat lebih baik daripada terus tidur. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Louis J Ignarro dan Ferid Murad, pembuluh darah manusia akan mengembang pada tengah malam terakhir sampai menjelang siang. Kemudian secara berangsur-angsur sekumpulan sel darah akan menggumpal pada dinding pembuluh sehingga terjadi penyempitan. Inilah yang mengakibatkan tekanan darah tinggi.

Menurut peraih Nobel bidang Fisiologi dan Kedokteran tahun 1998 ini, ada cara alamiah yang bisa dilakukan oleh setiap orang, yaitu menggerakkan tubuh sejak pagi buta. Karena, penelitian mereka menunjukkan bahwa dengan menggerak-gerakkan tubuh, gumpalan sel tadi akan melebur bersama aliran darah yang terpompa dengan kencang pada saat bergerak.

Maka, beruntunglah mereka yang terbiasa menggerakkan tubuh pada waktu Subuh dengan bangun tidur lalu berwudhu kemudian berjalan menuju masjid guna shalat Subuh berjamaah.

Lari dari Takdir ..

Takdir (ilustrasi)

Oleh A Ilyas Ismail

Dalam hadis sahih diterangkan tentang salah satu doktrin keimanan Islam, yaitu percaya kepada takdir. Hadis itu berbunyi, ''Wa bi al-qadar khairihi wa syarrihi min Allah (dan kamu harus percaya kepada takdir yang baik maupun yang buruk sebagai ketetapan dari Allah).''

Sebagian kaum Muslim, menurut pembaharu Muslim Jamaluddin al-Afghani, telah melakukan kesalahan besar berkenaan dengan paham takdir ini. Mereka dinilai keliru, karena memahami takdir identik dengan nasib, sehingga mereka menjadi orang-orang yang apatis, bermalas-malasan, dan gampang menyerah kepada nasib (fatalistis), tanpa aktivisme dalam hidup, baik dalam berpikir maupun bertindak.

Kritik serupa dilontarkan pemikir besar Maulana Muhammad Ali. Takdir seperti dipahami oleh kebanyakan kaum Muslim itu, menurut Muhammad Ali, agak aneh lantaran tidak ditemukan dalam Alquran. Dalam Alquran, kata qadar atau takdir hanya menunjuk pada dua makna, yaitu ukuran segala sesuatu (al-Qamar: 49) dan hukum alam (Yasin: 38). Jadi, tidak ada dalam Alquran kata takdir untuk arti pasrah dan menyerah kepada nasib (fatalisme).

Umar bin Khathab, sahabat Rasulullah SAW yang dikenal sangat cerdas dan memiliki intelektualisme tinggi, mempunyai pemahaman menarik mengenai takdir itu. Diceritakan, selaku khalifah Umar bin Khathab pernah berencana melakukan kunjungan ke Suriah. Tiba-tiba terbetik berita bahwa di daerah itu sedang terjadi wabah penyakit menular.

Lalu, Khalifah Umar membatalkan rencana kunjungannya itu. Para sahabat banyak yang protes atas sikap Umar itu. ''Apakah Tuan hendak lari dari takdir Allah?'' tanya mereka. Jawab Umar, ''Aku lari dari takdir Allah kepada takdir Allah yang lain.''

Secara teologis, jawaban Umar ini sangat menarik untuk dipelajari. Dari jawaban tersebut, terlihat bahwa Umar tidak memahami takdir dalam arti sempit dan tidak dalam arti fatalistik (jabariyah). Di sini Umar memandang bahwa wilayah yang terkena musibah itu sebagai takdir Allah, tetapi wilayah yang aman dan tenteram juga takdir Allah.

Sebagai sama-sama takdir Allah, maka Umar, dengan kehendak dan pilihan bebasnya, memilih menghindar dari takdir yang buruk dan beralih menuju takdir yang baik.

Dalam pandangan Umar, takdir bermakna kesempatan baik dan kesempatan buruk diciptakan oleh Tuhan untuk selanjutnya manusia memilih dan menetapkan takdirnya sendiri. Kesempatan baik dan kesempatan buruk sebagai takdir dari Tuhan, tentu harus diterima dengan sepenuh hati. Namun, manusia dengan semua potensi dan kemampuan yang dimiliki wajib berikhtiar untuk menggapai kesempatan yang baik itu. Inilah sesungguhnya makna hadis, ''Wa bi al-qadar khairihi wa syarrihi min Allah.''

Dalam pengertian ini, paham takdir tidak membawa pada fatalisme. Ini berarti, kalau bersedia dan ada kemauan, kita dapat memilih takdir yang lebih baik untuk diri maupun untuk bangsa kita, sehingga kita lebih dewasa dan tidak kehilangan akal sehat dalam menyikapi berbagai bencana dan musibah yang kini melanda bangsa kita. Wallahu a'lam.

The World Its Mine